Ilustrasi: Grafiti Isis di Sukoharjo, Jawa Tengah/Solopos

Koran Sulindo – Bahkan setelah penangkapan baru-baru ini dan tewasnya puluhan anggotanya, jaringan grup militan di Indonesia yang terhubung dengan Negara Islam atau Islamic State (IS) yang terorganisasi di bawah payung Jemaah Anshoruh Tauhid (JAD) jelas tetap kekuatan yang besar.

Dalam sepekan terakhir, lima pengeboman telah mengguncang Pulau Jawa, menewaskan setidaknya 27 orang dan melukai lebih dari 50 orang. Ini merupakan serangkaian serangan bom teroris yang paling mematikan di negara ini sejak Bom Bali pada 2002. Serangan tersebut termasuk pengeboman tiga gereja di Kota Surabaya, yang dilakukan oleh sebuah keluarga yang menggunakan anak-anaknya sebagai pelaku bunuh diri.

Serangan terakhir terjadi pada Rabu pekan lalu ketika empat penyerang bersenjata pedang menyerang kantor polisi di Sumatra. Satu polisi terbunuh dan dua lainnya terluka. Para terduga militan ditembak mati. Seminggu sebelumnya, akibat kerusuhan di rumah tahanan di Markas Komando Brigade Mobil di Depok, enam polisi disandera oleh narapidana teroris terkait ISIS, akhirnya lima polisi dibunuh dan satu pelaku tewas.

Dibentuk pada 2015, JAD mencapai ketenaran pada Januari 2016 dengan sebuah serangan bergaya militer di pusat Jakarta yang menyebabkan kematian 4 orang biasa dan 4 penyerang. Puluhan serangan potensial lainnya digagalkan dalam dua tahun berikutnya, tapi dari beberapa serangan kecil yang dilakukan, sebagian besar ditujukan terhadap unit elit polisi kontra terorisme Detasemen Khusus (Densus) 88 – musuh bebuyutan JAD.

Dibentuk setelah pengeboman Bali 2002, dengan bantuan dari Kepolisian Federal Australia, Densus 88 menjadi salah satu unit kontra terorisme yang paling efektif di dunia, setelah menangkap lebih dari 1.000 militan.

Pada tahun lalu saja, 172 terduga teroris ditangkap dan 16 orang ditembak mati, menyusul penangkapan 163 terduga pada 2016 dan 73 pada 2005. Mayoritas dari para militan yang ditangkap baru-baru ini dikaitkan dengan JAD dan jaringan pendukung Negara Islam terkait Mujahidin Indonesia Timur (MIT).

Kembalinya Pejuang

Sejak deklarasi khalifah di Suriah dan Irak pada 2014, Negara Islam telah memberikan perhatian khusus pada perencanaan dan inspirasi serangan teroris selama Muslim berpuasa pada Ramadan, yang mulai pekan lalu.

Kali ini adalah Ramadan pertama sejak kelompok teroris ini kehilangan kendali atas sebagian besar wilayah kekuasaannya yang berpusat di sekitar Raqqa di Suriah dan Mosul di Irak. Karena Negara Islam jelas putus asa untuk mempertahankan brand-nya dan membuktikan potensi kelanjutannya di seluruh dunia, kini ada kekhawatiran bahwa serangan baru-baru ini di Indonesia adalah sebuah tanda kelompok ini telah memperluas jangkauannya ke arah timur ke negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia itu.

Sejak Negara Islam menjadi terkenal dengan kejatuhan Mosul pada 2014, telah ada kekhawatiran tentang potensi untuk menghidupkan kembali jaringan jihadi yang telah berusia puluhan tahun di Indonesia.

Sejak 2013, diperkirakan antara 600-1.000 orang Indonesia telah berkunjung ke Suriah dan Irak untuk bergabung dengan konflik tersebut, mayoritas tertarik pada Negara Islam dan kekhalifahan dongeng itu. (Lainnya bergabung dengan afiliasi Al-Qaeda seperti Jabhat al-Nusra).

Kepolisian Indonesia memperkirakan 400-500 dari para pejuang itu kemudian kembali ke Indonesia, baik dari Suriah maupun Irak, atau dari Turki dalam perjalanan mereka untuk bergabung dalam konflik tersebut. Banyak yang telah ditemukan di bandar udara oleh otoritas dan dibawa ke dalam program rehabilitasi. Tapi lainnya kembali tanpa pemberitahuan. Dengan kelemahan hukum di Indonesia, pejuang yang kembali tersebut tidak didapat dituntut karena perjalanan ke luar negeri untuk bergabung Negara Islam.

Setelah serangan JAD baru-baru ini di Indonesia, polisi lokal telah menyatakan tentang sel-sel tidur dari orang-orang yang kembali dari Timur Tengah dan kawan-kawan mereka, yang berbaring lemah dan memberikan kesan tidak memiliki kencenderungan melakukan kekerasan, bahkan ketika mereka mempersiapkan sebuah serangan pada waktu yang tepat.

Awalnya, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jenderal Tito Karnavian melaporkan bahwa satu keluarga terdiri dari enam orang terlibat dalam serangan bom di tiga gereja di Surabaya telah kembali dari Timur Tengah. Belakangan laporan-laporan media menyebut hal itu tidak terjadi: mereka tidak pernah ke Timur Tengah. Meski demikian, keluarga ini dan dua keluarga lainnya yang terlibat dalam serangan ini adalah kawan dekat dari para pejuang Negara Islam yang telah kembali.

Tersingkir di Timur Tengah

Dunia senang bukan kepalang ketika Raqqa, ibu kota de facto kekhalifahan Negara Islam, akhirnya dibebaskan pada Oktober 2017, setelah pengepungan empat bulan. Dengan jatuhnya kota ini, pertahanan terakhir dari puluhan ribu pejuang lokal dan asing juga dikalahkan.

Beberapa bulan sebelumnya, Mosul, kota terakhir yang dikendalikan oleh Negara Islam di Irak, jatuh setelah sembilan bulan terjadi perang urban paling brutal sejak Perang Dunia II. Dengan hancurnya kekhalifahan itu, diyakini Negara Islam akan tereliminasi juga.

Ternyata, kejatuhan Raqqa tidak menunjukkan kehancuran terakhir tentara Negara Islam. Sebaliknya, di bawah sebuah perjanjian rahasia yang diperantai oleh pemimpin Kurdi dan didukung Amerika, Tentara Demokratif Suriah yang memimpin pasukan membebaskan Raqqa, mengizinkan ribuan pejuang Negara Islam dan keluarga mereka meninggalkan kota itu dalam konvoi banyak bus dan truk.

Banyak yang datang ke Turki, tampaknya ada yang tertinggal. Tapi ribuan lainnya melaju ke padang pasir di Suriah Timur, menduduki wilayah sepanjang Sungai Eufrat dan terhubung dengan lainnya di di seberang perbatasan Irak utara pedesaan.

Banyak pejuang Negara Islam, terutama Arab lokal, melarikan diri, membaur ke dalam desa-desa dan komunitas gurun Sunni. Bahkan dalam pembebasan Mosul, yang sebagian besar Sunni, banyak orang lokal masih menyatakan dukungan untuk kelompok militan ini.

Pemilihan umum pemerintah yang didominasi Syiah di Baghdad dan gagalnya membangun kembali Mosul dan kota Sunni rusak lainnya, berarti bahwa di Irak, juga di Suriah, semua penderitaan komunal dan sosial yang dulu mendukung munculnya Al-Qaeda di Irak (AQI) dan Negara Islam Irak (ISI) tetap di tempat.

Bahkan ketika Negara Islam telah kehilangan wilayah di Irak dalam beberapa tahun terakhir, para pemimpinnya telah berbicara dengan keyakinan sebuah kultus apokaliptik, dengan percaya diri menyatakan bahwa bahkan jika mereka kehilangan khalifah, pemberontakan bangkit lagi.

Kini, kelompok ini memiliki pendukung dan afiliasi yang aktif di seluruh dunia Muslim, termasuk di Filipina Selatan dan “sebuah pemberontakan virtual” di banyak negara Barat yang berkontribusi sekitar seperempat dari total pejuang asing grup ini sebanyak 40.000 di Irak dan Suriah.

Pemberontakan ini masih jauh dari selesai, dan di Indonesia mungkin yang terburuk belum datang. [Greg Barton, Chair in Global Islamic Politics, Alfred Deakin Institute for Citizenship and Globalisation; Co-Director, Australian Intervention Support Hub, Deakin University]. Tulisan ini disalin dari theconversation.com, di bawah lisensi Creative Commons.