MARHAENISME
Marhaenisme adalah asas atau ideologi Partai Nasional Indonesia PNI) yang didirikan dan dipimpin oleh Ir Soekarno (1927). Dasar Marhaenisme ialah sosio-nasionalisme dan sosio- demokrasi. Sosio-nasionalisme ialah kebangsaan berdasarkan kemasyarakatan
atau kerakyatan yang berkeperimanusiaan. Adapun sosio-demokrasi adalah asas kesamaan yang berdasarkan kebersamaan
atau gotong royong. Marhaenisme merupakan ideologi yang bertujuan menghapus kemiskinan, penindasan manusia atas manusia, sekaligus merupakan antitesa dari kapitalisme.

Istilah dan dasar-dasar marhaenisme diciptakan dan diletakkan Bung Karno semasa awal pendirian PNI (1927-1933). Marhaenisme diilhami dari Marhaen, nama seorang seorang petani gurem yang ditemui Bung Karno. Marhaenisme telah disebutsebut dalam Indonesia Menggugat, pidato pembelaan Bung Karno di depan landraad Bandung, di tahun 1927.

Marhaenisme ditetapkan sebagai asas resmi PNI dalam sebuah manifes Kongres PNI VI di Surabaya, Desember 1952.

Ditahun 1960-an, Ali Sastroamidjojo, selaku Ketua Umum PNI, menegaskan bahwa marhaenisme adalah marxisme yang diterapkan dalam konteks Indonesia. Pada pidato peringatan HUT PNI ke-36, 7 Juli 1963, di stadion utama Senayan, Ali Sastroamidjojo menegaskan bahwa marhaenisme adalah doktrin dan program sosialisme ilmiah dalam konteks Indonesia.

Perkembangan ini memuncak saat dicetuskan “Deklarasi Marhaenis“ dalam pertemuan Badan Pekerja Kongres PNI
di Lembang, Bandung, November 1964. Deklarasi Marhaenis tersebut, antara lain, menyebutkan bahwa: “Partai Nasional Indonesia/Front Marhaenis adalat alat bagi kaum Marhaen untuk memperdjuangkan dan merealisasikan tjita2ja jaitu: kemerdekaan penuh, sosialisme, dan dunia baru….“

Dalam sidang Badan Pekerdja Kongres PNI di Lembang itu pula disetujui bahwa “Marhaenisme” ialah “marxisme jang diterapkan sesuai dengan kondisi2 dan situasi Indonesia”. PNI juga menegaskan citacitanya sebagai partai kaum marhaen untuk melawan imperialisme, neo-kolonialisme, dan kapitalisme.

MANIPOL-USDEK
Manipol adalah singkatan dari Manifesto Politik, yang semula adalah pidato kenegaraan Bung Karno pada 17 Agustus 1959, yng berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita. Bung Karno memberi judul seperti itu tentunya ada maksudnya. Revolusi berarti menjebol dan membangun setelah kita merebut kemerdekaan dari kolonialisme Belanda, dan mengkikis habis sisa-sisa kolonialisme seperti demokrasi liberal ekonomi kapitalis dan sistem feodalisme.

Pidato tersebut merupakan penjelasan dan pertanggungjawaban atas Dekrit 5 Juli 1959 dan merupakan kebijakan Presiden Soekarno pada umumnya dalam mencanangkan sistem demokrasi terpimpin. DPA Sementara dalam sidangnya pada bulan September 1959 mengusulkan kepada pemerintah agar pidato Presiden Soekarno yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi
Kita” dijadikan Garis-garis Besar Haluan Negara dan dinamakan “Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol)”.

Dalam pidato pembukaan Kongres Pemuda di Bandung pada bulan Februari 1960, Presiden Soekarno menyatakan bahwa intisari Manipol ada lima, yaitu: UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia (USDEK).

Selanjutnya, Presiden Soekarno menerima baik usulan tersebut. Pada sidangnya tahun 1960, MPRS dengan ketetapan MPRS No. 1/MPRS/1960 menetapkan Manipol-USDEK menjadi Garisgaris
Besar Haluan Negara (GBHN).

PEMBANGUNAN SEMESTA
Gagasan Pembangunan Nasional Semesta Berencana, atau pembangunan semesta, bermula dari pidato kenegaraan Bung Karno, 17 Agustus 1959, yang diberi judul Penemuan Kembali Revolusi Kita. Dalam pidato itu Bung Karno menegaskan bahwa Indonesia akan membangun dengan kekuatan modal sendiri, secara berencana dengan pimpinan di tangan negara. Modal sendiri diartikan sebagai modal nasional yang bersifat progresif. Sedangkan modal luar negeri dijadikan pelengkap dengan syarat tidak mengikat secara politik dan militer dan berbentuk pinjaman luar negeri.

Sasaran pembangunan semesta menyiratkan kehendak rakyat Indonesia untuk maju dan menjadi bangsa yang memiliki keunggulan peradaban di antara bangsa-bangsa lain di muka bumi. Rencana besar ini haruslah melingkupi pembangunan
politik, budaya, dan ekonomi. Pembangunan semesta didasarkan pada Trisakti: berdaulat dalam politik, berkepribadian dalam budaya, dan berdikari dalam ekonomi.

Pembangunan semesta kemudian menjadi keputusan politik, setelah menjadi Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/ 1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana
Tahun 1961-1969. Meski Ketetapan MPRS ini tidak dapat diimplementasikan dengan baik karena ada peristiwa Trikora, kemudian Dwikora, dan akhirnya pemberontakan G30S/PKI, Tap MPRS ini dapat disebut tonggak kesadaran bangsa Indonesia untuk menyusun perencanaan pembangunan dengan benar.