Kala Neoliberalisme Menjadi Alat Memonopoli

Ilustrasi monopoli korporasi - Istimewa

Neoliberalisme, sebuah pemahaman yang berangkat dari pemikiran Adam Smith, yang memandang produksi dan perdagangan sebagai kunci untuk membuka kemakmuran. Sehingga pemerintah harus memberikan kebebasan ekonomi kepada rakyat dalam bingkai perdagangan bebas baik dalam lingkup nasional maupun internasional.

Model pemikiran Adam Smith tersebut biasa disebut dengan Laissez Faire [jangan mengganggu kita]. Dalam buku The Wealth of Nations, Adam Smith menjelaskan perlunya prinsip kebebasan bagi manusia untuk melakukan apa saja dalam aktivitas ekonomi tanpa perlu campur tangan negara atau pemerintahan. Pandangan tentang invisible hand [tangan tak terlihat], kebebasan, persaingan dan kepentingan individu akan menghasilkan masyarakat yang stabil dan makmur.

Gagasan neoliberal menemukan dasar yang tepat pada periode tahun 1970-an ketika krisis minyak terjadi, inflasi yang tinggi dan lilitan utang di berbagai negeri. Kala itu model Keynesian dianggap sudah usang dan justru membuat dunia mengalami krisis. Keynesian merupakan model kebijakan ekonomi yang lahir pada 1930-an, ketika dunia sedang menderita resesi besar [great depression]. Keynesian sering disebut juga dengan kapitalisme negara, karena konsep campur tangan negara dalam kebijakan ekonomi dan perdagangan. Sementara neoliberalisme merupakan perkembangan atas liberalisme klasik yang mengadopsi langsung pemikiran Adam Smith.

Karena itu, boleh dibilang neoliberalisme merupakan varian perkembangan dari ide-ide Adam Smith. Ide tersebut telah mengalami perkembangan sejak awal 1930 dari ekonom-ekonom Jerman, tetapi baru mendunia kemudian pada periode 1970-an hingga sekarang. Keberadaan neoliberalisme tidak bisa dilepaskan dari keberadaan dan perkembangan krisis kapitalisme.

Secara historis, perkembangan kapitalisme terdiri atas beberapa fase sejarah. Dan tentu saja tidak bisa dilepaskan dari perubahan “laissez faire” kapitalisme menuju kapitalisme monopoli yang terjadi pada akhir abad 19 dan awal abad 20. Titik balik dari perkembangan kapitalisme secara ekonomi dan politik sendiri adalah.

  • Abad 17 : Revolusi Industri yang dimulai di Inggris
  • Abad 18 : Revolusi Prancis (1789-1848); menandai kekuasaan politik dari klas borjuasi.
  • Periode 1800an :  Perkembangan dari industri modern (mesin-mesin produksi untuk skala besar) yang kemudian menuntut konsentrasi kapital yang lebih besar.
  • Periode 1900 : Transisi dari kapitalisme menuju fase yang lebih tinggi dan reaktif dengan tingkatnya yang mencapai monopoli. Dengan perkembangan dari kapitalisme, memiliki ciri diantaranya
  • Perkembangan dari kekuatan produktif – industri : produksi sosial
  • Perkembangan dari pasar – “menghubungkan” dunia

Periode selepas 1900-an kemudian menunjukan perkembangan yang signifikan dari sistem kapitalisme monopoli dengan krisis yang semakin akut. Hal tersebut ditandai dengan stagnasi ekonomi dalam periode yang panjang, kemudian siklus berulang dengan pola resesi-depresi-recovery-meledak. Saat ini banyak disebutkan sebagai siklus krisis 10 tahunan, tetapi dengan derajat yang semakin dalam.

Secara ekonomi-politik sejarah kapitalisme tersebut akan mendeskripsikan perkembangan dari sejarah yang ditandai dengan periode sejarah kapitalisme yang semakin mengakar, penindasan yang semakin bengis, periode krisis dan perang. Krisis dari kapitalisme sebagai sistem sosial dan dalam skala global kemudian yang ketiga adalah siklus krisis boom-bust dari kapitalisme.

Fase dari perkembangan krisis kapitalisme memiliki periode yang panjang. Dari fase perkembangan tersebut kita akan melihat bagaimana perkembangan dari apa yang dimaksud saat ini sebagai liberalisme, Keynesian hingga neoliberalisme sebagai bagian dari krisis yang dibawa dalam era kapitalisme monopoli [baca: imperialisme] serta menjadi resep kebijakan ekonomi dan pasar untuk menyelamatkan sistem kapitalisme.

Neoliberalisme sesungguhnya tidaklah mencerminkan sebuah rantai perdagangan dan ekonomi yang bebas selayaknya free fight liberalism dalam konteks kapitalisme awal. Neoliberalisme lahir dimana dunia sudah berada pada fase kapitalisme tertinggi yaitu monopoli kapitalisme atau apa yang disebut Lenin sebagai imperialisme. Maka, neoliberalisme hanya merupakan tools untuk kebijakan ekonomi dan perdagangan dari imperialisme. Skema ini memungkinkan tekanan dari negeri besar untuk mengendalikan ekonomi sebuah negeri melalui skema perdagangan, investasi dan utang yang berjalan bersamaan, sebagai kontrol yang efektif dalam mendikte sebuah negeri yang tidak mampu membangun akibat kemalasan pemerintahnya membangun industri yang mandiri dan berdaulat.

Perubahan baik Keynesian maupun neoliberalisme hakikatnya tidak mengubah apapun selain sekedar pendekatan ekonomi dan perdagangan dari kapitalisme monopoli. Setelah era imperialisme, kapitalisme dan negara sudah menyatu dan menjadi alat atau instrumen ekonomi, politik dan militer yang efektif untuk menindas musuh-musuhnya. Keynesian menyelamatkan negara saat krisis besar 1930-an dengan intervensi negara dalam kebijakan ekonominya terutama soal kebijakan pajak dan keuangan publik. Sementara neoliberalisme menjadi obat yang manjur terutama untuk menjelaskan skema kapital finans yang berjalan bersamaan dengan ekspansi TNCs dan MNCs ke berbagai penjuru dunia. Kemudian ditambah dengan kekuatan lembaga ekonomi dan keuangan dunia untuk memastikan sistem keuangan dan perbankan berada di bawah kendalinya, seperti adanya IMF, World Bank, WTO, GATT, ADB dan lain sebagainya.

Dalam hal-hal pendekatan kebijakan ekonomi dan pasar milik imperialisme, James Petras menyebutkan ada dua rencana besar yang biasa disiapkan, yaitu pendekatan berorientasi liberal [neoliberalism] dan pendekatan yang berorientasi kesejahteraan sosial [social walfare]. Jika satu sistem gagal maka akan diganti dengan kebijakan berikutnya. Tetapi hal tersebut hanya untuk menipu rakyat untuk mempertahankan kekuasaan politik dan ekonomi.

Neoliberalisme sampai saat ini masih menjadi kebijakan ekonomi dan perdagangan yang dipertahankan oleh imperialisme, meski terbukti mengalami kegagalan mengeluarkan diri dari berbagai krisis yang kian kompleks dan mendalam. Oligarki keuangan telah menimbulkan krisis keuangan, sementara kelebihan produksi barang-barang teknologi tinggi termasuk persenjataan dan alat militer kian menjadi-jadi.

Bahkan dewasa ini neoliberalisme juga dalam beberapa kasus beriringan dengan upaya intervensi negara dalam kebijakan ekonomi, pasar dan perdagangan, seperti kebijakan pajak dan keuangan publik, perjanjian perdagangan dan zonasi ekonomi yang membentuk blok-blok perdagangan regional maupun multi-regional. Tetapi catatan dari skema tersebut tetap saja berada di bawah dominasi dan hegemoni negara-negara monopoli seperti AS, Eropa maupun Jepang serta Tiongkok yang muncul belakangan.

Bahkan dalam perkembangan yang terbaru, upaya untuk mengukuhkan doktrin neoliberalisme sebagai solusi kebijakan ekonomi dan pasar di berbagai negeri juga diperkuat dengan pandangan kesempatan untuk menjadi negeri berkembang melalui rantai nilai global [global value chain] maupun rantai pasokan global [global supply chain] berdasarkan pandangan keunggulan komparatif milik David Ricardo.

Pandangan tersebut lahir bahwa setiap negara memiliki keunggulan komparatif baik itu dalam bentuk bahan mentah, kapital maupun kualitas manusianya dibanding negara lainnya. Memanfaatkan bahwa sebuah produk bisa saja diproduksi melalui rantai produksi  yang dibuat di berbagai negeri, sehingga dalam pasokan dan nilai yang sudah mendunia hal tersebut bisa dimanfaatkan untuk memajukan industri sebuah negeri.

Neoliberalisme juga tidak lagi menyisakan pandangan tentang pasar bebas. Monopoli baik dalam aspek barang maupun modal menandakan bagaimana sudah tidak ada lagi namanya persaingan bebas. Bukti bahwa dominasi negara-negara besar dalam produksi barang sudah tidak ada yang bisa membantah. Sistem keuangan global juga berada di bawah kendali instrumen keuangan semacam IMF, WB, IBRD, AIIB hingga ADB yang bersanding dengan perusahaan keuangan raksasa semacam Goldman Sachs, Citi Group, dan lain sebagainya.

Krisis pulalah yang membuat subsidi dan anggaran publik walau dibatasi tetap dipertahankan sebagai politik anggaran di berbagai negeri.  Secara aktual yang membedakan saat ini adalah bagaimana upaya berbagai negera kembali mengupayakan sistem perpajakan untuk menambal defisit anggaran, sementara model pembangunanisme tetap menjadi role model di berbagai negeri.

Deregulasi dan privatisasi juga bagian dari ciri khusus neoliberalisme. Kebijakan tersebut menjadi upaya untuk mempercepat pembangunan dengan mengandalkan utang dan investasi, dengan memberikan ruang yang mudah dan cepat untuk perizinan dengan jalan memangkas berbagai hambatan investasi. Sektor-sektor penting terutama menyangkut kepentingan publik dengan dalih agar tidak membebani anggaran dan pengelolaan yang sehat maka harus diserahkan ke swasta. Ujung-ujungnya sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti air dan layanan publik lainnya hanya menjadi mesin pengeruk keuntungan perusahaan.

Neoliberalisme terus secara masif dikembangkan dengan berbagai cara untuk mempercepat dan memperdalam jangkauan modal dan barang milik imperialism, melalui TPP, APEC hingga RCEP dengan memaksa berbagai negeri untuk menurunkan secara masif nilai upah, tarif perdagangan hingga memberikan perlindungan pada sistem investasi di berbagai negeri dengan dalih hak cipta hingga hukum perlindungan investasi seperti yang dilakukan melalui skema ISDS [investment State Disputed on Settlement].

Di sisi lain skema neoliberalisme tersebut membawa angin “kebebasan” bagi investasi dan utang untuk mengendalikan berbagai negeri. Secara bersamaan krisis telah membawa rakyat kian menderita, defisit anggaran dan pencabutan subsidi dibarengi dengan penurunan nilai upah. Harga-harga kebutuhan sosial dikendalikan oleh kartel-kartel raksasa.

Neoliberalisme tidak membawa angin kedamaian apapun, bahkan belanja militer dan persenjataan secara global menunjukan kenaikan yang signifikan, dengan perang dan konflik semakin meluas ke berbagai negeri. Tidak terkecuali Indonesia yang bahkan anggaran militernya meningkat sementara anggaran publik semakin menurun drastis.

Lalu, benarkah kini Indonesia di bawah pemerintahan neoliberalisme? Secara umum kebijakan Joko Widodo – Jusuf Kalla menunjukan kebijakan-kebijakan yang mendukung skema ekonomi internasional. Paket-paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan oleh Jokowi menunjukan semangat untuk memfasilitasi investasi seluas-luasnya. Di saat yang sama melakukan pembangunan infrastruktur besar-besaran dengan berbasis utang.

Paket kebijakan tidak lebih dari semangat neoliberalisme seperti dengan paket deregulasi untuk memangkas aturan-aturan yang menghambat investasi, perizinanan dan berbagai teknis lainnya, kemudian penghapusan berbagai bidang usaha dalam Daftar Negatif Investasi [DNI] yang mencerminkan privatisasi berbagai sektor penting di publik.

Pada akhirnya neoliberalisme hanya sekadar alat proteksi kapitalisme monopoli dari negeri semacam AS untuk “memproteksi” MNCs mereka yang menggurita di berbagai negeri. Menjamin industri keuangan mereka untuk terus menjadi parasit pengumpul keuntungan dari investasi, pengerukan sumber daya alam dan pencurian nilai lebih di berbagai negeri. [CTR]