Ilustrasi: loyalitas wartawan itu pada fakta [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Media massa arus utama di Indonesia kembali menjadi sorotan dan dinilai telah melanggar hak publik atas informasi. Ada dua peristiwa besar yang diberitakan dalam jarak yang tidak berjauhan: peristiwa reuni akbar massa 212 dan peristiwa pembunuhan terhadap pekerja BUMN Istaka Karya dan anggota TNI di Papua.

Dalam masalah pertama adalah calon presiden Prabowo Subianto yang menyoal media massa yang dinilai sudah memanipulasi demokrasi. Ucapannya itu berpangkal dari kehadirannya dalam reuni akbar 212 pada 2 Desember lalu yang dihadiri massa dalam jumlah besar. Dalam pidatonya ketika mengikuti peringatan Hari Disabilitas Internasional di sebuah hotel di Jakarta, Prabowo mengatakan, jumlah massa yang hadir mencapai 11 juta orang, tetapi media massa hanya menyebutkan 15 ribu orang.

Prabowo memang tidak menyebutkan secara spesifik media massa yang dimaksud. Akan tetapi, setelah mengikuti acara di hotel itu, ia marah kepada beberapa wartawan karena pemberitaan yang tidak sesuai dengan keinginannya. Ia menolak untuk diwawancarai dan tetap berkeras bahwa berbagai media massa “kondang” dan juga wartawannya karena tak objektif, maka tidak layak disebut sebagai wartawan.

Selanjutnya, pada peristiwa kedua, lagi-lagi sorotan terhadap media massa ramai dibicarakan. Kritik kali ini justru banyak datang dari para wartawan. Pasalnya, media massa arus utama dinilai lebih banyak mengutip pernyataan resmi dari aparat berwenang ketimbang memulai liputannya dari fakta peristiwa yang terjadi. Ketika puluhan karyawan Istaka Karya dan anggota TNI itu tewas karena ditembak mati kelompok bersenjata, media massa ramai-ramai menamai kelompok tersebut sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).

Sementara, beberapa media massa yang berupaya menyelidiki fakta sesungguhnya dari peristiwa itu mendapat kejelasan bahwa pelaku penembakan adalah Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) Organisasi Papua Merdeka (OPM). Dan itu terverifikasi ketika Sebby Sambom, Juru Bicara TPNPB-OPM mengakuinya lewat wawancaranya di beberapa media massa. Lantas apa yang salah dari media massa itu?

Kritik dan pengawasan terhadap media massa atau pers adalah tugas dari masyarakat. Dan tentu saja Prabowo dan beberapa wartawan itu berhak mengkritik pers yang dinilai tidak berimbang atau bahkan terkesan menjadi alat dan corong dari pemerintah, misalnya. Tidak ada yang salah dengan semua itu. Terlebih sesuai aturan, masyarakat memang sudah seharusnya melek terhadap media massa agar bisa menjadi pengawas demi terwujudnya pers kita yang berkualitas.

Akan tetapi, keliru ketika menganggap pers harus netral. Dalam literatur jurnalistik tidak pernah disebutkan pers netral. Pers disebut independen. Netral dan independen adalah dua kata yang berbeda sama sekali. Independen tentu saja dapat diartikan sebagai sikap pers yang diputuskan tanpa intervensi dari pihak manapun. Bersikap berarti berpihak kepada kebenaran faktual sesuai dengan ruang dan waktu. Itu sebabnya, kebenaran faktual pers tidak bisa disamakan dengan kebenaran versi hukum.

Loyalitas Jurnalis
Soal ini, Profesor Luis V. Teodoro, pakar komunikasi massa dari Universitas Filipina dan pendiri Jaringan Media Alternatif Rakyat menyebutkan, yang perlu diingat adalah loyalitas wartawan pertama-tama adalah kepada fakta. Wartawan yang benar mencari kebenaran melalui sebuah usaha atau praktik jurnalistik yang ketat, melalui penelitian, melalui investigasi sosial, mampu mendokumentasikan hasil temuan dan memiliki sumber daya manusia yang handal. Berdasarkan ini, maka wartawan akan menemukan kebenaran dan melaporkannya melalui deskripsi serta analisis.

Dikatakan Teodoro, kebutuhan jurnalis seluruh dunia pada umumnya sama: meningkatkan kualitas jurnalisme. Ia harus mengenal betul medium yang digunakannya. Itu berlaku untuk semua wartawan baik cetak, elektronik maupun online. Keterampilan yang dibutuhkan untuk setiap medium itu berbeda-beda kendati keterampilan menulis menjadi syarat dasar untuk semua jenis medium.

Di luar keterampilan itu, jurnalis juga harus memiliki kemampuan meneliti yang memungkinkannya membuat pertanyaan cerdas untuk membuka tabir kebobrokan, untuk menembus apa yang tersirat dan mampu memberi konteks peristiwa yang dibutuhkan pembaca, pendengar maupun pemirsa. Dengan demikian, publik menjadi mengerti peristiwa dan isu-isu yang diberitakan.

Dari sini, kata Teodoro, peran jurnalis untuk rakyat menjadi jelas: mengungkap kebenaran demi perubahan. Untuk “mempersenjatai” publik dengan kekuatan informasi dan analisis. Tanpa standar etik yang ketat meski memberikan analisis, intepretasi dan informasi, itu sama sekali tidak berguna. Karena tanpa standar etik, wartawan hanya menggunakan jurnalisme untuk kepentingan pribadinya. Wartawan demikian pada akhirnya hanya membodohi dan menyebarkan ketakutan kepada publik. Ia karena itu tidak lebih baik dari pemilik modal yang menindas wartawannya.

Sedangkan budayawan Filipina, Julie de Lima dalam Tentang Serangan Kebudayaan Imperialis mengatakan, perlunya membahas jurnalisme dari aspek kebudayaan. Sebab, umumnya, orang-orang hanya melihat kebudayaan meliputi sastra dan seni. Padahal, dunia aktivisme kebudayaan jauh lebih luas dari sekadar itu. Selain mencakup sastra dan seni, kebudayaan juga meliputi bahasa pertama-tama, sistem ekonomi, sistem sosial politik, adat dan tradisi, agama, ilmu pengetahuan dan teknologi.

Itu sebabnya, kata Julie, ilmu sosial (terutama perspektif marxis) mengakui kebudayaan memainkan peran penting dalam masyarakat. Apalagi dalam menganalisis masyarakat dan berdasarkan hukum perkembangan masyarakat, kita mesti mempelajari basis ekonomi (bangunan bawah) dan politik serta kebudayaan (bangunan atas). Berdasarkan hal tersebut, kita akan mengerti, klas yang menguasai bangunan bawah (ekonomi) dalam waktu jangka panjang, maka akan menghasilkan kerangka kekuasaan politiknya dan ajaran kebudayaan dominan.

Kendati bangunan bawah menjadi suatu faktor yang penting, menurut Julie, politik dan kebudayaan tak kalah penting untuk mengatasi kebuntuan serta bisa menjadi solusi untuk kemajuan secara umum. Berdasarkan ini, aktivis kebudayaan termasuk jurnalis mesti memahami kontradiksi pokok dan menentukan posisi (klas) kepada siapa kita berpihak? Ini perlu dijawab secara tegas bahwa kita berdiri bersama rakyat dan untuk rakyat. Kita harus mendukung perubahan revolusioner di masyarakat dalam ruang yang sama. Lantas kepada siapa kalian berpihak? [Kristian Ginting]