OPINI – Badan Legislasi DPR RI menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menjadi RUU usul inisiatif DPR.
Sembilan fraksi di Baleg DPR menyetujui draf revisi UU Kementerian Negara, yang salah satu pasalnya terkait pembatasan jumlah kementerian sebanyak 34 dihapus. Penentuan jumlah kementerian diusulkan untuk diserahkan kepada presiden dengan mempertimbangkan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
Ketua Badan Legislasi DPR RI Supratman Andi Agtas berujar revisi UU Kementerian Negara merupakan RUU kumulatif terbuka, sehingga meskipun tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional 2020-2024 revisi regulasi tersebut dianggap sebagai konsekuensi dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-IX/2011.
“Nanti akan kami bahas bersama dengan pemerintah, kami menunggu presiden mengirimkan Supres-nya dan siapa menteri yang ditunjuk untuk membahas ini,” kata Politisi Fraksi Partai Gerindra ini.
Saat ini, Presiden Joko Widodo belum memberikan sikap resmi pemerintah terkait revisi UU Kementerian Negara. Revisi dapat terjadi jika presiden mengirimkan Surat Presiden persetujuan kepada DPR, dan menugaskan menteri-menteri yang terlibat dalam pembahasan revisi tersebut.
Revisi undang-undang ini sedang dipercepat para anggota dewan di Senayan. Undang-undang yang bakal melegitimasi langkah politis presiden terpilih 2024, Prabowo Subianto. Gagasannya, administrasi pemerintahan baru akan menambah jumlah kabinet dari 34 yang sekarang, menjadi sekitar 40 kementerian, kabinet ‘gemoy’, istilah kekinian yang merujuk kata gemuk yang bikin gemas, istilah yang populer dipakai tim sukses Prabowo – Gibran di masa kampanye kemarin.
Presiden terpilih ingin mengakomodasi semua kekuatan politik (partai dan non-partai). Dia memerlukan banyak ‘kue’ untuk dibagi, banyak posisi untuk merangkul sejumlah besar kekuatan pendukung. Tarik menarik pun dimulai, politisi partai minta kursi sebanyak mungkin dan mengincar posisi strategis. Umumnya ada dua kriteria kementerian yang diincar: kementerian basah secara keuangan dan kementerian yang berguna untuk kepentingan elektoral. Siapa yang memegang kedua kunci itu, maka merekalah yang akan diuntungkan dalam pertarungan selanjutnya.
Kementerian yang strategis secara keuangan antara lain kementerian pertambangan dan mineral, BUMN, PU, dan kehutanan. Sementara yang strategis secara elektoral adalah kementerian dalam negeri, sosial, desa, dan pertanian. Kementerian pendidikan dan agama sebenarnya juga masuk dalam kriteria kedua mengingat besarnya jumlah dana yang dikelola dan jumlah pegawai yang dimiliki.
Apa artinya kabinet gemuk ‘gemoy’ seperti ini? Mereka yang berpandangan positif mengatakan bahwa ini adalah kabinet yang akomodatif. Artinya, semua akan dapat bagian. Selain akomodatif, kabinet semacam ini mengurangi risiko konflik. Logikanya, kalau semua orang dapat bagian, ia tentu tidak akan mengganggu pemerintahan. Karena apa? Karena ia ada di dalamnya.
Pandangan lain mengatakan bahwa kabinet gemuk ini perlu untuk efisiensi pemerintahan. Kita bisa tidak setuju dengan pendapat ini karena biasanya efisien merujuk pada porsi ramping langsing dan bisa bekerja cepat dengan hasil tepat. Artinya, sesuatu yang gemuk atau banyak akan sulit bergerak dan tidak efisien.
Mengapa Prabowo Subianto perlu melakukan kompromi walaupun dia menang dengan mayoritas penuh (58%) dalam pemilihan presiden kemarin? Prabowo juga didukung koalisi 10 partai politik dengan suara sangat besar di parlemen, hampir tidak akan ada perlawanan suara dari partai oposisi.
Mengapa ia tidak melangkah sendiri membentuk pemerintahan. Toh dia berada pada posisi mayoritas?
Dia bisa memaksa partai-partai yang mendukungnya untuk menerima bagian dan duduk dalam posisi kabinet yang dia kehendaki. Artinya, dia benar-benar menjalankan hak prerogatifnya untuk memilih kabinet. Dia dapat mengalokasikan beberapa kementerian untuk diurus secara profesional oleh para teknokrat. Sisanya, untuk politisi partai.
Mengapa hal itu tidak dia lakukan? Posisi Prabowo saat ini lebih lemah dibanding Joko Widodo (Jokowi) di 2019 ketika dia dengan mudah memasukkan teknokrat (sebagian diajukan oleh partai politik juga) dan memberi porsi kecil terhadap partai-partai.
Dalam politik, Anda menjadi penguasa itu berarti Anda memiliki kemampuan untuk memaksa orang lain melakukan apa yang Anda kehendaki. Itu pelajaran dasar politik. Jika Anda tidak mampu, maka sesungguhnya Anda penguasa yang lemah.
Prabowo tidak saja tersandera oleh partai-partai politik — yang berharap dapat kursi atas dukungan mereka saat pilpres kemarin — namun dia juga berhitung dengan Jokowi, yang anaknya bakal jadi wakil presidennya dan tentu juga memiliki kepentingan untuk mendudukkan orang-orangnya di pemerintahan.
Melihat semua kenyataan ini, bisa dikatakan bahwa Prabowo akan menjadi presiden yang lemah, yang tidak bisa memaksakan kehendaknya terhadap kekuatan-kekuatan yang menaikkan dia ke kekuasaan. Jika dia benar-benar presiden yang kuat, tidak perlu kabinet yang gemuk, dia bisa menawar jumlah kursi yang diminta partai-partai pendukung. Dia bisa memaksa orang untuk mengikuti kepemimpinannya. Presiden akan menjadi nahkoda dari kapalnya sendiri ke tujuan yang dia tetapkan — bukan kapal yang mengharuskan dia singgah di banyak pelabuhan.
Penambahan atau pengurangan kementerian harus merujuk kebutuhan yang objektif, efisiensi birokrasi, kepentingan publik, dan bukan kepentingan politik, meski jumlah kementerian dan pemilihan menteri merupakan sepenuhnya hak kepala negara. Biaya administrasi pemerintah meningkat secara mendasar dengan setiap kementerian baru yang didirikan dan itu membebani anggaran negara.
Koordinasi antar-kementerian menjadi semakin rumit, menghambat pengambilan keputusan yang efisien dan pelaksanaan kebijakan yang efektif. Bukannya memberikan solusi, penambahan kementerian justru menciptakan hambatan-hambatan baru yang menghalangi upaya reformasi birokrasi. Penambahan kementerian juga menyebabkan pemborosan sumber daya yang signifikan.
Langkah mengubah undang-undang sudah berjalan, jumlah kementerian sudah pasti akan bertambah, perkara efisien atau pemborosan hanya menjadi perdebatan selintas di media sosial, tidak bakal mengubah keputusan. [KS]