Koran Sulindo – Syarat yang harus dipunyai oleh negara super power adalah jumlah penduduknya besar yang mencapai 250 juta jiwa, wilayah yang besar (luas) yaknidan sumber daya alam yang besar (melimpah). Dari ketiga persyaratan ini negara Indonesia memiliki semua.
Demikian dikatakan oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian saat memberikan tausiah pada acara Tablig Akbar dalam rangka memperingati Isra Mirajd di halaman Polda DIY, Selasa (25/4) malam. “Indonesia punya potensi menjadi negara super power. Namun kita harus bersatu untuk membangun,” tegas Tito Karnavian di depan ribuan jamaah.
Bersatu untuk membangun negeri sekaligus menjaga kebhinekaan menjadi kata kunci yang penting dari tausiah orang nomer satu di jajaran kepolisian ini.
Menurut Tito, isu keagamaan, suku, ras yang marak terjadi belakangan ini adalah merupakan isu yang sensitif yang bisa mengganggu kebhinekaan kita. Karenanya, kebhinekaan harus dipertahankan jangan sampai terpecah. Tito kemudian mengingatkan hendaknya kita melihat kembali pikiran-pikiran para pendiri bangsa.
Pada tahun 1928, menurut Tito, lahirlah Sumpah Pemuda yang dicetuskan, digelorakan oleh banyaknya unsur elemen rakyat, baik itu dari Sumatera, Ambon, Jawa, Bali dan wilayah-wilayah lain untuk menyepakati 3 hal, yakni bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu yaitu Indonesia. Dengan begitu, kata Tito, para pendiri bangsa ini lewat Sumpah Pemuda itu bersepakat meminggirkan seluruh perbedaan suku, agama, keturunan ras. “Kita lihat betul Sumpah Pemuda yang menjadi cikal bakal bangsa Indonesia itu tidak ada kata bertanah air satu, berbangsa satu, berbahasa satu, kecuali keturunan anu, atau kecuali beragama anu, atau kecuali kami yang keturunan mayoritas. Tidak ada itu,” tegas Tito.
Hal yang sama juga diserukan atau dideklarasikan oleh para pendiri bangsa di tahun 1945 yakni semboyan Bhineka Tunggal Ika; meski berbeda-beda tapi tetap satu, yakni bangsa Indonesia. Pun juga konsep Pancasila, yang menurut Tito, kalau dipahami betul spirit dan maknanya maka para pendiri bangsa ini sadar bahwa bangsa Indonesia terdiri dari beragam suku, agama maupun ras. “Baik Pancasila, atau Bhineka Tunggal Ika menegaskan tidak ada suatu keistimewaan untuk suku, agama atau keturunan apapun juga. Semua melebur diri ke dalam satu konsep bernama negara bangsa Indonesia,” tuturnya.
Nah, yang mengherankan, kata Jenderal berbintang empat ini, di era sekarang ini, di era kebebasan, kok justru mengalami kemunduran. Mundur lagi mulai bicara masalah kesukuan. Sudah mulai bicara soal keagamaan yakni kamu agama anu sedangkan saya agama ini, kamu keturunan anu dan saya keturunan ini. Ini sesuatu yang pada 1928 dan 1945 oleh para pendiri bangsa ini sudah dinyatakan hal itu harus disingkirkan. “Kalau kita cinta NKRI, maka kita harus kembali pada spirit para pendiri bangsa 1928 dan 1945,” tegas Tito.
Kapolri menekankan betapa pentingnya kita menyingkirkan semua perbedaan baik suku, ras atau agama yang kemudian ditumbuhkan rasa kebangsaan, kesatuan dan persatuan kita dalam rangka NKRI. “Sibuk kita cakar-cakaran, sibuk kita melihat identitas masing-masing kita, maka bangsa ini tidak akan maju,” katanya.
Tito kemudian mengingatkan banyak negara tetangga kita lebih maju seperti Singapura yang baru merdeka tahun 1965 namun telah dianggap sebagai negara paling maju di dunia. Demikian pula Malaysia, Thailand yang sudah lebih maju dari Indonesia. Vietnam pun sudah menyalip sedikit-sedikit. “Jangan sampai kita kalah dengan Kamboja apalagi dengan Timor Timur yang baru saja merdeka. Kita harus bersatu untuk bersaing dengan bangsa lain. Itu yang harus kita lakukan,” tegas Tito. [YUK]