Koran Sulindo – Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin telah mengumumkan susunan kabinet mereka untuk pemerintahan periode 2019-2024.
Kabinet periode kedua ini berisi 34 menteri dan 4 jabatan setingkat menteri, yang terdiri atas 16 orang berlatar partai politik (parpol) dan 18 orang berlatar non-parpol. Terdapat pula enam menteri yang berlatar belakang militer dalam kabinet ini.
Pada periode sebelumnya, Jokowi juga mempunyai 34 menteri, dengan 15 menteri dari parpol dan 19 berlatar non-parpol.
Dengan memberikan jabatan kepada partai pendukung, dan, secara mengejutkan, pada lawan politiknya Prabowo Subianto dari Partai Gerindra, Jokowi tampaknya hendak mengonsolidasikan kekuatan politik dalam periode pemerintahan kedua ini.
Kami menanyakan para ahli untuk menjelaskan bagaimana mereka membaca keputusan Jokowi dan Ma’ruf dalam pemilihan menteri.
Penyeimbang Kekuatan Politik
Justito Adiprasetio — Pengajar ilmu jurnalistik dan komunikasi massa di Universitas Padjadjaran, Bandung
Dalam kabinet ini Jokowi mencoba mengakumulasi kekuatan politik sebesar mungkin. Sebuah langkah yang sangat mencerminkan model kekuasaan Jawa, dengan berusaha mewujudkan harmoni dan keseimbangan.
Memberikan ruang pada Prabowo–lawan dalam dua kali pemilihan presiden–sebagai Menteri Pertahanan yang mengatur, menentukan anggaran dan, mengembangkan pengaruh di tapal militer adalah langkah yang berani sekaligus mengandung risiko.
Risiko pertama dalam hal kepercayaan dari masyarakat, terutama pemilih yang tidak mau Prabowo berkuasa.
Risiko kedua adalah ketegangan di dalam kabinet. Keberadaan Prabowo dalam kabinet akan dibayangi rekam jejak kompetisi antara mereka berdua.
Misalnya, kita bisa membayangkan siapa saja menteri di luar dari partai pengusung yang mungkin akan diganti bila kinerjanya tidak baik, tapi apa bisa kita membayangkan Prabowo dikeluarkan oleh Jokowi?
Dalam hal mencapai keseimbangan, penunjukan Fachrul Razi (lulusan Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Akabri tahun 1970) sebagai Menteri Agama sebagai penyeimbang Prabowo (Akabri 1974) adalah contoh paling vulgar upaya Jokowi.
Fachrul pernah menjadi wakil ketua Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang merekomendasikan pemecatan Prabowo tahun 1998–diantaranya karena memerintahkan penculikan aktivis pro-demokrasi.
Usaha memasukkan profesional adalah upaya Jokowi lain untuk mencari keseimbangan baru, baik secara internal maupun eksternal.
Penunjukan sosok-sosok segar dari kalangan profesional seperti CEO Gojek Nadhiem Makarim, CEO NET TV Wishnutama, dan pendiri grup bisnis Mahaka Erick Thohir pada pos yang strategis diharapkan direspons positif oleh publik.
Ekonomi, bukan Demokrasi
Juwita Hayyuning Prastiwi – Pengajar ilmu politik di Universitas Brawijaya, Malang
Lewat kabinet ini, tampak apa yang ingin diraih Jokowi terfokus pada pembangunan ekonomi.
Kehadiran kalangan profesional juga sepertinya untuk mendukung efektivitas pemerintahan dalam pembangunan ekonomi, dan untuk menghindari konflik kepentingan antar parpol.
Pembangunan demokrasi melalui kebebasan sipil dan kebebasan politik agaknya tidak menjadi pertimbangan dalam proses penyusunan kabinet ini.
Pemilihan Prabowo pada satu sisi dapat mendinginkan keterbelahan politik masyarakat yang terjadi sejak tahun 2014. Namun, pada sisi lain kehadiran Prabowo dan partainya menunjukkan tidak adanya pihak lawan yang dapat mempertanyakan dan memeriksa kebijakan pemerintahan Jokowi.
Konsolidasi tokoh elite baik pejabat di legislatif maupun eksekutif dalam pemerintahan Jokowi sangat tinggi; mereka telah bersatu dalam gerbong yang sama.
Dengan bergabungnya Gerindra, maka komposisi dukungan kursi legislatif untuk pemerintahan Jokowi adalah sebanyak 427 kursi dari total 575 kursi. Berdasarkan jumlah ini, kebijakan-kebijakan yang akan dihasilkan bisa jadi tidak mendapatkan masukan dan kritik yang memadai dari internal parlemen.
Kondisi ini dapat menjadi ancaman bagi demokrasi karena melemahnya fungsi pengawasan dari parpol, termasuk yang berada di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Di periode lalu, konsolidasi elite juga tampak pada pembahasan undang-undang (UU) dan rancangan undang-undang (RUU) kontroversial di akhir masa jabatan Jokowi dan DPR. Hal ini salah satunya dapat dilihat dari minimnya penolakan pada revisi UU tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Demi Stabilitas Politik
Muhammad Ryan Sanjaya – Pengajar bidang ekonomi dan bisnis di Universitas Gajah Mada
Komposisi kabinet baru Jokowi memiliki kekuatan politik besar. Koalisi Indonesia Kerja di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat ini memegang 61% suara (belum ditambah Gerindra). Artinya ada dukungan politik yang kuat baik di kabinet maupun di DPR.
Sama seperti pada pemilihan kabinet (dan perubahan kabinet) di periode sebelumnya, pemilihan kabinet saat ini tampaknya mencerminkan pilihan praktis dari Jokowi sembari mencari keseimbangan antara kalangan profesional dan parpol.
Komposisi kabinet baru ini, dari kalangan profesional sebanyak 53% dan dari parpol 47%.
Bedanya, Jokowi kali ini sepertinya sungguh mengutamakan stabilitas politik di atas penguatan kelembagaan dan supremasi hukum.
Padahal kedua hal tersebut merupakan pondasi bagi tercapainya tujuan negara sebagaimana tercermin dalam Pembukaan UUD 1945, misalnya melindungi segenap bangsa Indonesia dan menciptakan keadilan sosial. Dua hal ini tidak membutuhkan sumber daya fiskal yang besar.
Meskipun Jokowi memiliki dukungan kuat di kabinet dan DPR, namun tidak tampak kemauan politik dari Jokowi maupun partai pendukung untuk memperkuat kelembagaan dan supremasi hukum. [Tulisan ini disalin dari theconversation.com]