Koran Sulindo – Suasana Balairung Universitas Indonesia, Depok, pagi itu hening dan khidmat. Pembawa acara yang berjubah, bertoga, dan memegang tongkat panjang, mempersilahkan Presiden Joko Widodo berpidato di acara Dies Natalis UI ke-68, pekan lalu itu Setelah menghormat ke arah deretan guru besar UI yang duduk di belakang podium dan menundukkan badan sekali lagi ke arah tamu undangan di hadapannya Presiden Jokowi mulai berpidato.
Setelah Jokowi usai berpidato, mendadak seorang mahasiswa berbaju batik lengan panjang maju ke barisan depan sejajar dengan deretan kursi menteri Kabinet Kerja. Kemudian, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI itu meniup peliut dan mengacungkan kertas kuning ke atas.
Ternyata kertas kuning itu adalah buku paduan suara keluaran UI.
Belakangan, mahasiswa Fakultas Fisika FMIPA yang diketahui bernama Zaadit Taqwa itu mengatakan aksi itu sebagai aksi simbolik kepada orang nomor satu di republik ini. Ia mengaku didukung BEM seluruh fakultas.
Zaadit mengatakan terdapat 3 hal yang ingin disampaikan pada Presiden. Pertama soal kasus Suku Asmat di Papua yang sudah menelan korban jiwa meninggal 72 orang. Kedua, BEM UI mengkritisi wacana penjabat gubernur yang akan diisi jenderal polisi aktif. Ketiga, soal Permen Ristekdikti yang dinilai menghambat gerak mahasiswa karena organisasi antar universitas non keilmuan akan terancam dibubarkan.
Sore setelah aksi kartu kuning, juru bicara Kepresidenan, Johan Budi, mengatakan Jokowi tidak tersinggung atas aksi Zaadit.
Sehari kemudian, Jokowi, saat menghadiri Haul Majemuk Masyayikh di Pondok Pesantren Salafiyah Safi’iyah Sukorejo, Situbundo, Jawa Timur, akhirnya angkat bicara sendiri soal ini. Ia tak mempermasalahkan aksi Zaadit. “Ya yang namanya aktivis muda, ya namanya mahasiswa, dinamika seperti itu biasalah, saya kira ada yang mengingatkan itu bagus sekali,” kata Jokowi, seperti dikutip antaranews.com.
Presiden juga mengatakan mungkin akan mengirim semua ketua dan anggota BEM di UI ke Asmat, agar bisa melihat sendiri kesulitan medan dan problem daerah terpencil seperti Papua.
Tamparan Kompas
Kritik kepada pemerintahan Jokowi, nampaknya, pelan-pelan mulai bermunculan ketika Pemilihan Presiden 2019 makin dekat. Aksi ala mahasiswa seperti Zaadit soal yang biasa dilakukan semua kaum muda di mana saja di Indonesia, karena itu tak perlu, dan memang tidak dianggap serius Jokowi. Suara mahasiswa adalah suara moral masyarakat, namun sebagaimana biasa, kritik mereka biasanya miskin data dan terlebih lagi miskin argumentasi.
Yang mencolok ketika memulai memasuki tahun politik ini, dengan Pemilihan Umum Daerah Serentak akan bergulir Juni nanti, adalah kritik media massa yang terlihat tak sabar pada pemerintahan Jokowi setelah lebih 3 tahun memerintah.
Yang terlihat paling mencolok adalah harian Kompas. Mungkin karena media yang berdiri sejak 28 Juni 1965 ini tak pernah melakukan kritik dengan berteriak. Jurnalisme mereka, yang disebut Jurnalisme Kepiting oleh Rosihan Anwar, biasanya melakukan kritik, namun dengan bahasa yang manis.
Taipan media lainnya dan pendiri Jawa Pos Group, Dahlan Iskan, menulis dalam blognya saat salah satu pendiri Kompas Jakob Oetama merayakan ulang tahun ke-80 pada 2011. Dahlan memakai istilah ‘kritik manis’ sebagai ciri khas pemberitaan Kompas.
Contoh terbaik adalah komentar Jokowi saat ulang tahun Kompas ke-50 pada Juni 2015 lalu.
“Menurut saya Kompas itu objektif, tapi kritis. Kompas itu mengkritik, iya. Tapi, mendukung juga, iya,” kata Jokowi, dalam wawancara dengan Pemred KompasTV, dengan Rosiana Silalahi, yang dipertunjukan dalam perayaan HUT Kompas, saat itu.
Menurut Jokowi, tak mudah perusahaan media menjadi kritis sekaligus objektif.
“Banyak yang suka mengkritik, tapi tidak suka memberikan solusi. Ada juga yang bahkan kritiknya sampai meledak-ledak, namun memberi solusi saja tidak,” katanya.
Kompas terkesan mendukung Jokowi selama 3 tahun awal pemerintahannya, dan juga bahkan mendukungnya ketika kampanye Pilpres dulu.
Namun dalam artikel “Bencana Kesehatan di Asmat” di harian itu edisi 13 Januari 2018, kritik koran terbesar di Indonesia itu seolah kehilangan kemanisannya. Memang, media ini tetap menjalankan berita yang akurat, presisi, dan memberi ruang untuk kedua pihak, namun berita yang menjadi berita utama hari itu, lengkap dengan foto balita Papua yang kurus kering laksana penderita kelaparan di wilayah Afrika, seperti menampar Jokowi, tepat satu tahun setelah ia mengendarai sepeda motor trail di pegunungan Papua setelah meresmikan jalan baru di wilayah ujung timur tanah air itu.
Seperti dikutip esai di pinterpolitik.com ( Shifting Paradigm of Kompas Gramedia?), pemberitaan tentang Asmat ini bertolak belakang dengan sikap Jokowi yang begitu membangga-banggakan segala pembangunan yang telah dilakukannya di Papua. Kompas seolah ingin mengatakan nyatanya kondisi di Papua tidaklah sebagus jalan yang dilalui sang presiden saat membelah bukit dengan motor trailnya. Citra Jokowi dan Papua yang dibangun pria kelahiran Solo itu nyatanya masih jauh dari harapan, bahkan masih sangat tertinggal.
Kapolda Papua, Irjen Pol Boy Rafli Amar bahkan mengatakan bahwa jumlah penderita gizi buruk di Asmat mencapai 15 ribu orang. Dengan jumlah penduduk mencapai 76 ribu jiwa, artinya saat ini hampir 20 persen penduduk di wilayah Asmat menderita gizi buruk.
Berita tentang bencana di Asmat itu dimuat dalam serial berita beberapa hari selanjutnya.
Belum cukup, Kompas kemudian menulis berita soal Tol Laut Jokowi, salah satu program yang sering digaungkan sejak masa kampanye Pilpres 2014 lalu. Sama seperti soal Asmat, dalam tol laut ini Kompas sekali lagi seperti kehilangan kritik manisnya. Apa yang berubah dari Kompas? Atau jangan-jangan lebih tepat, apa yang berubah dari Jokowi? Belum bisa diketahui, apakah Jokowi tersinggung pada kritik Kompas tersebut. [DAS]