Catatan Cak AT:
Perang dagang Amerika–China masuk babak baru, ibarat pasangan yang sama-sama curiga, tapi tetap rajin intip status WhatsApp. Amerika takut China kebanyakan otot, China takut Amerika kebanyakan intrik. Dan di tengah drama ini, muncullah tokoh baru: si chip Nvidia H20 —otak buatan yang katanya “diperlambat” demi keamanan, tapi tetap saja bikin Beijing berkeringat dingin.
Bayangkan H20 ini seperti Ferrari yang dipasangi rem tangan permanen. Katanya supaya aman, biar tidak keblabasan. Tapi walau diperlambat geraknya, Ferrari tetap Ferrari. China pun curiga: jangan-jangan di balik rem itu ada GPS rahasia, ada mata-mata kecil yang bisa mengintip data TikTok atau rencana Huawei.
Di sisi lain, Presiden Trump tampil bak makelar pasar loak. Ia bilang ke bos Nvidia, Jensen Huang: “Oke, kamu boleh jual ke China, tapi kasih aku potongan 15 persen.” Lengkap dengan gaya tawar: dari 20 persen turun jadi 15, mirip juragan kambing yang bilang, “Udah deh, buat kamu spesial, harga teman.” Lahirlah kebijakan dagang model baru: bukan lagi embargo atau lisensi, melainkan “jual chip, setor komisi.”
Dilihat dari panggung komedi stand-up, perang dagang ini lebih mirip sinetron politik. Amerika pura-pura marah, padahal sudah menyiapkan kantong untuk menerima setoran. Sementara China pura-pura tenang, padahal diam-diam memanggil ByteDance, Baidu, sampai Tencent: “Hei, jangan kebanyakan pakai chip bule. Kita punya Huawei, SMIC. Masa kalah sama barang impor?”
H20 sendiri pada dasarnya adalah chip kecerdasan buatan Nvidia yang dibatasi performanya khusus untuk pasar China setelah AS melarang ekspor chip AI kelas atas seperti A100 dan H100. Huruf H merujuk pada keluarga chip Hopper (penerus Ampere, seperti RTX 3090 atau A100), sedangkan angka 20 menandai versi yang diperlambat —seperti Ferrari dengan pembatas kecepatan agar tak bisa melaju di jalan tol militer.
Dibanding RTX 4090 yang lebjh ditujukan untuk dipakai kaum gamer, H20 jauh lebih fokus pada komputasi AI skala besar. Pesaingnya: AMD dengan seri MI300, dan China lewat Huawei Ascend atau SMIC —meski performanya masih tertinggal. Jadi, H20 adalah kompromi: cukup kuat untuk bisnis AI komersial, tapi dipreteli agar tak terlalu “berbahaya” di tangan Beijing.
Dari sisi harga, Nvidia H20 dibanderol sekitar US$12.000–15.000 per unit, atau sekitar Rp 200-an juta. Jauh lebih murah dibanding H100 “full power” yang dilepas US$25.000–30.000 (Rp 400-an juta), bahkan sempat dilelang lebih dari US$40.000. Maka H20 bisa dianggap versi “diskon semi-premium”: lebih terjangkau, tapi tetap selangit bagi banyak negara berkembang.
Chip ini jelas bukan untuk gamer rumahan. Ia lebih cocok untuk melatih model AI besar seperti chatbot, sistem rekomendasi, analisis bahasa, atau generative AI. Ia disiapkan untuk enjalankan inferensi massal, melayani jutaan pengguna secara paralel. Ia dipakai untuk pemrosesan data raksasa: riset biomedis, prediksi keuangan, atau analisis video. Ia digunakan untuk komputasi awan (cloud computing).
Namun, karena teknologinya dipangkas khusus untuk pasar China, performanya tetap di bawah H100 atau generasi terbaru Blackwell B200. Analogi paling mudah: Ferrari dengan rem tangan permanen, tapi tetap lebih kencang dari mobil sport biasa. Namun, pihak China menganggap pemangkasan itu sebagai pelecehan, meskipun itu diungkap dengan diksi formal seperti demi keamanan negara.
Lalu, apa dampaknya bagi kita di Asia Tenggara? Pertama, harga perangkat AI bisa melonjak karena chip jadi alat tawar-menawar politik. Laptop atau server AI yang kita beli bisa semahal cabe rawit menjelang Lebaran. Kedua, kemandirian teknologi semakin sulit; kita hanya bisa memilih antara Ferrari Amerika yang diperlambat atau Daihatsu lokal yang dipacu mati-matian tapi masih ngos-ngosan.
Ketiga, ada efek domino ke stabilitas global. Jika kebijakan dagang bisa dibarter dengan “komisi”, standar keamanan dunia pun bisa dinego semau Trump, yang berwatak pedagang. Bayangkan kalau suatu hari rudal atau drone masuk kategori “boleh dijual asal ada potongan 15 persen.” Dunia bisa berubah jadi pasar malam, di mana segala hal —termasuk prinsip— ada harganya.
Di balik semua fakta ini, ada refleksi penting: perang chip bukan sekadar teknologi, tapi soal siapa yang mengendalikan masa depan otak buatan. Amerika ingin AI dunia berbicara dengan “bahasa” mereka. Di sisi lain China tak mau menjadi budak pikiran digital buatan luar. Dan kita? Kalau hanya jadi pasar, kita akan terus digiring sebagai konsumen, bukan produsen.
Artinya jelas: jika Asia Tenggara tak segera membangun industri chip sendiri, kita akan terus jadi korban efek riak. Kita membeli server mahal, membayar layanan AI impor, sibuk berdebat soal aplikasi lokal, sementara “otaknya” —chip— tetap dikendalikan dua negara yang bertengkar. Mereka sibuk mempersoalkan Ferrari dengan rem tangan, sementara kita di sini masih mencicil motor bebek lima tahun.
Walhasil, H20 hanyalah satu babak dalam drama panjang: teknologi dipakai sebagai senjata dagang, dagang dipakai sebagai senjata politik, politik dipakai sebagai senjata ego. Kita bisa saja tertawa melihat gaya tawar Trump atau paranoia Beijing, tapi jangan lupa: yang diperebutkan adalah siapa yang menulis “kitab digital” abad ke-21.
Dan kalau kita hanya jadi penonton, nama kita takkan tercatat di halaman mana pun.
Cak AT – Ahmadie Thaha | Kolumnis


![Apakah Rasa Takut Israel Membenarkan Perangnya dengan Iran? Pada dini hari tanggal 13 Juni, Israel melancarkan serangan "preemptif" terhadap Iran. Ledakan mengguncang berbagai bagian negara itu. Di antara targetnya adalah situs nuklir di Natanz dan Fordo, pangkalan militer, laboratorium penelitian, dan tempat tinggal militer senior. Pada akhir operasi, Israel telah menewaskan sedikitnya 974 orang sementara serangan rudal Iran sebagai balasan telah menewaskan 28 orang di Israel. Israel menggambarkan tindakannya sebagai pertahanan diri antisipasi, dengan mengklaim Iran hanya tinggal beberapa minggu lagi untuk memproduksi senjata nuklir yang berfungsi. Namun penilaian intelijen, termasuk oleh sekutu Israel, Amerika Serikat, dan laporan oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA) tidak menunjukkan bukti Teheran sedang mengejar senjata nuklir. Pada saat yang sama, diplomat Iran sedang berunding dengan mitra AS untuk kemungkinan kesepakatan nuklir baru. Namun, di luar analisis militer dan geopolitik, muncul pertanyaan etika serius: apakah secara moral dapat dibenarkan untuk melancarkan serangan yang menghancurkan tersebut bukan berdasarkan apa yang telah dilakukan suatu negara, tetapi berdasarkan apa yang mungkin dilakukannya di masa mendatang? Preseden apa yang ditetapkan oleh hal ini bagi seluruh dunia? Dan siapa yang dapat memutuskan kapan rasa takut cukup untuk membenarkan perang? Pertaruhan Moral yang Berbahaya Hossein Dabbagh, seorang asisten profesor filsafat di Northeastern University London, mengemukakan pandangannya untuk Al Jazeera. Para ahli etika dan pengacara internasional menarik garis kritis antara perang preemptif dan preventif. Preemptif menanggapi ancaman yang akan segera terjadi—serangan langsung. Perang preventif menyerang kemungkinan ancaman di masa mendatang. Hanya yang pertama memenuhi kriteria moral yang berakar pada karya-karya filosofis para pemikir seperti Augustine dan Aquinas, dan ditegaskan kembali oleh para ahli teori modern seperti Michael Walzer—menggemakan apa yang disebut rumus Caroline, yang mengizinkan kekuatan preemptif hanya ketika ancaman itu "seketika, sangat kuat, dan tidak memberikan pilihan, dan tidak ada waktu untuk pertimbangan". Namun, serangan Israel gagal dalam ujian ini. Kemampuan nuklir Iran baru akan rampung dalam beberapa minggu. Diplomasi belum sepenuhnya dilakukan. Dan kehancuran yang mungkin terjadi—termasuk dampak radioaktif dari ruang sentrifus—jauh melampaui kebutuhan militer. Hukum tersebut mencerminkan batasan moral. Pasal 2(4) Piagam PBB melarang penggunaan kekerasan, dengan satu-satunya pengecualian dalam Pasal 51, yang mengizinkan pembelaan diri setelah serangan bersenjata. Seruan Israel untuk pembelaan diri antisipasi bergantung pada kebiasaan hukum yang diperdebatkan, bukan hukum perjanjian yang diterima. Para ahli PBB menyebut serangan Israel sebagai "tindakan agresi terang-terangan" yang melanggar norma jus cogens. Pengecualian yang mahal seperti itu berisiko merusak tatanan hukum internasional. Jika satu negara dapat secara kredibel mengklaim tindakan pencegahan, negara lain juga akan melakukannya—mulai dari China yang bereaksi terhadap patroli di dekat Taiwan, hingga Pakistan yang bereaksi terhadap sikap India—yang mana akan merusak stabilitas global. Para pembela Israel menanggapi bahwa ancaman eksistensial membenarkan tindakan drastis. Para pemimpin Iran memiliki sejarah retorika yang bermusuhan terhadap Israel dan secara konsisten mendukung kelompok-kelompok bersenjata seperti Hizbullah dan Hamas. Mantan Kanselir Jerman Angela Merkel baru-baru ini berpendapat bahwa ketika keberadaan suatu negara terancam, hukum internasional kesulitan untuk memberikan jawaban yang jelas dan dapat ditindaklanjuti. Bekas luka historis itu nyata. Namun para filsuf memperingatkan bahwa kata-kata, betapapun penuh kebencian, tidak sama dengan tindakan. Retorika berdiri terpisah dari tindakan. Jika ucapan saja membenarkan perang, negara mana pun dapat melancarkan perang preemptif berdasarkan retorika kebencian. Kita berisiko memasuki "keadaan alamiah" global, di mana setiap momen yang menegangkan menjadi penyebab perang Teknologi Menulis Ulang Aturan Teknologi memperketat tekanan pada kehati-hatian moral. Drone dan pesawat F-35 yang digunakan dalam Rising Lion bekerja sama untuk melumpuhkan pertahanan Iran dalam hitungan menit. Negara-negara dulunya dapat mengandalkan waktu untuk berdebat, membujuk, dan mendokumentasikan. Rudal hipersonik dan drone bertenaga AI telah mengikis jendela itu—menghadirkan pilihan yang sulit: bertindak cepat atau kehilangan kesempatan. Sistem ini tidak hanya mempersingkat waktu pengambilan keputusan—tetapi juga menghilangkan batas tradisional antara masa perang dan masa damai. Ketika pengawasan drone dan sistem otonom tertanam dalam geopolitik sehari-hari, perang berisiko menjadi kondisi default, dan perdamaian menjadi pengecualian. Kita mulai hidup bukan di dunia yang penuh krisis sementara, tetapi dalam apa yang disebut filsuf Giorgio Agamben sebagai keadaan pengecualian permanen—suatu kondisi di mana keadaan darurat membenarkan penangguhan norma, bukan hanya sesekali tetapi terus-menerus. Dalam dunia seperti itu, gagasan bahwa negara harus secara terbuka membenarkan tindakan kekerasan mulai terkikis. Keunggulan taktis, yang disebut sebagai "keunggulan relatif", memanfaatkan kerangka waktu yang terkompresi ini—tetapi memperoleh kemajuan dengan mengorbankannya. Di era di mana intelijen rahasia memicu reaksi yang hampir seketika, pengawasan etika pun surut. Doktrin langkah pertama di masa depan akan lebih mengutamakan kecepatan daripada hukum, dan kejutan daripada proporsi. Jika kita kehilangan perbedaan antara perdamaian dan perang, kita berisiko kehilangan prinsip bahwa kekerasan harus selalu dibenarkan—bukan diasumsikan. Jalan Kembali ke Pengendalian Diri Tanpa perbaikan arah segera, dunia menghadapi risiko norma baru: perang sebelum akal sehat, ketakutan sebelum fakta. Piagam PBB bergantung pada kepercayaan bersama bahwa kekuatan tetaplah pengecualian. Setiap serangan yang disiarkan di televisi mengikis kepercayaan itu, yang mengarah pada perlombaan senjata dan serangan refleksif. Untuk mencegah rentetan konflik yang didorong oleh rasa takut ini, beberapa langkah penting dilakukan. Harus ada verifikasi yang transparan: Klaim tentang "ancaman yang akan segera terjadi" harus dinilai oleh entitas yang tidak memihak—pemantau IAEA, komisi penyelidikan independen—bukan dikubur dalam berkas rahasia. Diplomasi harus diutamakan: Pembicaraan, jalur belakang, sabotase, sanksi—semua harus dibuktikan habis sebelum serangan. Bukan sebagai pilihan, bukan secara retroaktif. Harus ada penilaian publik terhadap risiko sipil: Pakar lingkungan dan kesehatan harus mempertimbangkannya sebelum perencana militer menarik pelatuk. Media, akademisi, dan publik harus bersikeras bahwa ambang batas ini dipenuhi—dan meminta pertanggungjawaban pemerintah. Perang preemptif, dalam kasus yang jarang terjadi, dapat dibenarkan secara moral—misalnya, rudal yang disiapkan di landasan peluncuran, armada yang melintasi garis merah. Namun, standar itu memang dirancang tinggi. Serangan Israel terhadap Iran bukanlah preventif, serangan itu diluncurkan bukan untuk melawan serangan yang sedang berlangsung, tetapi untuk melawan kemungkinan yang ditakutkan. Melembagakan ketakutan itu sebagai dasar perang adalah undangan untuk konflik yang terus-menerus. Jika kita mengabaikan kehati-hatian atas nama rasa takut, kita mengabaikan batasan moral dan hukum bersama yang menyatukan umat manusia. Tradisi perang yang adil menuntut kita untuk tidak pernah memandang mereka yang mungkin menyakiti kita sebagai ancaman belaka—tetapi sebagai manusia, yang masing-masing layak untuk dipertimbangkan dengan saksama. Perang Iran-Israel lebih dari sekadar drama militer. Perang ini adalah ujian: apakah dunia masih akan mempertahankan batasan antara pembelaan diri yang dibenarkan dan agresi yang tak terkendali? Jika jawabannya tidak, maka ketakutan tidak hanya akan membunuh tentara. Ketakutan akan membunuh harapan rapuh bahwa pengendalian diri dapat membuat kita tetap hidup. [BP]](https://koransulindo.com/wp-content/uploads/2025/07/Asap-mengepul-di-Teheran-180x135.jpeg)

