Koran Sulindo – Kekalahan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dalam Pilkada DKI Jakarta adalah pukulan berat dalam 2 tahun awal pemerintahan Presiden Joko Widodo. Kemenangan Anies Baswedan (dan Prabowo Subianto di belakangnya, bekas lawannya dalam Pilpres 2014), dalam perang di ibu kota itu, mencerminkan walau popularitas Presiden Jokowi tak melorot, namun seteru dalam Pilpres 2019 nanti itu sudah menancapkan kuda-kuda yang kuat untuk pertarungan pembalasan.
Jajak pendapat Saiful Mujani Research and Consulting pada Juni menunjukkan 67 persen responden merasa puas dengan kinerja Jokowi; meningkat dari 59 persen pada 2016 dan 51 persen pada 2015. Elektabilitas Jokowi juga masih tinggi, 34,1 persen berbanding 17,2 persen yang memilih Prabowo.
Ketika Ahok divonis 2 tahun penjara dan langsung harus menjalani hukuman pada awal Mei lalu, Jokowi sedang di Papua, provinsi paling timur, meresmikan jalan baru di gigir pegunungan Jayawijaya yang nyaris tak pernah disentuh pembangunan infrastruktur sejak Indonesia merdeka. Minggu sebelumnya ia ada di Aceh, provinsi terbarat nusantara.
Sudah sejak awal dengan konsep Nawacita-nya, Jokowi ingin mengubah orientasi pembangunan dari Jawa sentris ke Indonesia sentris. Pada 2 tahun usia pemerintahan Oktober 2016 lalu, ketika kasus penistaan agama dengan sasaran Ahok sedang dimasak, Jokowi menunjukkan pembangunan fisik di pelosok dan pulau-pulau terluar. Contoh terbaik adalah diresmikannya Bandara Miangas, di Kabupaten Kepualauan Talaud Sulawesi Utara yang hanya berpenduduk 750 orang dan ribuan burung. Lalu harga premium di Papua sama dengan harga di Jawa.
Selama 2 tahun awal itu pemerintah menggelontorkan Rp 313.5 triliun untuk membangun infrastruktur, termasuk waduk-waduk, jalan, jembatan, dan pelabuhan perintis. Pada 2015 Jokowi telah membangun jalur rel kereta api sepanjang 179,33 km dan 271,5 km tahun berikutnya. Selama 2016 ia membangun 8 waduk baru, 22 sedang dibangun, 387 situ baru, dan rehabilitasi 71 situ.
Seperti dikutip kerjanyata.id, sampai Oktober 2016, 170 juta rakyat Indonesia telah terdaftar menjadi peserta BPJS Kesehatan, termasuk didalamnya 91 juta penerima bantuan iuran Kartu Indonesia sehat (KIS). Selama itu juga ia telah memangkas 3.032 Peraturan Daerah (Perda).
Jokowi juga menepati janjinya untuk memotong subsidi bahan bakar pada 2015 dan mengalihkan Rp 230 triliun ke kas pemerintah.
Jokowi juga tak menyembunyikan di tengah-tengah “kerja kerja kerja” itu, Indonesia memiliki tantangan besar di tengah pertumbuhan ekonomi yang stabil itu: ketimpangan ekonomi. Yang kaya hanya berjumlah sangat-sangat sedikit, yang miskin terus bertambah banyak. Walau ada kegembiraan sedikit, yaitu tingkat kemiskinan berkurang dari 13,3 persen pada 2013 menjadi 10,7 persen pada 2016. Tingkat pengangguran pada titik 5,33 persen adalah yang terendah sejak 1999.
Pencapaian terpenting Jokowi di bidang politik adalah konsolidasi basis kekuasaan. Jokowo sukses merangkul sebagian besar pendukung Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dengan memberikan kursi kabinet bagi Partai Golkar dan PAN. Sebelumnya kabinet hanya diisi wakil PDI-P, PKB, Nasdem, Hanura. Hanya tinggal Gerindra dan PKS yang di luar.
Yang Terlupakan
Dengan percepatan pembangunan infrastruktur itu dan sering blusukan langsung langsung ke lapangan, menurut Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra (Kompas, 25 Oktober 2016), Jokowi mengonfirmasi prediksi banyak ahli dan pengamat sejak awal pemerintahan. Mereka melihat kecenderungan kuat Presiden lebih melihat ke dalam (inward looking). Ia memberi lebih banyak perhatian pada percepatan pembangunan infrastruktur. Namun berbagai urusan besar lain terlupakan.
Kasus pelanggaran berat hak asasi manusia masa lalu tak pernah ditengok sekalipun. Meski membagikan Kartu Indonesia Pintar (KIP) ke seluruh penjuru nusantara, namun masalah akut dan serius menyangkut pendidikan sejak tingkat dasar, menengah, sampai tinggi tak pernah diurus. Permasalahan kesehatan masyarakat juga dilepas pada Menteri Kesehatan dengan kinerja dan cara bekerja seperti pemerintahan-pemerintahan sebelum Jokowi.
Di bidang kebudayaan Jokowi yang pernah mengundang sejumlah budayawan makan siang bersama di Istana tidak datang membuka Forum Kebudayaan Dunia (WCF) di Bali (10-14 Oktober). Padahal, Indonesia aktor utama forum internasional tersebut.
Pada 2015 dan 2016, Jokowi juga tidak hadir dalam Sidang Umum PBB, padahal Indonesia dinyatakan PPB sebagai salah satu dari lima negara kunci utama (key central players) dalam perumusan agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030.
Ketidakhadirannya dalam sejumlah forum internasional kontras dengan pernyataan Jokowi yang menyatakan Indonesia sebagai negara besar. Ia tampaknya berhenti sampai pada pernyataan.
Pertarungan 2019
Sewaktu sekondannya dalam pilgub Jakarta 2012 Ahok divonis 2 tahun penjara karena penistaan agama pada 9 Mei, Jokowi sedang duduk di atas sepeda motor Kawasaki dengan kamera yang diikatkan ke helmnya, lebih 3.500 kilometer jaraknya. Ia memimpin rombongan memeriksa pembangunan jalan terpanjang di provinsi Papua.
Udara hutan hujan tropis yang segar memberinya kesegaran. Jalan di Papua memberikan lebih dari sekadar pelarian bagi Jokowi. Seperti ditulis di bloomberg.com (On Dirt Bike in Indonesia Jungle, Jokowi Reboots Presidency; 23 Juni 2017), jalan itu menawarkan reboot untuk pertarungan pemilihan presiden 2019 nanti.
“Jika dia bisa memberikan sebagian besar dari hal-hal yang dia katakan ingin dia lakukan dengan infrastruktur, itu tak bisa menahannya untuk mengikuti kontes tersebut untuk masa jabatan kedua,” kata profesor politik Islam global di Deakin University Australia, Greg Barton.”Serangan terhadap Ahok sangat menyerang Jokowi – ini adalah serangan preemptive menjelang pilpres.”
Bank Dunia memperkirakan bahwa ekonomi akan tumbuh 5,2 persen tahun ini, sejalan dengan prediksi para ekonom yang disurvei oleh Bloomberg.
“Banyak negara di dunia akan sangat senang memiliki pertumbuhan 5,2 persen,” kata Direktur Bank Dunia untuk Indonesia, Rodrigo Chaves. “Indonesia tumbuh 2 kali lebih cepat dari ekonomi global. Itu prestasi yang berarti.”
Dan badai nampaknya telah berlalu. Koalisi di parlemen tetap solid, prospek ekonominya cerah, ia membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), ia berjanji menggebuk Partai Komunis Indonesia (PKI) dan kelompok-kelompok intoleran berkedok agama,dan ia masih populer di mata rakyat. Namun dalam 2 tahun ke depan, Jokowi harus hati-hati mengendarai sepeda motor trailnya menyusuri jalanan Indonesia, karena onak, duri, dan musuh-musuh baru, baik yang muncul sendiri atau yang ia ciptakan, akan menghadang jalannya. [Didit Sidarta]