Jejak Swasta dan Politikus Pencari Rente Dalam Kontroversi Impor Beras

Ilustrasi: Unjuk rasa anti impor pangan/spi.or.id

Koran Sulindo – Kontroversi impor pangan khususnya beras kembali terjadi pada kuartal pertama 2021. Masih seperti 2019, kontroversi itu menjadi perhatian publik setelah Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso alias Buwas menolak rencana importasi yang digaungkan Menteri Perdagangan M. Lutfi yang berdalih upaya itu sebagai cara untuk menjaga stabilitas harga dan stok beras.

Buwas tentu saja menolak dalih tersebut. Apalagi stok beras di gudang Bulog mencapai 883.575 ton dengan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) sebesar 859.877 ton dan beras komersial sebesar 23.706 ton. Meski ada penyerapan di dua bulan ini, yakni Maret dan April 2021, namun cadangan beras masih melimpah yakni di atas 1 juta ton setelah memasuki panen raya.

Berbeda dengan Buwas, Mendag Lutfi yang menyebut cadangan atau stok beras di Perum Bulog saat ini adalah yang terendah sepanjang sejarah. Sampai Maret ini, menurut Lutfi, stok beras di Perum Bulog tak mencapai 500 ribu ton. Padahal, seharusnya di Perum Bulog itu tersedia stok antara 1 juta – 1,5 juta ton beras setiap tahunnya.

Karena kontroversi itu, Presiden Joko Widodo pun pada akhirnya ikut menengahi dan meminta agar anak buahnya itu menghentikan polemik impor beras itu. Menurut Jokowi, beras hasil panen petani akan diserap pemerintah melalui Bulog. Bahkan Jokowi memerintahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyiapkan anggarannya.

Jokowi juga memastikan tidak akan ada beras impor yang masuk ke Indonesia hingga pertengahan 2021. Apalagi Indonesia sudah tidak mengimpor beras hampir tiga tahun terakhir. Bahwa ada nota kesepahaman (MoU) dengan Thailand dan Vietnam soal impor beras, menurut Jokowi, itu hanya sebagai langkah antisipasi untuk mengamankan stok beras mengingat ketidakpastian global di masa pandemi Covid-19.

Kontroversi importasi beras itu pun sempat mendapat perhatian dari Komisi IV DPR. Bahkan wacana impor itu diperkirakan akan terjadi karena Mendag Lutfi dalam wawancaranya di berbagai media massa memberi kesan bahwa impor beras hanya nunggu waktu.

“Padahal Presiden Joko Widodo sudah bilang hentikan polemik tersebut. Saya juga sudah pernah mengingatkan bahwa ada MoU yang dilakukan pemerintah dengan negara eksportir dan itu terjadi,” tutur Ketua Komisi IV Sudin pada akhir Maret 2021.

Untuk mengetahui soal beras itu, kata Sudin, Kementerian Pertanian perlu menjelaskan secara mendetail tentang produksi dan konsumsi masyarakat pada 2020. Juga perlu menjelaskan berapa kebutuhan masyarakat dan apa yang menjadi target pada tahun ini.

Dengan demikian, kata Sudin, semua menjadi tahu apakah Indonesia mengalami kelebihan atau kekurangan. Jika kenyataannya ada kekurangan, maka pemerintah silakan melakukan impor sehingga tidak ada lagi polemik yang berkepanjangan soal beras ini.

Di samping itu, kata Sudin, pemerintah juga perlu memikirkan langkah-langkah yang perlu ditempuh Perum Bulog. Pasalnya, kenyataan hari ini beras impor yang disimpan di gudang Bulog sekitar 170 ribu ton sudah tidak layak konsumsi, bahkan 20 ribu ton sudah dimusnahkan.

Belum lagi gabah yang diserap Bulog dari petani, ini nanti mau diapakan. Lalu, konon Juli (2021 akan ada impor), mau diapakan itu semua. Kecuali pengambil kebijakan tertinggi mengubah penerima kartu Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) wajib beli beras Bulog dengan mutu yang baik dan sesuai dengan harga yang ditetapkan pemerintah,” kata Sudin.

Kembali kepada Buwas yang dengan tegas menolak wacana impor itu. Meski tidak menunjuk sosok dalang wacana impor beras ini, namun tudingan itu seperti mengarah kepada 2 menteri perekonomian yaitu Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto dan Mendag Lutfi. Sementara pada 2019, Buwas dengan tegas menyebut bahwa kebijakan importasi pangan hanya akan menguntungkan pihak swasta.

“Bulog tidak mencari keuntungan, tapi menjaga kestabilan harga. Entah kenapa (dibatalkan), mungkin ada yang nggak mendapat keuntungan,” tutur Buwas seperti dikutip CNBC Indonesia pada akhir April 2019.

Untuk mengetahui apa yang terjadi soal importasi pangan pada 2019, Buwas bercerita, dalam rapat koordinasi terbatas, pemerintah telah memberi izin kepada Bulog untuk mengimpor bawang putih sebanyak 100 ribu ton. Keputusan itu diambil karena pemerintah menilai keadaan sudah mendesak. Musababnya harga bawang putih terus bergerak naik.

Akan tetapi, izin impor Bulog untuk bawang putih tak kunjung terbit. Setelah diusut, rupanya Kementerian Perdagangan membatalkan izin impor Bulog terhadap bawang putih itu. Sekalipun kebijakan impor tersebut merupakan perintah presiden. Bersamaan dengan itu, Kementerian Perdagangan menerbitkan Persetujuan Impor (PI) bawang putih sebanyak 115.765 ton kepada 8 perusahaan importir swasta.

Buwas menyayangkan keputusan tersebut. Apalagi importasi yang dilakukan Bulog bukan dalam rangka mencari keuntungan melainkan menstabilkan harga. Ia karena itu menuding cara berpikir menteri yang membatalkan impor bawang putih untuk Bulog tersebut keliru. Sebabnya, impor tersebut demi kepentingan masyarakat, bukan kepentingan pribadi.

Sementara, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) punya catatan tentang impor pangan yang dilakukan pemerintah secara serampangan sejak 2015. Dan selalu pula berkaitan dengan politikus Partai Nasdem. Berdasarkan audit investigasi BPK berjudul Audit Tata Niaga Impor 2015 hingga 2017, alokasi impor tidak sesuai dengan data kebutuhan. Sementara realisasi juga seringkali melampaui kebutuhan.

Bahkan masalah ini semasa Rachmat Gobel menjabat Menteri Perdagangan pernah menjadi perbincangan anggota DPR. Ketika itu, pada Februari 2015, anggota Komisi VI DPR mengkritik keras kebijakan impor gula mentah hingga gula rembesan dan gula rafinasi. Di samping membuka keran impor selebar-lebarnya, anggota Komisi VI juga menyoal data stok gula dan kuota impor yang tidak sesuai dengan kebutuhan.

Setelah Presiden Joko Widodo merombak kabinetnya yang pertama, Rachmat Gobel terpental. Setelah tak lagi aktif menjadi menteri, Rachmat Gobel justru diangkat menjadi anggota Dewan Kehormatan Partai Nasdem dan menjadi calon anggota legislatif daerah pemilihan Gorontalo pada 2019.

Nasdem dan Swasta
Kementerian Perdagangan sempat dijabat seorang profesional, Thomas Lembong. Namun, itu tidak lama. Sejak Juli 2016, Menteri Perdagangan dijabat Enggartiasto Lukita yang juga pengurus dan politikus Partai Nasdem.

Di samping impor gula, data yang kerap bermasalah juga meliputi impor garam industri, beras dan daging sapi. Sesuai dengan temuan BPK, keputusan Kementerian Perdagangan dalam menerbitkan izin impor sama sekali tanpa data kebutuhan. Bahkan kuota impor yang ditetapkan selalu pula melebihi kebutuhan.

Semisal, kebutuhan nasional untuk gula kristal putih pada 2016 sebanyak 3,05 juta ton. Sementara produksi nasional baru mampu memenuhi 2,57 juta ton. Artinya ada selisih 477 ribu ton yang mesti dipenuhi lewat impor. Herannya, Kementerian Perdagangan justru menetapkan kuota impor untuk komoditas tersebut sebanyak 1,36 juta ton atau 285 persen lebih banyak dari kebutuhan.

Khusus impor gula menarik untuk ditelusuri terutama jika dikaitkan dengan kelompok usaha yang terafiliasi (terhubung) dengan Partai Nasdem. Masih berdasarkan audit BPK, pemeriksaan atas Portal Inatrade (PI) atau layanan perizinan di bidang perdagangan secara elektronik yang diterbitkan periode 2015 hingga Semester I 2017 juga melibatkan swasta.

Adapun perusahaan swasta yang diketahui menerima izin impor adalah PT Angel Products dengan volumenya sekitar 105 ribu ton. Perusahaan ini juga termasuk dari 8 perusahaan yang menerima izin impor pada 2016 dengan volume impor 200 ribu ton. Masih di tahun yang sama, perusahaan ini juga menerima izin impor dengan volume sekitar 263 ribu ton.

Selanjutnya pada 2017, PT Angels Product juga ikut menerima izin impor dengan volume 600 ribu ton. Perusahaan ini juga ikut menerim izin impor dengan volume sekitar 112 ribu ton pada tahun yang sama. Dan menjadi pengimpor tunggal dengan volume 50 ribu ton.

Berdasarkan hasil audit itu, bisa disimpulkan, sejak 2015, PT Angels Product merupakan perusahaan terbanyak yang menerima izin impor gula. Pertanyaannya: siapakah PT Angels Product? Perusahaan ini merupakan anak usaha PT Pasifik Agro Sentosa, bagian dari Artha Graha Network di bidang agro industri. [Baca: Jejak Artha Graha di Perusahaan Pengendali Gula Rafinasi]

Lalu, nama Enggartiasto terseret atas adanya dugaan “permainan” dalam sengkarut impor pangan ini. Adalah mantan anggota Komisi VI DPR, Bowo Sidik Pangarao yang mengaku menerima sekitar Rp 2 miliar dari Enggartiasto dalam pecahan dolar Singapura. Sumber Tempo menyebutkan, Bowo mengakui hal itu ketika diperiksa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Uang senilai Rp 2 miliar itu merupakan bagian dari duit Rp 8 miliar yang dimasukkan Bowo ke dalam 400 ribu amplop untuk serangan fajar. Bowo merupakan tersangka kasus suap kerja sama pengangkutan PT Pupuk Indonesia Logistik dan PT Humpuss Transportasi Kimia. Ia disebut menerima sekitar Rp 1,2 miliar dari Manajer Pemasaran PT HTK Asty Winasti untuk membantu perusahaan kapal itu memperoleh kontrak pengangkutan pupuk.

Di samping kasus utamanya itu, Bowo juga mengakui uang dari Enggar tersebut sebagai bagian dari “pengamanan” Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16/M-DAG/PER/3/2017 tentang Perdagangan Gula Kristal Rafinasi Melalui Pasar Lelang Komoditas, yang akan berlaku akhir Juni 2017. Berbekal pengakuan Bowo itu, KPK lalu memutuskan untuk menyelidiki keterlibatan Enggar. Itu sebabnya pada Senin (29/4), penyidik KPK menggeledah ruang kerja Menteri Perdagangan itu.

Tentang penggeledahan tersebut, Enggar mengaku telah mengetahuinya. Namun, ketika penggeledahan dilakukan, Enggar tidak berada di tempat. Soal pengakuan Bowo itu, Enggar membantahnya. Tak ada urusan antara dirinya dengan Bowo. Terlebih keduanya berbeda partai: Nasdem dan Golkar. Enggar juga memastikan, kebijakan izin impor itu merupakan kewenangannya sebagai Menteri Perdagangan sehingga tidak ada alasan memberikan uang kepada Bowo.

Soal kemungkinan bisnis impor pangan ini menjadi sumber pendanaan partai, seorang sumber di KPK mengatakan “Ya, itu memang sumber penghasilan partai.” [Kristian Ginting]