Kadiv Humas Polri Brigjen Polisi M. Iqbal: Netralitas bagi Polisi Adalah Harga Mati

Brigadir Jenderal Polisi M. Iqbal usai dilantik sebagai Kadiv Humas Polri, 14 November 2018.

Koran Sulindo – Belum lagi genap tiga bulan menduduki kursi Wakil Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur ((Wakapolda Jatim), Muhammad Iqbal ditarik kembali ke Jakarta, dipromosikan sebagai Kepala Divisi Hubungan Masyarakat (Kadiv Humas) Polri. Pangkatnya pun akan dinaikkan, dari brigadir jenderal menjadi inspektur jenderal polisi.

Iqbal resmi dilantik Kepala Polri Jenderal Polisi Tito Karnavian pada 14 November 2018 lalu di Gedung Satya Haprabu Mako Brimob Kelapa Dua Depok, Jawa Barat. Iqbal menggantikan Irjen Polisi Setyo Wasisto.

Padahal, Provinisi Jawa Timur bagi Iqbal sesungguhnya bukan daerah tugas yang baru sama sekali. Dia pernah menjadi Koordinator Staf Pribadi Kapolda Jatim pada tahun 2005, lalu tahun 2007 diangkat sebagai Kasat Lantas Polwiltabes Surabaya dan tahun 2008 menjadi Kapolres Gresik.

Setahun kemudian, 2009, Iqbal diberi amanah untuk menjadi Kapolres Sidoarjo. Tahun 2010, dia menjadi Wakil Kapolwiltabes Surabaya, sebelum menjadi Kepala SPN Lido Polda Metro Jaya (2011) dan kemudian menjadi Kapolres Jakarta Utara Polda Metro Jaya (2012). Tahun 2016, ia kembali lagi ke Jawa Timur, untuk menjalankan tugas sebagai Kepala Polrestabes Surabaya.

Namun, dunia kehumasan memang juga bukan hal baru bagi Iqbal. Tahun 2015 lalu, dia menjadi Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya dan tahun 2017 menjadi Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri.

“Terus terang, saya bahagia sekali kembali ke lingkungan ini. Sejak tahun 2015, saya sudah bergaul dengan media. Alhamdulillah saya dipercaya sebagai Kadiv Humas Polri. Saya akan all out dan saya akan memperkuat Divisi Humas Polri, karena posisinya sangat strategis,” kata Iqbal pada 29 November 2018 lalu di ruang kerjanya yang baru di Mabes Polri, Jakarta.

Adakah tugas khusus yang harus Brigjen Polisi M. Iqbal jalankan sebagai Kadiv Humas Polri, mengingat ini tahun politik dan tahun 1999 ada perhelatan nasional yang sangat penting, pemilihan anggota legislatif sekaligus pemilihan presiden dan wakil presiden?

“Tidak ada tugas khusus. Yang jelas, saya akan melanjutkan apa yang telah dijalankan pendahulu saya. Saya kan diangkat berdasarkan kebijakan pemimpin Polri dan pemimpin memutuskan kebijakan berdasarkan dewan kebijakan, jadi bukan keputusan tunggal Kapolri,”  tutur Iqbal.

Berikut petikan wawancara Yudha Marhaena dan Puwadi Sadim dari Koran Suluh Indonesia dengan lulusan Akademi Kepolisian tahun 1991 ini.Polarisasi di tengah masyarakat sekarang semakin tajam karena perbedaan pilihan politik, sehingga potensi konfliknya pun terlihat besar. Bagaimana Polri menyikapi situasi ini?
Ya, justru situasi yang seperti ini harus dihadapi dengan metode yang tenang. Masyarakat memang terpolarisasi dan masing-masing orang atau pihak ingin meraih kemenangan, tapi kita kan bukan bangsa yang baru pertama kali menyelenggarakan pemilihan umum. Kita telah menyelenggarakan pemilu sejak tahun 1955, sudah 11 kali. Jadi, insya Allah, Pemilu 2019 aman, bahkan jauh lebih aman daripada pemilu-pemilu sebelumnya. Kami jamin keamanannya.

Mengapa bisa begitu yakin?
Kita harus melihat juga, meski terpolarisasi karena pilihan politik, masyarakat kita sekarang sudah semakin dewasa, masyarakat sudah dapat menilai mana yang motif yang benar-benar original dan mana yang bermuatan politik.

Tapi, di tengah masyarakat juga ada yang menilai, Polri tidak netral, meski pihak Polri sudah menegaskan sikap netralnya….
Ada memang masyarakat yang tidak suka terhadap polisi, di mana-mana ada. Jangankan dalam pesta demokrasi, dalam situasi “normal” pun sikap masyarakat yang seperti itu ada. Misalnya untuk hal yang kecil saja, menindak pengendara sepeda motor yang tidak memakai helm, polisi bisa dibenci.

Karena, polisi melakukan upaya penegakan hukum. Ketika orang dihukum kan sebenarnya hak asasinya terampas, tapi itu dilakukan dalam koridor hukum, dengan tujuan mulia, untuk menyelamatkan orang banyak.

Jadi, tidak ada sama sekali polisi berpihak. Netralitas bagi polisi adalah harga mati. Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian juga sudah menunjukkan komitmennya, bila ada perwira tinggi polisi yang tidak netral dalam hitungan jam akan di-nonjob-kan.

Belakangan ini, Polri sebagai bagian dari masyarakat sipil lebih tergambarkan sebagai penegak hukum, penindak kejahatan, bukan sebagai pengayom masyarakat. Pendapat Anda?
Kami justru lebih banyak menjalankan program pengayoman masyarakat. Contohnya sekarang ini kan banyak kasus ujaran kebencian. Itu lebih banyak yang kami ayomi. Terduga pelakunya lebih banyak yang kami panggil dan kami bina daripada yang kami lakukan penindakan hukum. Kami kan melihat latar belakang profilnya dulu. Kalau cuma iseng, misalnya, akan kami beri ruang orang itu untuk meminta maaf. Penegakan hukum kan hakikatnya keadilan, bukan teks, tapi konteks.

Contoh lain bisa kita temui sehari-hari dalam pelanggaran lalu-lintas. Para pelanggar itu lebih banyak yang kami tegur dan kami ingatkan daripada yang kami tindak. Jadi, lebih banyak yang kami ayomi. Tapi, penindakan hukum juga kami jalankan, karena harus ada efek deteren di situ.

Sebagai Kadiv Humas Polri, program apa yang akan Anda jalankan agar fungsi pengayom dari Polri semakin dirasakan masyarakat?
Begitu saya dilantik, saya sudah mengatakan, saya akan menjadikan Polri lewat Divisi Humas sebagai sistem pendingin, cooling system. Bukan hanya lewat narasi kami dan konteks-nya, tapi juga lewat gesture kami, harus dapat menyampaikan pesan-pesan yang sejuk. Kami yang di Divisi Humas Polri sebagai juru bicara ke publik kan mewakili 450 ribu personel Polri.

Itu sebabnya, kami melakukan berbagai upaya untuk mendesiminasi konten-konten positif dan memberikan klarifikasi. Juga tidak reaktif dalam menanggapi hal-hal yang kontroversial. Enggak perlu reaktif. Karena, sekarang ini kan tahun politik, situasinya situasi politik. Dalam politik kan kita tahu, satu tambah satu tak mesti dua dan Polri tak perlu terjebak dalam hal itu. Jadi, kami lebih banyak melakukan upaya cooling system.

Tindakan-tindakan lain di lapangan, 450 ribu polisi setiap hari melakukan upaya-upaya penyampaian pesan positif kepada masyarakat. Juga melakukan pendekatan ke seluruh elemen masyarakat. Itu terus dilakukan, sebagai bagian dari cooling system. Ini juga dilakukan Kapolri, dengan melakukan anjangsana, silaturahim, dan sebagainya. Karena, memang, kami menyadari benar, polisi tak bisa bekerja sendiri. Tidak akan optimal, tidak akan efisien dan efektif, jika polisi bekerja sendiri. Itu sebabnya juga kami menambah “pasukan” baru.

Pasukan baru seperti apa?
Pasukan baru kami, ya, masyarakat. Itu istilah saya. Kami melakukan pendekatan partisipatif. Jadi, tak ada hari tanpa penambahan pasukan baru untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat sendiri. Kami pun lebih banyak menemui masyarakat. Bahkan, Pak Kapolri telah menyerukan kapolda-kapolda agar tidak berlama-lama di kantor, tapi harus lebih banyak ke lapangan, berada di tengah masyarakat. Begitu pula kapolres, kapolsek, dan seluruh kepala satuan. Kami semua harus menemui masyarakat dan mengajak masyarakat untuk menciptakan dan memelihara keamanan dan ketertiban yang kondusif, sejuk, damai.

Begitu juga dengan tim pemenangan pemilu dari masing-masing pihak dan yang lain-lain, kami dekati. Kami mengajak mereka untuk mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan kelompok. Jangan pecahkan Negara Kesatuan Republik Indonesia demi kepentingan kelompok. Kami misalnya mengadakan deklarasi damai, makan bakso bersama, main sepakbola bareng, dan sebagainya dengan mereka. Intinya, kami sebagai personel Polri menjadikan diri kami sebagai perekat persatuan bangsa. []