Koran Sulindo – Salah satu program andalan pemerintahan Jokowi-JK, penyediaan listrik 35.000 Megawatt, terancam molor. Padahal, Presiden Joko Widodo sendiri pernah menargetkan proyek ini harus sudah terealisasi tahun 2019. “Target 35.000 megawatt bukan target main-main, itu realistis. Jadi harus dicapai dengan kerja keras,” ujar Jokowi saat memberi pengarahan kepada direksi dan jajaran PLN beberapa waktu lalu. “Listrik yang cukup, adalah kunci bagi tercapainya pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat,” imbuhnya.
Dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi 6 %–7 % setahun, penambahan kapasitas listrik di dalam negeri membutuhkan sedikitnya 7.000 MW per tahun. Artinya, dalam lima tahun ke depan (2015-2019), penambahan kapasitas sebesar 35.000 MW menjadi suatu keharusan. Dari 35.000 MW pembangkit yang akan dibangun – 25.904 MW oleh swasta dan 10.681 MW oleh PLN – dibutuhkan dana lebih dari Rp 1.127 triliun. Karena itu, keterlibatan pihak swasta sebagai Independent Power Producer (IPP) mutlak dibutuhkan.
Untuk mempermudah pihak swasta, dukungan pemerintah pun telah dilakukan melalui penerbitan dan pemberlakuan sejumlah regulasi. Namun, tak ayal banyak pihak yang meragukan proyek ini akan tuntas sesuai target Presiden Jokowi. Proyek ini bukan hanya dianggap ambisius , tapi juga tidak realistis. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli adalah yang paling lantang mempertanyakan proyek ini. Dia menyatakan bahwa mega-proyek ini mustahil diselesaikan dalam waktu lima tahun. Selain itu, menurut perhitungannya, dalam lima tahun ke depan Indonesia hanya membutuhkan tambahan 16.000 MW kapasitas pembangkit listrik.
Akan halnya Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said justru menyatakan bahwa target 35.000 MW dalam lima tahun ke depan adalah sesuatu yang harus direalisasikan. Sudirman Said menyatakan bahwa setelah 70 tahun merdeka, masih ada sekitar 2.519 desa di Tanah Air dalam keadaan gelap gulita karena belum kunjung mendapatkan pasokan listrik. Sudirman menambahkan, sampai akhir tahun 2014 rasio elektrifikasi di Indonesia baru mencapai 87 %. Artinya, masih ada puluhan juta rakyat Indonesia yang belum mendapatkan akses listrik.
Direktur Utama PLN Sofyan Basir mengakui bahwa program 35.000 MW itu baru mencapai 1% atau sekitar 293 MW. “Untuk 35.000 MW baru selesai setelah tahun ketiga dan tahun kelima. Oleh karena itu, untuk pembangkit besar baru bisa selesai terbangun 48 bulan,” ujar Sofyan, di rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR, akhir April lalu.
Dari 109 proyek pembangkit berdaya total 35.000 MW, 74 proyek berkapasitas 25.904 MW diantaranya akan dikerjakan dengan skema pengembang listrik swasta (independent power producer/IPP) dan 35 proyek lainnya berdaya 10.681 MW dikerjakan PLN. Anggaran biayanya adalah Rp 512 triliun oleh PLN dan Rp 615 triliun oleh swasta. Pendanaan PLN diperuntukkan bagi proyek pembangkitan (Rp 199 triliun) dan transmisi serta gardu induk (Rp 313 triliun). Sedangkan, kebutuhan pendanaan IPP Rp 615 triliun seluruhnya untuk pembangkitan.
Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) melontarkan kritik kepada pemerintah terkait program listrik 35.000 MW. FITRA enilai program pengadaan listrik ini pada akhirnya bakal membebani masyarakat. “Dalam proyek ini, pemerintah sangat tergantung pada pendanaan swasta. “Ini berpotensi terjadi komersialisasi sehingga merugikan masyarakat,” cetus Sekjen FITRA, Yenny Sucipto, beberapa waktu lalu.
Menurut dia, pihak swasta akan mencari keuntungan dari proyek ini sehingga tarif listrik berpotensi terus naik. “Lebih banyak aturan mengarah pada mekanisme pasar dan ikut pada aturan swasta. Bebannya ditimpakan kepada rakyat,” tegas Yenni. Belum lagi soal potensi kerugian negara dari proyek ini. FITRA mempersoalkan penunjukan langsung dalam proyek ini. Pasalnya, mekanisme penunjukan langsung membuka celah “intrik” ’ sejumlah pemangku kepentingan, mulai dari BUMN dengan investor hingga para elite politik.
Kritik senada disampaikan Dony Gouw, Komisaris Utama PT Pat Petulai Energi, sebuah perusahaan swasta yang bergerak di sektor kelistrikan. Dia mengatakan, masih ada beberapa masalah mengganjal yang membuat proyek menjadi terhambat. “Salah satunya adalah banyaknya peraturan yang bisa ditafsirkan berbeda-beda, dan juga adanya bentrok kepentingan antara pengembang, pemerintah dan PLN. Ini yang harus kita benahi bersama,” kata Dony Gouw.
Peraturan Menteri No 19 Tahun 2015 mengenai ”Pembelian Tenaga Listrik Dari Pembangkit Listrik Tenaga Air Dengan Kapasitas Sampai Dengan 10 MW (Sepuluh Megawatt)” oleh PLN, misalnya, mencantumkan harga jual listrik dari swasta kepada PLN untuk tahun 1-8 adalah 12 cent dollar AS dan US$ 7,5 cent untuk tahun selanjutnya sampai dengan tahun ke-20.
Namun, PLN sebagai eksekutor sampai sekarang belum mengeluarkan “Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik” (PJBL) dengan alasan belum adanya kejelasan subsidi dari pemerintah. Kondisi ini merugikan swasta, padahal sudah keluar banyak beaya untuk studi kelaikan, mengurus perizinan, dan akuisisi lahan.
“Jika kondisinya terus menerus seperti ini, maka akan menimbulkan kerugian bagi pengembang, dan tentu juga akan memperlambat program pemerintah yang ditargetkan rampung dalam lima tahun ke depan,” tandas Dony Gouw.
Lebih jauh, komposisi pembangkit listrik dalam proyek ini masih didominasi oleh pembangkit listrik berbahan bakar fosil, seperti batubara, minyak bumi, dan gas dinilai banyak kalangan sebagai hal yang tidak efisien dan berdampak buruk pada lingkungan. Pemerintah selayaknya memaksimalkan pemanfaatan sumber-sumber energi terbarukan yang terdapat di wilayah-wilayah terpencil di Tanah Air sesuai dengan karakteristik dan potensi lokal masing-masing. [ARS]