BOLOS kuliah bagi pemuda 20-tahunan itu benar-benar menjadi siang dengan waktu yang luang. Sepeda dikayuhnya pelan-pelan tak terburu mengelilingi Bandung.
Ketika akhirnya ia memutuskan berhenti, tempat itu adalah sawah di pinggir jalan.
Di sawah dengan seorang petani muda tengah mencangkul sepetak tanah tak seberapa luas. Turun dari sepeda pemuda itu menyapa sang petani.
“Siapa pemilik sawah ini?” tanya dia. “Saya juragan. Ini tanah turun temurun. Diwariskan dari orangtua,” kata si petani itu hormat.
Tentu saja ia menaruh hormat, karena dari dandanan dan sepeda kendaraannya pemuda itu jelas bukan berasal dari ‘kaumnya’. Berbeda dengan sang pemuda yang necis, si petani memang bergelimang lumpur.
“Lalu bajak dan cangkul itu, apa punyamu?” tanya si pemuda lagi. “Iya gan,” jawab si petani.
“Lalu hasilnya untuk siapa?” si pemuda mengajukan pertanyaan lain. “Untuk saya gan, hasilnya hanya cukup untuk hidup sehari-hari,” kata petani itu.
Ketika ditanya namanya, petani itu menjawab singkat. “Marhaen.”
Obrolan singkat siang tanpa hari dan tanggal di sawah di pinggir jalan itu kelak menjadi percakapan abadi. Pemuda necis yang mencecar Marhaen dengan pertanyaan itu adalah Soekarno muda.
Kelak puluhan tahun kemudian ia ‘menjadi’ pembebas sebuah bangsa yang rakyatnya dijajah ratusan tahun dan memimpinnya sekaligus.
“Di saat itu cahaya ilham melintas di otakku. Aku akan memakai nama itu untuk menamai semua orang Indonesia yang bernasib malang seperti dia. Semenjak saat itu kunamakan rakyatku, Marhaen,” kisah Soekarno dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat biografi yang ditulis Cindy Adams.
Bagi Soekarno muda, petani yang berusaha pada tanah yang sangat kecil itu adalah korban pemerasan feodalisme bangsawan selama berabad-abad sebelumnya.
Ketika orang-orang asing yang lebih maju datang, mereka dipaksa menjadi korban ekonomi imperialisme dengan hanya sanggup memenuhi kebutuhan makannya. Lepas dari mulut harimau, mulut buaya sudah menungu!
“Seorang Marhaen adalah orang yang memiliki alat-alat yang sedikit, orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri,” kata Soekarno.
“Bangsa kita yang puluhan juta jiwa, yang sudah dimelaratkan, bekerja bukan untuk orang lain dan tidak ada orang bekerja untuk dia. Marhaenisme adalah Sosialisme Indonesia dalam praktik.”
Indonesia Menggugat
Bagi Soekarno, Marhaenisme adalah penemuan kembali kepribadian nasional Bangsa Indonesia. Nasib orang-orang seperti Marhaen inilah yang digugat ketika ia saat menjalani proses verbal di Landraad Bandung.
Sebagai aktivis, ruang sidang adalah panggung untuk menangkis tuduhan kolonial sekaligus mempropagandakan cita-cita politiknya dalam pledoi bertajuk “Indonesia Menggugat”.
Ketika membacakan pledoinya tanggal 1 Desember 1930, kemarahan ‘Marhaen’ yang disusun dari ruang yang gelap dan pesing di Penjara Bantjeuj itu menggelegar dan tepat menohok jantung kekuasaan kolonial.
Pledoi terang-terangan menelanjangi kebusukan imperialisme dan kapitalisme.
Menurut Soekarno, tiap-tiap bangsa atau umat manusia yang ditindas akan bangkit melawan jikalau sudah terlalu-lalu merasakan betapa celakanya teraniaya oleh suatu daya yang angkaramurka!
“Jangankan manusia, jangan lagi bangsa, cacing pun tentu bergerak berkeluget-keluget kalau merasakan sakit,” kata Soekarno di depan para hakim.
Menurutnya, sejak awal abad ke-20, rakyat Indonesia sudah bangkit karena muak dengan imperialisme dan kolonialisme.
Ia menampik tudingan ‘penghasut’ yang dialamatkan pada kaum pergerakan dan menjelaskan lahirnya pergerakan rakyat adalah buah kesengsaraan dan kemelaratan yang disebabkan penindasan kolonial.
Dipenuhi literatur, pembelaan itu menyitir pendapat puluhan tokoh mulai dari yang marxis, nasionalis, humanis radikal sampai golongan etisi kolonial. Dari tokoh marxis, pidato itu mengutip Karl Mark, Karl Kautsky, Henriette Roland Holsts, Jean Jaures, Troelstra, dan Sneevliet.
Sedangkan dari golongan nasional, Soekarno mengutip Sun Yat Sen, Mazzini, Sarojini Naidu, dan Mustafa Kamil. Dari kalangan ekonom ada Rudolf Hilferding sementara dari sastrawan terdapat August de Wit. Pledoi juga menyitir intelektual Belanda seperti Snouck Hurgronje hingga J Pieter Veth.
Memperkuat argumentasinya, pledoi juga membeberkan data-data konkret seperti jumlah luas tanah yang dikuasai perkebunan kolonial. Juga data tentang keuntungan yang dibawa pergi oleh perusahaan-perusahaan Belanda dan kapitalis asing lainnya dari tanah Hindia-Belanda.
Menurut Soekarno susunan pergaulan hidup Indonesia adalah pergaulan hidup yang sebagian besar sekali adalah terdiri dari kaum tani kecil, kaum buruh kecil hingga kaum pedagang kecil.
Kaum marhaen sama halnya kaum proletar dalam istilah Marxisme-Leninisme untuk menyebut mereka yang tertindas. Bedanya, Marhaen tidak menjual tenaga produksinya pada orang lain meski hidupnya tetap miskin.
“Amboi, dan berapakah besarnya upah yang biasanya diterima oleh kang Kromo atau kang Marhaen itu! Berapakah, umpamanya besarnya upah di dalam perusahaan terpenting yakni perusahaan gula, − itu perusahaan gula yang berdiri di tengah tengah pusat pergaulan hidup Bumiputera, di tengah tengah ulu hatinya pergaulan hidup itu?” kata Soekarno.
Menjawab pertanyaan itu, meminjam tulisan Dr. Huender, Soekarno menyebutkan bahwa perusahaan gula berlaku sangat jahat bagi yang rakyat yang menyewakan tanahnya. Sementara kepada buruh di perusahaan upah cuma sekadar cukup untuk menolak maut. Minimumloonen!
Menurut Soekarno, minimumloonen atau upah minimum itu di Hindia gampang ditemui dimana-mana selama rumah tangga bumiputera masih berupa rumah tangga yang kocar-kacir. Selama rakyat Bumiputera masih minimumlijdster selama itu pula mereka terpaksa menerima upah minimum untuk menolak maut.
Istililah minimumlijdster digunakan Soekarno untuk menyebut kondisi rakyat yang kelewat melaratnya, sehingga kalau umpamanya dikurangi sedikit saja bekal hidupnya niscaya ia bakal binasa. [TGU]
* Tulisan ini pertama dimuat Mei 2018