Kabinet 100 Menteri adalah nama yang diberikan untuk kabinet yang dibentuk oleh Presiden Sukarno sebagai tanggapan terhadap krisis sosial, ekonomi, dan keamanan setelah Gerakan 30 September 1965 (G30S).
Kabinet ini resmi bernama “Kabinet Dwikora yang Disempurnakan” atau “Kabinet Dwikora II” dan beranggotakan lebih dari 100 menteri. Namun, kelompok yang menentang Sukarno menyebutnya “Kabinet Gestapu” (Poesponegoro 1984: 409; Satari 1991: 565).
Masa tugas kabinet ini sangat singkat, hanya berlangsung dari 24 Februari 1966 hingga 27 Maret 1966.
Latar Belakang Pembentukan Kabinet
Pasca-G30S, antara Oktober 1965 dan Maret 1966, kalangan pemuda, pelajar, dan mahasiswa melakukan banyak aksi demonstrasi memprotes berbagai program pemerintah yang dianggap menyengsarakan rakyat.
Mereka menyampaikan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura), yaitu: membubarkan PKI, membersihkan kabinet dari unsur-unsur G-30-S/PKI, dan menurunkan harga serta memperbaiki ekonomi (Poesponegoro 1984: 404).
Pada 21 Februari 1966, Sukarno melakukan reshuffle Kabinet Dwikora I, tetapi tetap mempertahankan tokoh-tokoh PKI dan simpatisannya, seperti Subandrio, Surachman, Oei Tjoe Tat, Suryadarma, dan Sudibjo.
Sebaliknya, tokoh-tokoh penentang PKI seperti Jenderal A.H. Nasution, Martadinata, Arudji Kartawinata, dan Artati Marzuki tidak dimasukkan ke dalam kabinet (Gie 1995: 9-10). Hal ini menimbulkan kekecewaan di kalangan mahasiswa, masyarakat, dan Angkatan Bersenjata yang anti-komunis.
Tugas dan Tujuan Kabinet Dwikora II
Dalam pelantikan Kabinet Dwikora II pada 24 Februari 1966, Sukarno menegaskan kepada anggota kabinetnya untuk menciptakan landasan yang kuat dan luas untuk bertahan serta mengefektifkan perjuangan dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain (Setiyono & Triyana eds. 2014: 446; Toer & Prasetyo, eds. 1995: 203).
Namun, protes dari mahasiswa dan pelajar, terutama dari Universitas Indonesia yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), terus berlanjut.
Mereka memprotes kebijakan kenaikan harga BBM dan bahan pokok serta mencoba menggagalkan acara pelantikan kabinet. Aksi tersebut menyebabkan tewasnya Arief Rahman Hakim, anggota KAMI, akibat ditembak Pasukan Pengamanan Presiden “Tjakrabirawa” (Gie 1995: 11).
Reaksi Sukarno dan Krisis Politik
Sukarno menafsirkan aksi demonstran sebagai upaya untuk mendongkelnya dari jabatan Presiden. Ia kemudian membentuk “Barisan Sukarno”, meskipun Pimpinan Angkatan Darat (ABRI) menyatakan bahwa seluruh rakyat adalah Barisan Sukarno, sehingga tidak diperlukan adanya pembentukan secara fisik. ABRI dan Front Pancasila mendukung Tritura sebagai solusi politik.
Untuk mengatasi krisis yang semakin parah, Sukarno mengundang Front Pancasila dan wakil-wakil partai politik seperti NU, PSII, IPKI, Perti, Partai Katolik, Parkindo, PNI-Asu, Partindo, dan Muhammadiyah pada 10 Maret 1966. Namun, pertemuan ini tidak memuaskan kedua belah pihak karena permintaan pembubaran PKI tidak dipenuhi (Poesponegoro 1984: 411).
Akhir Kabinet 100 Menteri dan Supersemar
Sidang terakhir Kabinet 100 Menteri diadakan pada 11 Maret 1966. Presiden memimpin sidang ini, namun tidak sampai pada pengumuman tentang penyelesaian tuntas G30S karena adanya informasi terkait keamanan presiden yang memaksanya meninggalkan ruang sidang.
Di Istana Bogor, Sukarno mengeluarkan “Surat Perintah 11 Maret” (Supersemar) yang memberikan kebebasan bertindak kepada Soeharto untuk mengatasi situasi keamanan.
Pada bulan Maret 1967, dalam sidang MPRS, Sukarno dibebaskan dari semua kekuasaan dan Soeharto diangkat sebagai pejabat Presiden. Ini menandai awal Orde Baru di Indonesia.
Kabinet 100 Menteri menjadi simbol dari upaya Sukarno untuk mempertahankan kekuasaannya di tengah krisis nasional yang melibatkan berbagai kepentingan politik dan sosial. Meskipun usianya singkat, kabinet ini mencerminkan kompleksitas masa transisi politik Indonesia pasca-G30S. [UN]