Jokowi 1, Freeport 0

Ilustrasi: Upacara bendera di tambang bawah tanah Freeport/situs web PTFI

Koran Sulindo – Sekitar sebulan setelah Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 2017 diberlakukan, Menteri ESDM Ignasius Jonan mengunjungi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Jawa Timur. “Dulu saat saya awal masuk ke Kementerian ESDM, saya pikir Freeport itu sebesar gajah, ternyata hanya sebesar sapi,” kata Jonan, di hadapan para mahasiswa, akhir Februari lalu.

Sikap Freeport yang meributkan regulasi baru perubahan status dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) itu dinilainya terlalu berlebihan.

Kontribusi perusahaan asal Amerika Serikat (AS) ini baik itu berupa pajak retribusi, royalti dan sebagainya ke pemerintah Indonesia juga masih kalah jauh jika dibanding beberapa perusahaan lainnya. Nilai kapitalisasi Freeport Indonesia jika dijual ke pasar juga tak sebesar yang dibayangkan: hanya sebesar US$ 20 miliar. Masih kalah dibandingkanPT Telkom yang senilai US$ 25 miliar atau BRI yang tercatat US$ 21 miliar.

Selama 25 tahun terakhir , Freeport juga hanya memberikan retribusi sebesar Rp 1 triliun kepada negara. Sekadar perbandingan, penerimaan negara dari cukai rokok sebesar Rp 139 triliun per tahun; penerimaan dari devisa para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) sebesar Rp 144 triliun.

Sejak Februari itu hingga pekan lalu, Jonan menghitung sudah sekitar 20 kali bolak-balik menghadap Presiden Joko Widodo melaporkan perkembangan perundingan dengan perusahaan raksasa tambang yang sudah bercokol sejak awal Orde Baru itu.

Akhirnya, pekan lalu, Jonan bisa membuat perusahaan sapi itu menyetujui divestasi saham untuk Pemerintah Republik Indonesia sebesar 51 persen dan membangun Smelter paling lambat hingga 5 tahun mendatang.

Dengan kesepakatan itu, Freeport mendapat perpanjangan izin operasi tambang selama 10 tahun lagi setelah izin habis pada 2021 nanti. Izin itu bisa ditambah selama 10 tahun lagi hingga 2041.

Namun untuk mendapatkan perpanjangan operasional itu, Freeport harus mengganti statusnya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Untuk itu Freeport harus mengajukan lagi proses administrasi menjadi IUPK, dengan catatan seluruh lampiran di dalam IUPK bisa segera rampung. Lampiran itu mencakup rencana pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian logam (smelter) yang selesai paling lambat pada 2022, divestasi sebesar 51 persen, dan komitmen setoran penerimaan negara lebih besar dibanding saat Kontrak Karya. Pemerintah dan Freeport masih harus menyelesaikan dokumentasi struktur yang disepakati.

Benar Menang?

Pagi hari waktu AS setelah pengumuman kesepakatan itu, harga saham Freeport di Wall Street New York jatuh 5,8 persen menjadi $14,56 per buah. Kesepakatan itu juga memberi Presiden Jokowi pondasi kokoh bertarung pada Pemilu Presiden 2019 nanti.

Tak lama setelah pengumuman bersama itu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membuat status di akun Twitter-nya #FreeportTaatIndonesiaBerdaulat. Pernyataan yang bombastis itu seperti keluar dari sentimen nasional yang meninggi, setelah bertahun-tahun merasa dipermainkan Freeport. Yang terlupakan segera itu adalah kesepakatan tersebut masih membutuhkan detil-detil yang menguras tenaga mulai proses divestasi hingga rampung, sampai batas kapan proses itu harus dirampungkan, dan yang paling penting, berapa harga saham per satuannya.

Pemerintah sejak awal berjanji akan membeli saham yang dilepas Freeport itu denganm harga yang fair. Pada Agustus 2016, Freeport menguji dengan menawarkan 10,64 persen saham dengan harga 16,2 miliar dolar AS.

RI menyebut harga itu absurd dan menawar hanya 630 juta dolar AS dan menyebut kandungan tambang itu milik Indonesia dan bukan bagian yang bisa dimasukkan dalam komponen harga. Dari pelajaran tahun lalu itu, naampaknya negosiasi harga saham ini akan panjang dan lama.

Lalu siapa yang boleh membeli saham itu? Jonan menyebut Jokowi ingin semuanya diambil alih negara, dalam hal ini pemerintah pusat dan mengajak pemerintah daerah. Pengaturan tentang ini di tangan Menkeu Sri Mulyani dan Menteri BUMN Rini Soemarno.

Uangnya ada?

“Mereka wajib menyiapkan itu,” kata Jonan.

Rini, sehari setelah itu, mengatakan saham itu diharap dilepas dalam satu blok, bukan eceran, dan akan diakuisisi paling lambat akhir 2018. Pemerintah akan membentuk holding perusahaan tambang BUMN yang independen mengurus divestasi itu.

“Konsorsium akan mencari uangnya, bisa dari ekuitas, utang, obligasi, atau dana pensiun,” kata Kepala Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN, Fajar Hari Sampurno.

Tapi masalahnya, Freeport sekarang tak sama lagi, dengan katakanlah 10 tahun lalu ketika bisa menambang gunung emas itu tanpa perlu menggali. Cadabngan emas dan tembaga yang tersisa di atas permukaan bumi hanya bisa dikeruk paling lama 12 bulan lagi. Setelah itu mereka harus menyelam ke dasar bumi agar bisa memperoleh hasil lagi.

Cadangan deposit Grasberg konon sebesar 26,9 miliar pounds, tapi ya itu tadi, masih di dalam bumi dan sejak 2012 lalu proses pengambilannya harus sangat berhati-hati karena ternyata pengerukan di zona itu menyebabkan aktivitas gempa. Dan bisa operasi untuk penambangan itu dalam 6 bulan saja sebesar 431 juta dolar AS, 61 persen dari dana yang disediakan tahun lalu. Angka itu pasti naik untuk eksplorasi di Deep Mill Level Zone dan gua Grasberg, yang diperkirakan 1 miliar dolar AS per tahun hingga 2020 nanti.

Sebagai pemilik saham mayoritas, RI mau tak mau kelak harus berhadapan dengan masalah ini. Ada uang yang harus disediakan selain untuk membeli saham. Di sini baru kelihatan nilai kemenangan Jokowi tidaklah sempurna. Atau jangan-jangan Freport sebenarnya yang memenangkan perang panjang demi gunung di Papua itu? [Didit Sidarta]