Ilustrasi: Jokowi dalam komser Dua Jari, sebelum terpilih menjadi Presiden RI/Kompas

Koran Sulindo – Dalam sejarah Indonesia, pada masa kepemimpinan nasional berpuncak pada satu orang, yaitu Pemimpin Besar Revolusi Ir Soekarno, populisme menjadi alat konsolidasi yang ampuh untuk menentang neokolonialisme. Bahkan jauh-jauh hari sebelum merdeka dan negara-bangsa Indonesia ada, populisme adalah senjata handal di tangan Bung Karno. Bapak bangsa itu, misalnya, hanya perlu waktu tidak lebih dari 5 menit untuk membubarkan jutaan rakyat yang berkumpul di Lapangan Ikada pada 19 September 1945.

Laporan-laporan dari koran-koran lama juga menggambarkan bagaimana ribuan orang berbondong-bondong ke alun-alun kota, berpanas-panas dan berhujan-hujan, hanya untuk mendengarkan Bung Karno berpidato.

Populisme Bung Karno itu berpuncak pada karakter dan peran simbolis Soekarno sebagai pemersatu bangsa dan proklamator kemerdekaan, menolak apa yang disebutnya dengan neokolonialisme dan neoimperialisme (neokolim).

Di era Joko Widodo, populisme lebih bersandar pada figur Jokowi. Menurut Eko Sulistyo, Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden, dalam tulisan berjudul “Populisme Jokowi”, Jokowi dipandang jujur, sederhana, dan bukan mewakili oligarki elit politik. Ia adalah representasi masyarakat kebanyakan.

Indonesianis asal Australian National University (ANU), Marcus Mietzner, dalam artikel yang dimuat dalam jurnal Inside Indonesia nomor 116, edisi April-Juni 2014, mengatakan populisme Jokowi sebagai jenis yang terbuka (inklusif), tidak meledak-ledak, dan santun (unusually polite). Populisme yang bersahabat.

Tulisan berjudul  “Jokowi: Rise of a Polite Populist” itu dimuat sebelum Jokowi terpilih menjadi Presiden RI. Pada Jokowi, populisme tidak digunakannya mengeksploitasi sentimen massa dengan retorika-retorika yang menghembuskan angin surga, atau mengumbar kebencian terhadap kelas atau ras tertentu.

Namun pada 2016 terbit tulisan yang seolah merivisi pendapat-pendapat di atas. Dalam “Revisiting the rise of Jokowi: The triumph of reformasi or an oligarchic adaptation of postclientelist initiatives?” karya Yuki Fukuoka dan Luky Djani (dimuat di jurnal South East Asia Research 2016, Vol. 24(2) 204–221), hanya beberapa bulan setelah resmi menjadi presiden, Jokowi mulai mengecewakan para pendukungnya.

Berlawanan dengan kampanyenya yang ingin menegakkan pemerintah yang bersih dan profesional tanpa politik dagang sapi, Jokowi malah memberikan posisi-posisi strategis pemerintahan pada orang-orang yang tercatat mempunyai kaitan dengan oligarki. Banyak penelitian, seperti ditulis Mietzner  tadi, yang mengatakan naiknya Jokowi kekuasaan akan memberi pertarungan pada kepentingan-kepentingan elit politik dan oligarki bacaan yang gagal paham.

Tulisan Fukuoka  dan Luky memberi garis bawah, walau baru memerintah setahun, tidak ada sinyal-sinyal bahwa kepresidenannya akan banyak membawa perubahan pada demokrasi oligarki di Indonesia. [Didit Sidarta]