Ilustrasi/ksp.go.id

Koran Sulindo – Presiden Joko Widodo mengatakan negara harus hadir untuk melindungi konsumen. Efektifitas kehadiran negara dilihat dari sejauh mana norma dan standar dipenuhi serta dipatuhi produsen, dan sejauh mana pengawasan dan penegakan hukum berjalan secara efektif.

“Hal ini penting untuk dilakukan, karena selama ini sudah banyak kasus-kasus yang merugikan konsumen, bahkan sampai membahayakan konsumen,” kata Presiden Jokowi,dalam rapat terbatas tentang perlindungan konsumen, di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (21/3), seperti dikutip situs setneg.go.id.

Pada pengantar rapat Jokowi mengatakan selama 5 tahun terakhir konsumsi masyarakat berkontribusi rata-rata 55,94 persen terhadap Product Domestic Bruto (PDB).

“Artinya perekonomian nasional mayoritas masih digerakkan oleh konsumsi,” kata Jokowi.

Presiden meminta lembaga-lembaga perlindungan konsumen bekerja keras, sehingga betul-betul bisa dirasakan kehadirannya di tengah-tengah masyarakat. Terlebih, lanjut Presiden, berdasarkan data yang diterimanya hanya 22,2 persen yang mengenal dan mengetahui fungsi lembaga perlindungan konsumen.

Konsumen Indonesia saat ini dinilai baru pada tahap paham haknya bila dibandingkan dengan konsumen-konsumen dari negara lain, belum pada tahap mampu memperjuangkan haknya sebagai konsumen. Untuk itulah diperlukan edukasi hak-hak konsumen.

“Indeks Kepercayaan Konsumen Indonesia tahun 2016 masih rendah, yaitu 30,86 persen atau baru sampai pada level paham. Dibandingkan dengan IKK Eropa yang sudah mencapai 51,31 persen,” katanya.

Sementara itu, berdasarkan data yang diterimanya, Jokowi mengatakan perilaku pengaduan konsumen di Indonesia masih rendah. Konsumen Indonesia masih enggan menuntut haknya kepada para pelaku usaha.

“Secara rata-rata, hanya 4,1 pengaduan konsumen yang diterima dari 1 juta penduduk Indonesia. Sementara Korea, 64 pengaduan konsumen terjadi di setiap 1 juta penduduk,” katanya.

Di titik lain, tingkat kepatuhan produsen terhadap kesesuaian standar produk dengan SNI (Standadisasi Nasional Indonesia) juga masih rendah. Berdasarkan data yang diterima, hanya 42 persen barang yang beredar di pasaran yang sesuai dengan SNI.

“Ini artinya, ada yang keliru, ada yang harus segera diperbaiki,” kata Jokowi, seperti dikutip situs setkab.go.id. [DAS]