Perjanjian Kalijati. (duniapendidikan.co.id)

Pada awal abad ke-20, Hindia Belanda masih berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda yang telah berlangsung selama berabad-abad. Namun, situasi global yang semakin memanas akibat Perang Dunia II mulai mengubah dinamika kekuasaan di Asia, termasuk di Indonesia. Munculnya Jepang sebagai kekuatan militer baru di kawasan ini membawa ancaman besar bagi dominasi Eropa di Asia Tenggara.

Di tengah gempuran pasukan Jepang yang semakin agresif, pertahanan Belanda di Indonesia mulai goyah. Kelelahan akibat peperangan, keterbatasan sumber daya, serta strategi militer Jepang yang lebih unggul membuat Belanda berada di ujung kekalahannya. Puncaknya, pada 8 Maret 1942, peristiwa Kapitulasi Kalijati menjadi titik balik yang mengakhiri kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia dan membuka lembaran baru dalam sejarah bangsa di bawah pendudukan Jepang. Bagaimana sejarah lengkapnya? Mari kita telusuri dalam artikel ini.

Latar Belakang Penyerangan Jepang

Kapitulasi Kalijati merupakan peristiwa penting dalam sejarah Indonesia yang menandai berakhirnya kekuasaan kolonial Belanda dan dimulainya pendudukan Jepang. Menurut laman Kemdikbud, Peristiwa ini terjadi pada 8 Maret 1942 di Kalijati, Subang, Jawa Barat, ketika pemerintah Hindia Belanda menyerahkan diri tanpa syarat kepada pasukan Jepang. Dalam perundingan tersebut, pemerintah Hindia Belanda diwakili oleh Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborg Stachouwer dan Letnan Jenderal Heindrik Ter Poorten, sedangkan pihak Jepang dipimpin oleh Jenderal Hitoshi Imamura.

Pendudukan Jepang di Indonesia tidak terlepas dari Perang Dunia II dan ambisi Jepang untuk memenangkan Perang Asia Timur Raya. Serangan Jepang dimulai dengan pengeboman pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbor, Hawaii, pada 8 Desember 1941. Setelah itu, pasukan Jepang melancarkan serangan ke berbagai wilayah di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Gelombang serangan Jepang ke Indonesia dimulai pada 10 Januari 1942 di Tarakan, Kalimantan. Serangan ini kemudian menyebar ke Balikpapan, Pontianak, Martapura, dan Banjarmasin. Pada 1 Maret 1942, Jepang berhasil mendarat di tiga lokasi strategis di Pulau Jawa, yaitu Teluk Banten, Eretan Wetan (Jawa Barat), dan Kragan (Jawa Tengah). Dari titik-titik ini, pasukan Jepang dengan cepat menguasai wilayah-wilayah strategis di Jawa.

Pasukan Jepang yang dipimpin oleh Kolonel Tosyinari Syoji dengan kekuatan 5.000 tentara berhasil menduduki Subang setelah mengalahkan tentara Hindia Belanda di lapangan terbang Kalijati pada 1 Maret 1942. Upaya Belanda untuk merebut kembali Subang tidak membuahkan hasil hingga 5 Maret 1942. Kolonel Syoji menyimpulkan bahwa kekuatan utama tentara Hindia Belanda terkonsentrasi di Pegunungan Priangan.

Pada 5 Maret 1942, pasukan Jepang mulai bergerak ke Bandung melalui Ciater, yang menjadi benteng pertahanan Belanda. Pasukan Belanda yang kewalahan akhirnya mundur ke Lembang. Pada 7 Maret 1942, Lembang jatuh ke tangan Jepang, sehingga Belanda mengajukan permintaan perundingan guna membahas gencatan senjata.

Perundingan dan Penyerahan Tanpa Syarat

Mayor Jenderal Jacob Jan Pesman, yang bertanggung jawab atas Bandung, mengutus Kapten Geharz untuk menyampaikan permintaan perundingan di Lembang. Sementara itu, Jenderal Hitoshi Imamura menginginkan perundingan langsung dengan Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborg Stachouwer. Awalnya, Starkenborg menolak, tetapi setelah Kolonel Syoji mengancam akan mengebom Bandung dari udara, ia akhirnya setuju untuk berunding di Subang.

Pada 7 Maret 1942 pukul 16.00, rombongan pejabat tinggi Belanda mendarat di Lapangan Terbang Kalijati. Perundingan yang semula direncanakan di Jalan Cagak Subang akhirnya dipindahkan ke rumah perwira staf sekolah penerbang Hindia Belanda di Kalijati.

Dalam perundingan yang berlangsung singkat pada 8 Maret 1942, Jenderal Imamura menanyakan apakah Gubernur Jenderal dan Komandan Angkatan Perang Belanda di Jawa memiliki kewenangan untuk menyerah. Berusaha mengulur waktu, Starkenborg menyatakan bahwa hanya Ratu Wilhelmina yang memiliki wewenang tersebut. Namun, Jenderal Imamura mengabaikan jawaban itu dan memberikan ultimatum agar Belanda segera mengumumkan penyerahan diri dalam waktu satu hari.

Akhirnya, Letnan Jenderal Heindrik Ter Poorten dan Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborg Stachouwer menandatangani dokumen penyerahan tanpa syarat kepada Jepang. Pada 9 Maret 1942, pemerintah kolonial Belanda secara resmi menyiarkan penyerahan diri mereka melalui radio. Dengan demikian, kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia berakhir, dan Jepang menjadi penguasa baru.

Setelah Kapitulasi Kalijati, Jepang membagi wilayah Indonesia ke dalam tiga komando militer:

1. Tentara Keenambelas untuk Pulau Jawa dan Madura, yang berpusat di Batavia.

2. Tentara Keduapuluhlima untuk Sumatra, dengan pusat di Bukittinggi.

3. Armada Selatan Kedua untuk Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua Barat, yang berpusat di Makassar.

Pendudukan Jepang di Indonesia berlangsung selama lebih dari tiga tahun dan membawa dampak besar, termasuk eksploitasi sumber daya dan tenaga kerja, serta kebangkitan semangat nasionalisme yang kelak mendorong kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Dengan Kapitulasi Kalijati, sejarah Indonesia memasuki babak baru di bawah pendudukan Jepang, yang akhirnya berujung pada perjuangan rakyat Indonesia dalam merebut kemerdekaan. [UN]