Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto/CHA

Koran Sulindo – Cita-cita Kartini tentang semangat emansipasi perempuan yang disuarakan dari akhir abad ke-19 hingga saat ini masih relevan dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia.

Idenya yang mendobrak alam pikir feodal dianggap mengubah pandangan orang-orang Belanda terhadap perempuan-perempuan pribumi.

Menurut Sekertaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kritiyanto, ide Kartini menempatkan perempuan agar berdaulat sekaligus menentukan arah dan perjalanan bangsa dianggap sangat progresif dan melampaui jamannya.

”Selain itu meski bersifat progresif, namun pikiran-pikiran itu disampaikan dalam tatacara yang berkebudayaan dapat ditangkap dengan baik, karena tutur katanya yang berbudi pekerti,” kata Hasto dalam keterangan tertulis, Sabtu (21/4).

Ia menambahkan pikiran yang disampaikan Kartini tentang mimpi besar terhadap kaum perempuannya, tentang kebudayaan nusantara, tentang kesetaraan warga negara, mestinya seharusnya mengilhami elit bangsa untuk belajar kearifan sikap, tutur kata yang halus, dan sikap keteladanan.

Menurut Hasto, saat orang begitu mudah mencela pemimpinnya padahal dirinya sendiri miskin berprestasi mencerminkan lunturnya budi pekerti. Orang cenderung mengumbar kata yang memecah belah, kasar, menghakimi pihak lain, dan menganggap dirinya paling benar.

“Kartini pasti menangis melihat perilaku elit yang nihil keteladanan seperti itu,” kata dia.

Peringatan Hari Kartini, mestinya kembali menempatkan ide-idenya sebagai pemandu sekaligus pelopor untuk membangun harapan perjuangan emansipasi perempuan. “Dengan gerak kebudayaannya agar bangsa Indonesia hadir sebagai bangsa merdeka yang berbudi pekerti,” kata Hasto.

Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di Europese Lagere School dan belajar bahasa Belanda.

Setelah 12 tahun, ia mesti tinggal di rumah karena dipingit.

Kemampuannya berbahasa Belanda membuat Kartini bisa belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi asal Belanda. Termasuk salah satunya Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya.

Ia tertarik dengan buku-buku, koran, dan majalah Eropa dan mengidamkan kemajuan berpikir seperti perempuan Eropa dan membandingkannya dengan perempuan pribumi terjebak dalam status sosial rendah.

Kartini juga membaca koran De Locomotief yang terbit di Semarang dan menerima paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan leestrommel. Beberapa di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, termasuk majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie.

Pada beberapa kesempatan Kartini mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie.

Perhatian Kartini tak semata-mata tersita pada sola-soal emansipasi permpuan namun juga masalah-masalah umum.

Ia juga membaca buku karya Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, termasuk buku De Stille Kraacht karya Louis Coperus, karya Van Eeden, Augusta de Witt hingga roman feminis karya Goekoop de-Jong Van Beek.(CHA/TGU)