Koran Sulindo – Menceritakan sejarah perjuangan dalam mempertahankan Republik dari kaum kolonialis tanpa menyinggung Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) rasanya kurang pas. Organisasi kemasyarakatan (ormas) ini berperan aktif ketika revolusi fisik periode 1945 hingga 1949 sedang bergelora.
Tetapi, tak banyak yang mengungkap kisahnya. Boleh jadi orang-orang takut karena Pesindo selalu dikaitkan dengan Peristiwa Madiun (Madiun Affair) di tahun 1948. Setelah itu, terutama di masa Orde Baru, Pesindo mendapat stempel “merah” dan ormas yang memiliki kecenderungan sebagai “pemberontak”. Pada masa rezim Soeharto itu jejak Pesindo seakan dihapus dari sejarah Indonesia.
Beruntung sebuah penelitian yang kemudian dibukukan berjudul Pemuda Sosialis Indonesia 1945-1950, terbit tahun 2016, mendokumentasikan jejak ormas pemuda tersebut. Buku ini boleh jadi yang pertama membahas organisasi pemuda terbesar di masa revolusi Indonesia itu. Karena itu menarik mengikuti sejarahnya dan bagaimana sesungguhnya awal mula berdirinya ormas yang digawangi Wikana, Sudisman, Djalaloeddin Jusuf Nasution, Djokosoedjono, Ruslan Widjajasastra, dan Krissubanu tersebut.
Dalam buku Sejarah Singkat Gerakan Rakyat untuk Kebebasan terbitan 1982, Supeno bercerita, tanggal 6- 10 November 1945 dilangsungkan kongres pemuda yang pertama selepas Indonesia merdeka. Kongres ini diselenggarakan di Balai Mataram, Yogyakarta, yang di masa kolonial disebut Societeit Mataram. Supeno, yang kelak pimpinan Pesindo, menyinggung soal kemunculan berbagai ormas pemuda selepas pembacaan proklamasi.
Di Jakarta, misalnya, muncul Angkatan Pemuda Indonesia (API). Di Jawa Tengah muncul Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) berpusat di Semarang. Salah satu pendiri AMRI adalah S. Karno yang nantinya akan menjadi tokoh PKI, menjadi Residen Semarang dan gugur dalam Peristiwa Madiun 1948. Di Yogyakarta berdiri Gerakan Pemuda Republik Indonesia (GERPRI) di bawah pimpinan S. Lagiono. Di Jawa Timur berdiri Pemuda Republik Indonesia (PRI). Beberapa tokoh PRI antara lain Sumarsono, Bambang Kaslan, dan Ruslan Widjajasastra.
Menurut Supeno, umumnya asas dan tujuan ormas pemuda nyaris serupa: revolusioner, anti-kolonialisme dan anti-fasisme. Karena itu, dalam majalah Revolusioner, asas Pesindo disebutkan adalah kedaulatan rakyat penuh atau sosialisme dalam lapangan politik, ekonomi dan sosial. Tujuannya memperteguh negara Republik Indonesia berdasarkan masyarakat sosialistis. Pendeknya Pesindo ingin menggalang masyarakat sosialistis.
Di samping ormas yang sudah disebutkan itu, juga berdiri beberapa ormas pemuda lainnya seperti Angkatan Muda Kereta Api (AMKA), Angkatan Muda Gas dan Listrik (AMGL), Angkatan Muda Pos, Tilpon dan Tilgrap (AMPTT), AngkatanMuda Guru (AMG) dan lain-lain. Sedangkan kaum wanita bergabung dalam organisasi sendiri dengan nama Persatuan Pemuda Putri Indonesia (PPPI), yang salah seorang pemimpinnya adalah Nyonya Harkristuti Subandrio.
Para pemuda yang berlatar belakang agama seperti Islam mengorganisasi diri dalam Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), pemuda Kristen menyatukan diri dalam Persatuan Pemuda Kristen Indonesia (PPKI). Barisan Pelopor yang berdiri pada zaman Jepang berubah menjadi Barisan Banteng dan bermarkas di Surakarta. Pemuda-pemuda di luar Jawa juga membentuk organisasi mereka seperti Pemuda Indonesia Maluku (PIM), Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) dan lain-lain.
Kongres Pemuda Yogyakarta
Kongres pemuda yang bersejarah di Yogyakarta itu, kata Supeno, melahirkan dua organisasi yang ikut memainkan peranan dalam revolusi. Pertama, melahirkan Pesindo yang merupakan gabungan dari API, AMRI, GERPRI, PRI, AMKA, AMPTT dan AMGL. Pesindo disebut menjadi ormas terbesar dan terkuat dalam hal persenjataan. Pesindo juga menjadi anggota Gabungan Pemuda Demokratis Sedunia (WFDY) dan menjalin hubungan yang erat dengan Organisasi Pemuda Belanda (Algemene Nederlandse Jeugd Vereniging) serta Liga Pemuda Eureka (Eureka Youth League) Australia.
Kedua, kongres pemuda juga melahirkan satu badan federasi dengan nama Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI). Badan ini terdiri atas Ikatan Pelajar Indonesia (IPI), Persatuan Pemuda Putri Indonesia (PPPI), Barisan Banteng, KRIS, PIM, GPII, Angkatan Muda Kalimantan (AMK), Angkatan Muda Pembangunan (AMP), Pesindo dan 14 organisasi pemuda lainnya. Badan tertinggi dalam BKPRI adalah rapat presidium yang diwakili oleh semua anggota.
Untuk melaksanakan keputusan presidium, maka dibentuk dua badan eksekutif yakni Dewan Pekerja Pembangunan di bawah Wikana, dan Dewan Pekerja Perjuangan di bawah Sumarsono. Badan eksekutif di bawah Wikana mula-mula berpusat di Jakarta. Seiring dengan pindahnya ibu kota republik ke Yogyakarta, maka badan ini juga ikut pindah. Sementara badan eksekutif di bawah Sumarsono bermarkas di Madiun. Sesuai dengan situasi dan suasana ketika itu, maka badan yang paling menonjol adalah Dewan Pekerja Perjuangan.
Badan ini juga memiliki pemancar radio sendiri yang dinamai Gelora Pemuda. Juga terdapat Radio Pesindo Jawa Barat dan Radio Pesindo Jawa Tengah. Kedua radio ini kemudian bekerja sama dengan Radio Gelora Pemuda. Itu sebagai alat untuk berpropaganda melalui wayang dalam bentuknya yang baru. Ia baru karena tidak mengambil cerita pewayangan Mahabrata atau Ramayana melainkan dari perjuangan kemerdekaan rakyat Indonesia. Wayang-wayangnya karena itu menggambarkan tokoh-tokoh perjuangan dengan kehidupan mereka sehari-hari. Salah satu bukti hasil perjuangan BKPRI adalah menetapkan pertempuran Surabaya pada 10 November 1945 sebagai Hari Pahlawan.
BKPRI juga menjadi anggota Gabungan Pemuda Demokratis Sedunia (GPDS). Dengan demikian BKPRI mempunyai hubungan dengan gerakan pemuda progresif di seluruh dunia. Itu sebabnya BKPRI selaklu hadir dalam festival pemuda sedunia yang diselenggarakan oleh GPDS. Maka, ketika konferensi pemuda Asia di Kalkuta (India) diselenggarakan pada Februari 1948 atas prakarsa GPDS dan International Union of Student (IUS), BKPRI berhasil mengirimkan suatu delegasi.
Sementara itu, menurut Norman Joshua Soelias dalam buku Pemuda Sosialis Indonesia 1945-1950, di samping radio dan perjuangan bersenjata, Pesindo juga memiliki Badan Penerangan yang bertugas menerbitkan selebaran dan pamflet yang berisi advokasi serta propaganda yang berkaitan dengan perjuangan pemuda pada saat itu. Selain menerbitkan majalah Revolusioner, Pesindo juga menerbitkan koran Bintang Poetih, Soeara Pemoeda, Keadilan serta Penghela Rakyat. Majalah Revolusioner, misalnya, berisi kumpulan tulisan para tokoh-tokoh Pesindo, serta berita keorganisasian seperti perubahan AD/ART dan pergantian pimpinan dalam kongres-kongres Pesindo, serta propaganda yang fungsinya untuk membangkitkan semangat kepemudaan dalam konteks zaman itu.
Norman membenarkan pernyataan Supeno soal Pesindo sebagai ormas pemuda terbesar dan terkuat di masanya. Sejak pertama kali berdiri hingga 1947, jumlah keanggotaan Pesindo mencapai kira-kira lebih dari 300 ribu orang. Namun, jumlah ini merosot menjadi 100 ribu pada Februari 1948. Pada Kongres Pesindo I yang diadakan pada 11 November 1945 di bawah pimpinan Chairul Saleh, Pesindo memiliki perwakilan dari Jakarta, Bogor, Priangan, Banten, Cirebon, Pekalongan, Semarang, Banyumas, Kedu, Mataram, Surakarta, Pati, Bojonegoro, Madiun, Kediri, Surabaya, Malang, Besuki, Madura, Sunda Kecil, Palembang, Bengkulu, Lampung, dan Kalimantan.
Dalam perkembangannya, identitas Pesindo mencapai Sumatra dan mampu memengaruhi para pemuda di Aceh, Sumatra Utara, Tapanuli, serta Sumatra Timur, namun mereka tidak memiliki korespondensi langsung dengan Pesindo di Jawa. Dapat dikatakan bahwa para pemuda Sumatra mengadopsi identitas Pesindo hanya sebagai sebuah identitas umum.
Tidak hanya berjuang lewat senjata, Pesindo juga memiliki perhatian besar dalam bidang sosial antara lain bidang pendidikan, budaya serta memberi bantuan kepada masyarakat. Kegiatan Pesindo dalam bidang pendidikan dan kebudayaan salah satunya adalah mendirikan sekolah-sekolah di berbagai wilayah Republik. Itu misalnya terwujud lewat pendirian Sekolah Menengah Proletar di Magelang pada 15 November 1945. Juga mendirikan Sekolah Menengah Putri di Pematang Siantar pada 19 Februari 1947. Pesindo juga mendirikan kursus bahasa Prancis di Surakarta pada 1 Desember 1946.
Norman sendiri adalah cucu Fransisca Fanggidaej, salah satu pimpinan Pesindo waktu itu. Ia mengatakan, Pesindo tidak berada di bawah salah satu partai politik, tetapi pernah menyampaikan pernyataan resmi bahwa satu-satunya organisasi politik yang mampu memimpin revolusi Indonesia adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Penyataan itu agak mengherankan, sebab Pesindo dan PKI tidak saling terkait. Ditambah lagi Pesindo berhaluan sosialis, bukan komunis. Itu sebabnya, Pesindo sejak awal dirancang sebagai organisasi pemuda yang bisa merangkul seluruh organisasi pemuda lain. Semacam front nasional.
Di Bawah Pengaruh Amir Sjarifuddin
Melihat pernyataan Pesindo yang demikian, Norman mencoba mengkaitkannya dengan Amir Sjarifuddin Harahap. Sosok ini dikenal sebagai tokoh Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Ia pernah ditangkap dan dinterogasi polisi Hindia Belanda pada 1940-an. Pada saat yang sama, ia bekerja di Departemen Perekonomian Pemerintahan Hindia Belanda. Amir mendapat uang sebesar 25 ribu Gulden dari Charles van der Plaas untuk membangun kekuatan anti-fasis di Hindia Belanda. Dalam kenyataannya, kerja sama menghadapi fasisme tidak berjalan lama, sebab Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menyerah kepada Jepang pada tanggal 8 Maret 1942.
Lewat dana yang diterimanya dari Van Der Plass, Amir berhasil membangun jaringan bawah tanah anti-fasis. Ia bertemu dengan berbagai tokoh seperti Wikana, Krissubanu, Djokosoejono, Ruslan Widjajasastra dan Soemarsono, gerakan ini kemudian berhasil dicium polisi rahasia Jepang bernama Kenpeitai sehingga Amir ditangkap bersama kelompoknya pada 1943. Ia kemudian divonis hukuman mati walau hukumannya kemudian dianulir menjadi hukuman seumur hidup setelah campur tangan Soekarno dan Hatta.
Perkenalan Amir dengan Marxisme-Leninisme sesungguhnya ketika ia sedang menempuh pendidikannya di negeri Belanda antara 1921 hingga 1927. Ia sempat menjadi anggota Perhimpunan Indonesia (PI). Di sini Amir bertemu dengan Semaun, salah satu pimpinan PKI yang dibuang ke Belanda. Dari Semaun, Amir dan kader-kader PI mendapat gemblengan Marxisme-Leninisme. Kegagalan pemberontakan nasional pertama yang dipimpin PKI pada 1926/1927 juga berdampak terhadap Amir. Ia kemudian memilih untuk tidak menyelesaikan pendidikannya di negeri Belanda dan pertengahan 1927 ia pulang ke Hindia Belanda. Dan Semaun berpesan kepadanya untuk kembali membantu sisa-sisa aktivis partai yang luput dari penangkapan.
Amir juga pernah ditangkap karena tulisannya yang memerahkan telinga penguasa kolonial. Akibatnya ia dipenjara selama 1,5 tahun. Sekeluarnya dari penjara pada 1935, Musso, kader senior PKI pulang ke Hindia Belanda setelah delapan tahun di Moskow. Ia tiba di Surabaya dan membangun kembali PKI dan Amir turut dalam kegiatan itu. Kader-kader partai diminta memasuki, memengaruhi dan memimpin organisasi-organisasi sosial politik untuk berjuang merebut kemerdekaan Indonesia.
Setelah proklamasi kemerdekaan, tidak banyak yang tahu bahwa Amir telah menjadi anggota PKI-Ilegal yang ada di Indonesia sejak 1935. Dan karena ini pula Amir mampu membangun jaringan anti-fasis sebelum Jepang mendarat di Hindia-Belanda. Setelah proklamasi, Amir dijadikan sebagai Menteri Penerangan RI. Melalui jabatannya ini Amir berupaya mengkonsolidasikan pengaruhnya terhadap kaum pemuda yang sempat surut ketika ia berada di penjara. Faktor inilah, kata Norman, yang membuat Amir punya kedekatan dengan Pesindo. Itu sebabnya dalam struktur organisasi Pesindo, Amir duduk sebagai Ketua Dewan Penasihat Politik Pesindo.
Setelah itu semua, sepak terjang Pesindo tergambarkan dalam sikap politiknya yang tetap setia mendukung pemerintahan yang sah. Itu untuk menjaga kestabilan pemerintahan dan memastikan tetap berada di jalan Undang Undang Dasar. Sikap demikian selalu diusung Pesindo dari awal hingga dibubarkannya ormas pemuda tersebut. Mulanya Pesindo memilih bergabung dengan Persatuan Perjuangan (PP) di bawah pimpinan Tan Malaka. Ormas ini diwakili oleh Ibnu Parna. Keputusan ini dianggap tepat karena sejalan dengan sikap politik Pesindo yang mengusung stabilisasi pemerintahan melalui oposisi korektif dan konstruktif.
Perkembangan politik pada waktu itu membuat PP menentang segala bentuk perundingan dengan pihak Belanda dan sekutunya. Memandang hal ini Pesindo beranggapan tindakan PP itu tidak lagi sebagai hal yang konstruktif. Pimpinan Pesindo menyadari tindakan PP justru bisa menggoyahkan pemerintahan. Sikap yang tidak sesuai dengan cita-cita politik Pesindo. Mereka karena itu, tepatnya pada Maret 1946 memutuskan pisah dengan PP. Pesindo lantas menarik perwakilannya dari PP. Setelahnya, Pesindo memecat Ibnu Parna karena kedekatannya dengan Tan Malaka dan ikut mendirikan Partai Murba. Hubungan Pesindo dan PP pada akhirnya berakhir tidak harmonis.
Norman mengatakan, Pesindo bernasib tragis setelah membaktikan diri sepenuhnya kepada Republik. Kemunduran nyata dialami ormas ini dimulai dari 1947 hingga 1948. Ketika itu Pesindo yang berada di federasi politik Sayap Kiri mendukung kabinet Amir Sjarifuddin. Pesindo ikut mengalami pukulan setelah Amir Sjarifuddin menandatangani Perjanjian Renville. Ketika Amir mundur dari kursi Perdana Menteri dan digantikan kabinet Hatta, Sayap Kiri memilih menjadi oposisi pemerintahan Hatta.
Pada era Hatta, Sayap Kiri khususnya Pesindo mengalami tekanan dari Hatta dengan program Reorganisasi-Rasionalisasi (Re-Ra). Program yang memicu ketegangan ini memuncak pada bulan Juli hingga Agustus 1948. Sayap Kiri yang berubah nama menjadi Front Demokrasi Rakyat (FDR) menjadi garda terdepan dalam pemogokan buruh perkebunan kapas dan pabrik-pabrik di Delanggu. Kemudian pada 2 Juli 1948, terjadi pembunuhan terhadap Kolonel Sutarto, komandan Divisi IV/Panembahan Senopati di Surakarta.
Dari semua kejadian yang disebut sebagai tindakan provokasi itu memuncak pada 18 September 1948. Kita mengenalnya sebagai Peristiwa Madiun. Peristiwa ini menjadi titik awal kejatuhan Pesindo. Setelah peristiwa itu tokoh-tokoh FDR dan Pesindo ditangkapi. Musso tewas dalam sebuah penyergapan. Sedangkan, Amir termasuk yang ditangkap yang akhirnya ditembak mati. BKPRI menskors keanggotaan Pesindo meski kemudian ormas ini tidak menjadi organisasi terlarang. Setelah Agresi Militer Belanda II pada 1949, Pesindo mengadakan Kongres III di Jakarta. Resolusi kongres memutuskan Pesindo mengubah nama menjadi Pemuda Rakyat.
Perjalanan sejarah Pesindo yang berliku, bahkan mendapat cap atau stigma negatif itu tidak serta merta menghilangkan perannya dalam revolusi. Sebagaimana dengan sikap politiknya, ormas ini hingga akhir usianya membaktikan diri menjaga kestabilan pemerintahan. Dengan begitu, Pesindo sebagai golongan “kiri” pernah memberi dan mewarnai perjalanan Republik untuk mewujudkan kedaulatan rakyat. [Kristian Ginting]