Ilustrasi/Setkab.go.id

Koran Sulindo – Presiden Joko “Jokowi” Widodo berencana merombak kabinet pada masa jabatannya yang kedua. Perombakan ini termasuk mendirikan kementerian untuk urusan digital dan ekonomi kreatif.

Indonesia tidak sendiri dalam upaya mendirikan kementerian khusus urusan digital. Negara-negara Afrika seperti Benin, Mali, Togo, dan Pantai Gading juga memiliki rencana yang sama.

Indonesia akan mengikuti jejak negara-negara lebih maju seperti Inggris, Prancis, Yunani, Rusia, dan Polandia yang sudah memiliki kementerian semacam ini.

Ada beberapa alasan kementerian urusan digital diperlukan di Indonesia. Berikut argumen kami.

Jumlah Pengguna Internet Meningkat

Indonesia adalah negara dengan jumlah pengguna internet terbesar kelima di dunia.

Pengguna internet di Indonesia meningkat jumlahnya dari 132 juta menjadi 150 juta tahun lalu. Dalam kurun waktu yang sama, jumlah pengguna sosial media meningkat dari 130 juta menjadi 150 juta sementara jumlah pengguna sosial media lewat gawai meningkat dari 120 juta menjadi 130 juta.

Perusahaan konsultan manajemen McKinsey memperkirakan bila Indonesia menerapkan digitalisasi, maka ekonominya bisa tumbuh sebesar US$150 miliar (sekitar Rp 2.100 triliun) – sekitar 10% dari Pendapatan Domestik Bruto – pada 2025.

Jumlah Masalah juga Meningkat

Kejahatan siber, mulai dari banyak malware dan penipuan online hingga pornografi merajalela dan tidak banyak upaya yang dilakukan untuk mengatasinya.

Indonesia juga memiliki masalah kesenjangan tenaga kerja bidang digital: jumlah orang dengan keahlian kerja bidang digital tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pasar.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyatakan Indonesia membutuhkan 650.000 tenaga kerja digital tiap tahunnya. Jadi, dari 2015 sampai 2030, akan ada kekurangan 9 juta tenaga kerja digital.

Negara ini juga kesulitan menangani kurangnya pengembangan teknologi.

Menurut sekolah pendidikan bisnis asal Swiss International Institute for Management Development (IMD), Indonesia ada di peringkat ke-59 dari 63 negara dalam urusan pengembangan teknologi pada 2018.

Satu lagi masalah adalah kebutuhan mengatur ruang siber. Setelah kasus penembakan di masjid di Christchurch Selandia Baru, yang menewaskan 51 orang dan disiarkan langsung serta dibagikan beribu kali secara online, masyarakat internasional berusaha mengatur ruang siber.

Upaya pertama adalah melalui Christchurch Call. Inisiatif ini mengajak para negara yang penandatangan untuk meratifikasi dan menerapkan peraturan yang melarang penyebaran konten kekerasan dan menetapkan panduan bagaimana media tradisional dapat menyebarkan informasi tersebut.

Indonesia sudah menandatangi perjanjian itu dan diharapkan memiliki orang-orang yang mampu di bidangnya demi menjaga kepentingan nasional.

Keberadaan kementerian urusan digital akan membantu pemerintah mengatasi permasalahan di atas.

Indonesia tidak Memiliki Tata Kelola Internet yang Komprehensif

Indonesia tidak memiliki strategi digital yang terintegrasi dalam tata kelola internet.

Indonesia saat ini memiliki 34 kementerian, tapi hanya sedikit yang mengurusi masalah digital.

Beberapa inisitif digital yang ada seperti Making Indonesia 4.0 oleh Kementerian Industri dan Digital Talent Scholarship oleh Kominfo tidak selaras satu sama lain. Ini menunjukkan adanya ketidakjelasan peraturan dan manajemen isu digital.

Kementerian memandang masalah transformasi digital, seperti kurangnya tenaga kerja digital di sektor mereka, sebagai isu penting yang butuh perhatian khusus.

Ini menimbulkan masalah di level kementerian, misalnya terkait perlindungan data pribadi, yang tidak ditangani, atau kalaupun ditangani, tidak dengan baik.

Memang, Kominfo sudah berusaha menangani isu-isu ini dengan mendirikan Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika. Namun, direktorat ini hanya berfokus pada mengatur diseminasi informasi, perlindungan data, dan isu-isu terkait plaform e-commerce. Fokus direktorat ini adalah pada masalah regulasi dan membangun infrastruktur.

Sementara itu, institusi lain berfokus pada mengawasi sektor ekonomi digital, termasuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK). OJK menangani masalah penipuan dalam financial technology (fintech) dengan menerbitkan peraturan sendiri tentang inovasi keuangan digital.

Pada masa depan, kementerian urusan digital akan menangani isu-isu yang lebih luas lagi.

Kementerian tersebut bisa menangani masalah yang saat ini terpinggirkan seperti tenaga kerja digital, kerangka kemampuan dan keamanan siber nasional, dan tata kelola digital.

Kementerian itu bisa juga membantu kementerian lain mengembangkan dan menerapkan kebijakan pada masalah digital sebagai konsultan.

Jika Indonesia bisa memanfaatkan potensi yang dimiliki dalam digitalisasi dan menangani masalah yang terus menggunung, negara ini akan mampu menikmati keuntungan transformasi digital – seperti meningkatnya produksi barang dan kemudahan komunikasi-tanpa harus mengkhawatirkan soal risiko, termasuk terkait tenaga kerja yang tidak memiliki keahlian dan perlindungan data pribadi. [Anisa Pratita Kirana Mantovani, Researcher & Research Manager at Research Division Center for Digital Society, Universitas Gadjah Mada; Janitra Haryanto,Project Officer, Research Division, Center for Digital Society, Universitas Gadjah Mada]. Tulisan ini disalin dari theconversation.com.