Sulindomedia – Walau harga minyak dunia saat ini masih menunjukkan tren penurunan, harga bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia belum bisa diturunkan lagi, kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said. Penyesuaian harga BBM, tambahnya, tetap akan dilakukan setiap tiga bulan sekali.
Dijelaskan Sudirman Said, penyesuaian harga BBM terakhir kali dilakukan awal Januari lalu. Penyesuaian harga selanjutnya, kata dia, akan dilakukan tiga bulan mendatang. “Sesuai yang disepakati, untuk tidak terlalu sering berubah-ubah. Kita tahu semua faktor pembentuk harga BBM adalah harga minyak dunia, kurs rupiah terhadap mata uang asing, efisiensi mata rantai pasokan, termasuk biaya penyimpanan, pengolahan, dan lainnya. Ini yang terus kami tinjau untuk lebih efisien,” tutur Sudirman, Senin (25/1/2016).
Walau tetap pada keputusan untuk menyesuaikan harga BBM setiap tiga bulan, Sudirman mengakui ada dilema yang dialami pemerintah. Di satu sisi, berdasarkan mekanisme pasar, penurunan harga minyak dunia ke posisi terendahnya selama 12 tahun ini harus diikuti dengan penurunan harga BBM. Di sisi lain, lanjut Sudirman, penurunan harga BBM yang terlampau rendah dikhawatirkan justru akan menyulitkan masyarakat bila suatu saat nanti harga minyak dunia kembali meroket. “Karena, setiap kali penurunan harga BBM tidak akan terjadi penurunan harga pangan dan transportasi. Tapi, begitu ada kenaikan sedikit itu ikutannya luar biasa dan yang paling kena adalah yang paling bawah,” tutur Sudirman.
Sementara itu, ekonom senior dari Universitas Indonesia Faisal Basri menilai, seharusnya harga BBM di Indonesia bisa lebih murah mengacu pada harga minyak dunia yang masih rendah. Namun, menurut dia, kondisi saat ini justru dinikmati oleh PT Pertamina (Persero) semata.
Ia menjelaskan, penurunan harga minyak yang mencapai level terendah dalam 12 tahun terakhir ini, yakni sekitar US$ 29, jauh berbeda dengan harga minyak mentah Indonesia (ICP) 2016 yang disepakati US$ 50 per barel. “Harga minyak saya periksa tadi WTI itu 29,87 dolar per barel, untuk Brent 29,25 dolar per barel. Ini terendah dalam 12 tahun terakhir,” ungkap Faisal, Senin (25/1/2016).
Penurunan harga minyak dunia saat ini, tambahnya, tidak diimbangi dengan penurunan harga BBM. Faisal menyebut, seperti harga BBM dengan RON 88 atau Premium masih lebih tinggi dari harga BBM dengan RON 95 di Malaysia. “Walaupun sudah diturunkan, harga Premium itu sekarang Rp 7.050 per liter. Premium itu RON 88. Di Malaysia, harga RON 95 Rp 5.916 per liter,” katanya.
Karena itu, Faisal menilai penurunan harga minyak dunia justru tidak bisa dirasakan secara langsung oleh masyarakat. “Tapi, kita tidak seluruhnya menikmati. Jadi, yang paling besar untungnya adalah Pertamina,” ujarnya.
Sebelumnya juga diungkapkan secara tersirat oleh Direktur Utama Pertamina, Dwi Soetjipto, harga BBM jenis solar yang dijual Pertamina di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) ternyata lebih mahal daripada yang dijual pihak swasta untuk kalangan industri. Menurut Dwi, saat harga minyak dunia yang sedang anjlok, harga BBM di pasaran bisa sesuai dengan harga pasar, sehingga lebih murah dari produk sejenis yang dijual pihaknya. “Tapi, itu tidak apa-apa. Karena, di situ ada masanya. Mungkin suatu saat harganya lebih tinggi. Tapi juga ada satu saat lain ketika banyak persaingan, akan semakin tertekan, sehingga harganya rendah,” kata Dwi di sela-sela acara Ikatan Alumni Institut Teknologi Surabaya (IKA ITS) di Jakarta, Sabtu (30/1/2016).
Kalau begitu, saat ini BBM yang dijual di Pertamina itu memang lebih mahal. Namun, katanya, semua itu bagian dari persaingan, jika pihaknya juga menyuplai BBM ke industri. “Saya kira sebenarnya kami ini produknya macam-macam. Termasuk kami juga jual tidak hanya BBM subsidi tapi jual BBM ke sektor macam-macam,” tuturnya. Jadi, tambahnya, dengan kondisi itu ada satu tempat ketika Pertamina harus bersaing harga. “Karena, persaingan yang terjadi cukup besar,” ujar Dwi lagi.
Diungkapkan Dwi, semua kebijakan Pertamina sekarang ini tak lebih dari keinginan perseroan untuk mendapat hasil kinerja yang lebih baik. “Semua kebijakan kami itu di-mix untuk mendapatkan kinerja terbaik,” katanya.
Lalu, kapan kebijakan itu membuat masyarakat lebih sejahtera, mengingat Pertamina adalah BUMN, badan usaha milik negara, bukan punya swasta? [PUR]