Kapolda DIY: Muncul Kelompok yang Paksakan Ganti Ideologi Negara

Kapolda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Brigjend Polisi Ahmad Dofiri/YUK

Koran Sulindo – Di era kompetisi global sekarang ini, negara-negara bersaing tidak menggunakan cara-cara konvensional tapi saling memberi pengaruh melalui sasaran non-fisik. Misalnya, penghancuran secara militer sudah ditinggalkan dan beralih pada sasaran non-fisik. Sasaran non-fisik tersebut antara lain Ideologi, ekonomi, dan budaya.

“Yang ada sekarang yaitu perang budaya, perang informasi dan perang membangun persepsi,” tegas Kapolda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Brigjend Polisi Ahmad Dofiri dalam acara pemaparan dan pengarahan Kamtibmas kepada civitas akademika Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) bertajuk “Merajut Kebhinnekaan di Era Kompetisi dan Tantangan Global” di Ruang Sidang Gd. A.R. Fachruddin, Selasa sore (28/2).

Untuk itu Dofiri mengimbau masyarakat untuk tetap menjaga kebhinnekaan (keberagaman) Indonesia, dalam rangka untuk tetap menjaga rasa nyaman dan perdamaian di Indonesia. Sebagaimana diketahui, lanjutnya, Indonesia yang mempunyai faktor kebhinnekaan (keberagaman) bisa terancam dengan adanya hal tersebut. Beberapa faktor menyebabkan kebhinnekaan menjadi sebuah tantangan di era global ini antara lain, globalisasi yang memunculkan persaingan ketat, namun di sisi lain menumbuhkan berbagai kejahatan berdimensi baru. Kemudian intoleransi umat inter dan intra agama uga merebak di masyarakat kita.

“Muncul juga berbagai kelompok pemberontak yang memaksakan kehendak untuk mengganti ideologi Negara,” ujar Dofiri.

Tak hanya itu. Dofiri juga menyatakan bahwa tantangan juga berasal dari fenomena media sosial yang menjadi bagian dari globalisasi. Pasalnya, media sosial seringkali menjadi ajang untuk menyebarkan Intoleransi, berita hoax, penyebaran radikalisme maupun cybercrime. Menurutnya, masyarakat Indonesia belum dewasa sepenuhnya dalam menerima dan menyebarkan informasi karena literasi media yang rendah.

“Karenanya perlu kedewasaan bagi masyarakat Indonesia dalam menyebarkan informasi lewat media sosial. Medsos punya kerawanan yang lebih besar dibanding media konservatif,  karena kemudahan dan kecepatannya. Sorry to sayk literasi media masyarakat Indonesia masih rendah. Jadi masyarakat dengan mudahnya menyebarkan berita tanpa mengecek kebenarannya,” katanya lagi.

Untuk menghadapi hal itu, menurut Dofiri, ada tiga pilar yang harus dijaga dan ditegakkan untuk menjaga kebhinnekaan Indonesia. Pilar pertama yakni lembaga pendidikan diharapkan mampu menanamkan pemahaman bahwa perbedaan bukan untuk dipertentangkan namun dimaknai sebagai perbedaan yang saling melengkapi. Pilar yang kedua berasal dari tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tokoh daerah. Para tokoh ini diminta untuk membangun kesadaran dan memberikan arahan serta contoh teladan untuk perdamaian dan toleransi.

Sedangkan pilar ketiga, menurut Dofiri, adalah dari aspek pemerintahan yang terdiri dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ke yang menjamin kehidupan dengan penguatan regulasi dan tindakan pencegahan ancaman yang dapat mengancam NKRI. [YUK]