Jika Uji Materi Cawapres Dikabulkan Akan Jadi Preseden Buruk bagi MK

Politikus PDI Perjuangan Effendi Simbolon (kedua dari kanan), Pakar Hukum Tata Negara Universitas Jember Bayu Dwi Anggono (paling kanan), pengamat politik Sinergi Data Indonesia Barkah Pattimahu (paling kiri), dimoderatori Direktur Eksekutif Karyono Wibowo (Dua paling kanan) [Foto: Koran Suluh Indonesia]

Koran Sulindo – Kedudukan hukum atau legal standing Partai Perindo dipertanyakan dalam uji materi Undang Undang tentang Pemilu tahun 2017. Terlebih Perindo disebut bukan partai peserta pemilu pada periode 2014.

Karena itu, kata pakar Hukum Tata Negara Universitas Jember Bayu Dwi Anggono, Perindo tidak bisa dijadikan sebagai legal standing dalam uji materi Pasal 169 huruf n UU Pemilu. Cukup pakai legal standing Wakil Presiden Jusuf Kalla sehingga bukan menjadi pihak terkait dalam uji materi tersebut.

Uji materi Pasal 169 itu berkaitan dengan masa jabatan atau sosok yang bisa dicalonkan sebagai calon presiden dan calon wakil presiden. Pasal itu berbunyi “belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan yang sama.”

Dikatakan Bayu, merujuk kepada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36 tahun 2014 dan sesuai dengan Pasal 222 UU Pemilu, partai yang bisa mengusung capres/cawapres adalah partai, atau partai gabungan yang memiliki suara 20 persen kursi di parlemen atau 25 persen secara nasional.

“Karena itu, jika MK mengabulkan gugatan ini, maka akan menjadi preseden buruk bagi lembaga tersebut karena seharusnya menjaga konstituennya, bukan sebaliknya merusak konstitusi,” kata Bayu dalam diskusi “Ngopi Bareng & Diskusi” yang digelar Indonesian Public Institute.

“Jika jabatan menteri dan wakil presiden disamakan itu sesat berpikir. Karena pada Pemilu jabatan presiden dan wakil presiden melekat satu paket. Sementara jabatan menteri diangkat oleh presiden. Makanya tidak ada reshuffle wakil presiden. Itu logika mengada-ada.”

Ia karena itu mengimbau Kalla untuk tunduk pada konstitusi, bukan malah sebaliknya. Dan perlu diingat adalah amanat reformasi yang mengacu kepada TAP MPR No. XIII/1999 tentang Pembatasan Kekuasaan Presiden/Wakil Presiden.

Di tempat yang sama, pengamat politik dari Sinergi Data Indonesia Barkah Pattimahu menuturkan, jika Kalla kembali mengajukan diri sebagai calon wakil presiden Joko Widodo, maka akan menjadi preseden buruk bagi Jokowi. Elektabilitas Jokowi tidak akan naik, malah akan turun. Partai koalisi pun akan goyang jika Kalla diizinkan MK kembali maju sebagai capres.

Kalla, kata Barkah, bukanlah pasangan ideal bagi Jokowi pada 2019. Justru keberadaan Kalla akan menghambat regenerasi. “Tidak ada efek elektoral jika Kalla dipasangkan dengan Jokowi. Partai koalisi cukup sadar elektabilitas Kalla cukup kecil,” kata Barkah.

Sementara itu, politikus PDI Perjuangan Effendi Simbolon mengatakan, gugatan Kalla itu bermakna ada arti politik yang disepakati antara Jokowi dengan Kalla. Politik di Indonesia itu lebih mengutamakan transaksional ketimbang ideologis dan tentunya itu sudha diketahui Jokowi.

Kalla adalah sosok yang sangat memiliki pendekatan kelompok Islam. Tidak heran bila Kalla hingga saat ini salah satu pengurus masjid se-Indonesia. [RLJ/KRG]