Koran Sulindo – Presiden Joko Widodo mengatakan karena kapasitas fiskal Indonesia terbatas, investasi jangan hanya bergantung kepada pemerintah, namun sebagian besar harus berasal dari swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pengeluaran modal (Capital Expenditure) BUMN harus ditingkatkan.
“Sekali lagi saya ulangi, kalau ada swasta yang masuk serahkan saja kepada swasta, Jangan APBN masuk, jangan BUMN masuk. Sudah,” kata Presiden Jokowi, saat menyampaikan pengantar pada sidang kabinet paripurna paripurna Kapasitas Fiskal (Resource Envelopes) dan Pagu Indikatif RAPBN Tahun 2018, di Istana Negara, Jakarta, Rabu (15/3), seperti dikutip setkab.go.id
Jokowi juga meminta agar penyusunan kapasitas fiskal dan pagu indikatif Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2018 disusun dengan semangat optimisme, meski tetap harus realistis dan kredibel.
“Sejalan dengan perbaikan ekonomi dunia, kita juga sudah harus berani meningkatkan target pertumbuhan ekonomi pada 2018, menjadi kira-kira 5,4%-6,1%,” katanya.
Semua kementerian dimintanya harus bekerja keras dan melakukan langkah-langkah konkret, tidak rutin, monoton, linier, dan bekerja apa adanya.
“Saya kira ini harus ditekankan pada yang ada di bawah kita, agar betul-betul langkah-langkah konkrit itu ada,” kata Jokowi.
Tak Mungkin dari APBN
Sementara itu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi dalam range 5,4%-6,1% pada 2018, sejumlah langkah harus dipenuhi.
“Presiden sangat menekankan skenario apapun, semuanya membutuhkan investasi lebih besar. Jadi growth investasi harus di atas 8%,” kata Sri Mulyani, usai mengikuti Sidang Kabinet Paripurna, di Istana Negara, Jakarta, Rabu (15/3).
Pertumbuhan investasi Indonesia saat ini hanya 6%.
“Untuk bisa mencapai 8% tidak mungkin hanya memompa dari defisit APBN saja. Yang paling penting adalah dari swasta,” katanya.
Menurut Menkeu, itu termasuk kontribusi dari kredit perbankan, capital market, dan BUMN.
Menkeu optimistis pertumbuhan ekonomi 2017 bisa lebih tinggi dari asumsi 5,1% di APBN.
“Mungkin bisa naik jadi 5,2% atau bahkan ada yang optimistis jadi 5,3%,” katanya.
Dari sisi APBN beberapa pos seperti misalkan harga minyak naik, maka kurs yang meningkat, maka Indonesia akan mendapat penerimaan dari sumber daya alam yang lebih tinggi. Namun, pada saat yang sama apabila subsidi tidak dilakukan perubahan, maka akan ada dana tersisa dari kenaikan harga LPG, premium, dan solar.
“Kenaikan-kenaikan itu saling menghilangkan, sehingga bagaimana kita bisa mengelola APBN tetap tidak terlalu berbeda jauh namun momentum program pemerintah dan pergerakan ekonomi tidak terganggu,” kata Sri. [DAS]