Di masa kolonial, sosok pejabat Belanda kerap kali diidentikkan dengan eksploitasi dan penindasan terhadap rakyat pribumi. Namun, sejarah tak selalu ditulis dalam satu warna. Di tengah gelombang dominasi kekuasaan asing, ada segelintir tokoh yang justru memilih jalan berbeda, berdiri di antara dua dunia, kolonial dan lokal, Barat dan Timur, penguasa dan rakyat.
Salah satu tokoh yang menembus batas-batas itu adalah Karel Frederik Holle, pria Belanda yang menjadikan tanah Priangan bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga ladang pengabdian.
Melalui peran sebagai pemilik perkebunan, peneliti, penulis, hingga pelestari budaya, Holle tak hanya membawa inovasi dalam pertanian, tetapi juga membuka ruang baru dalam pendidikan dan kebudayaan Sunda.
Ia dihormati bukan karena jabatannya, tetapi karena kedekatannya dengan masyarakat. Kisahnya bukan sekadar bagian dari sejarah kolonial Hindia Belanda, melainkan juga potret langka tentang bagaimana kolaborasi lintas budaya bisa melahirkan warisan yang bertahan lintas generasi. Di rangkum dari berbagai sumber, berikut ulasan singkat hidup dan kiprahnya untuk Indonesia khususnya wilayah Jawa Barat.
Dari Eropa ke Hindia
Karel Frederik Holle, Lahir di Amsterdam pada 9 Oktober 1829 dan meninggal di Buitenzorg (kini Bogor) pada 3 Mei 1896, Holle adalah administrator kolonial, penulis, peneliti budaya, dan pemilik perkebunan yang membaktikan hidupnya untuk pengembangan pertanian, pendidikan, dan pelestarian kebudayaan lokal, khususnya di tanah Garut, Jawa Barat.
Karel Frederik Holle merupakan anak sulung dari pasangan Pieter Holle dan Alexandrine Albertine van der Hucht. Krisis bisnis di Eropa mendorong keluarganya untuk meninggalkan Amsterdam dan mencoba peruntungan di koloni Hindia Belanda pada tahun 1843.
Sang ayah sempat bekerja sebagai administrator perkebunan kopi di kawasan Buitenzorg, namun tak lama kemudian meninggal dunia. Sejak saat itu, Karel dibesarkan dan dididik di Batavia, sebuah proses yang secara tidak langsung mendekatkannya dengan lingkungan dan budaya setempat yang kelak akan sangat ia cintai.
Holle mengawali kariernya di pemerintahan kolonial sebagai juru tulis di Cianjur saat usianya masih tergolong muda. Ia menunjukkan etos kerja dan dedikasi tinggi, hingga akhirnya mendapat berbagai posisi penting.
Namun, setelah menjalani dinas selama sekitar sepuluh tahun, ia memilih pensiun dini dari birokrasi. Keputusan ini bukan karena ingin menarik diri dari aktivitas, melainkan karena ia melihat peluang lebih besar untuk berkontribusi langsung kepada masyarakat melalui jalur agraria dan pendidikan.
Pada tahun 1858, Holle membuka Perkebunan Teh Waspada di Cikajang, Garut. Selain itu, ia juga mengelola perkebunan di Panembong, Bayongbong, wilayah yang kelak menjadi pusat eksperimen dan pengembangan pertanian modern di Priangan Timur. Dari tempat inilah Holle memulai serangkaian upaya yang tidak hanya berdampak ekonomi, tetapi juga sosial dan kultural.
Lahirnya “Sistem Holle”
Salah satu inovasi penting yang dikenalkan Holle adalah metode baru dalam bercocok tanam padi, yang kemudian dikenal dengan nama “Sistem Holle”. Metode ini mengganti kebiasaan lama menebar benih langsung ke sawah dengan proses menanam bibit di persemaian terlebih dahulu sebelum dipindahkan ke lahan utama. Teknik ini terbukti lebih efisien dan meningkatkan hasil panen secara signifikan.
Namun dedikasi Holle terhadap pertanian tidak berhenti di situ. Ia juga memperkenalkan berbagai bibit baru, seperti teh dan kacang merah, ke wilayah Garut. Selain itu, Holle juga turut mengembangkan jenis domba Garut, yang kini menjadi salah satu ikon peternakan khas daerah tersebut.
Sebagai seorang peneliti dan penyuluh, Holle tak segan mencatat pengalamannya dan menuangkannya dalam tulisan. Ia menghasilkan lebih dari 200 publikasi tentang pertanian, perikanan air tawar, dan konservasi tanah. Menariknya, demi menjangkau masyarakat petani secara langsung, Holle menerjemahkan karya-karyanya ke dalam bahasa lokal seperti Jawa, Sunda, dan Madura suatu tindakan langka di kalangan kolonial saat itu.
Pendidikan dan Pelestarian Budaya Sunda
Kecintaan Holle pada budaya Sunda bukan semata romantisme kolonial, tetapi benar-benar terwujud dalam tindakan nyata. Ia mendirikan sekolah guru lokal di wilayah Priangan (Preanger) dan secara aktif mendorong penerbitan buku pelajaran dalam bahasa Sunda. Di masanya, dunia literasi Sunda berkembang pesat, dan Holle menjadi salah satu tokoh penting di baliknya.
Dalam upaya pelestarian sastra dan bahasa lokal, Holle menjalin persahabatan erat dengan Haji Muhamad Musa, seorang penghulu sekaligus sastrawan Sunda terkemuka. Bersama Musa, ia menerjemahkan berbagai naskah kuno dan mendukung munculnya penulis-penulis lokal seperti Adi Widjaja dan Hasan Mustapa, yang kemudian menjadi tokoh penting dalam sejarah sastra Sunda.
Minat Holle terhadap budaya bahkan meluas ke bidang arkeologi dan filologi. Ia melakukan penelitian terhadap prasasti Sunda kuno, termasuk prasasti Batu Tulis di Bogor, serta mengkaji aksara Buda dan peribahasa Sunda. Semua ini dilakukannya sebagai bagian dari misi dokumentasi dan pelestarian warisan lokal.
Selain itu, Holle juga berkontribusi dalam pengembangan kerajinan batik khas Garut. Ia mengajarkan teknik membatik kepada para istri petani dan pegawai perkebunan, sehingga batik Garutan bisa berkembang dan menjadi salah satu produk budaya yang bernilai ekonomi tinggi.
Apa yang membuat Holle sangat berbeda dari banyak pejabat kolonial lainnya adalah pendekatannya yang penuh empati terhadap masyarakat lokal. Ia tidak hanya mempelajari bahasa Sunda, tetapi menggunakannya dalam interaksi sehari-hari. Ia memahami adat istiadat dan sistem sosial masyarakat Priangan. Karena kedekatannya itu, rakyat Sunda menjulukinya “Tuan Hola”, sebagai bentuk penghormatan dan keakraban.
Holle bukan hanya bicara soal modernisasi atau reformasi, tetapi juga soal partisipasi. Ia mendorong masyarakat Sunda untuk mulai menulis dan mendokumentasikan budaya mereka sendiri, agar warisan mereka tidak hilang ditelan zaman. Berkat pendekatan ini, banyak karya sastra dan dokumen budaya yang berhasil dilestarikan hingga hari ini.
Pandangan Politik dan Keagamaan
Sebagai tokoh kolonial yang hidup pada masa munculnya gerakan kebangkitan Islam di Nusantara, Holle memiliki pandangan tersendiri. Ia dikenal menentang “Islam fanatik”, istilah yang ia gunakan untuk merujuk pada kelompok-kelompok yang menggabungkan agama dan politik dalam gerakan perlawanan terhadap kolonial. Meski demikian, Holle tetap menghormati praktik keagamaan dan mendukung kebebasan beribadah bagi umat Muslim, asalkan dilakukan secara terpisah dari aktivitas politik.
Pandangan ini sejalan dengan pemikiran orientalis dan penasihat kolonial terkenal, Snouck Hurgronje, serta Gubernur Jenderal Pijnacker Hordijk, yang memang mendorong kebijakan pemisahan agama dan negara dalam pemerintahan kolonial.
Sebagai pengakuan atas dedikasi dan kontribusinya, Holle diangkat sebagai Honorary Advisor for Domestic Affairs oleh pemerintah Hindia Belanda. Namun, seperti banyak tokoh masa lalu, pengaruh dan ingatannya sempat redup. Tugu peringatan untuk Holle di Garut dihancurkan pada masa pendudukan Jepang, ketika segala yang berbau Belanda dianggap simbol kolonialisme yang harus dihapuskan.
Meski begitu, keluarga Holle tetap memperjuangkan penghargaan atas warisan leluhurnya. Mereka kemudian membangun replika tugu di Perkebunan Teh Cisaruni, sebagai upaya mengenang dedikasi Holle terhadap pertanian dan masyarakat Priangan.
Kisah Karel Frederik Holle adalah pengingat bahwa tidak semua kolonial datang hanya untuk menindas dan mengeruk kekayaan. Di balik kuasa dan struktur penjajahan, terdapat pula tokoh-tokoh yang melihat potensi lokal dan berjuang bersama masyarakat untuk memperkuatnya. Holle adalah simbol kolaborasi lintas budaya, penghormatan terhadap kearifan lokal, dan dedikasi terhadap kemajuan sosial berbasis pendidikan, ilmu pengetahuan, dan budaya.
Melalui inovasi pertanian, dukungan pendidikan, dan pelestarian budaya, Holle membuktikan bahwa kekuasaan tidak harus menjadi alat penindasan, melainkan bisa menjadi jembatan kemanusiaan yang melintasi batas ras, bahasa, dan bangsa. Warisannya masih hidup dalam lembah-lembah Garut yang hijau, dalam buku-buku berbahasa Sunda, dan dalam semangat masyarakat yang terus menjaga identitasnya hingga hari ini. [UN]