Moeffreni Moemin (Arsip Keluarga)

Moeffreni, salah satu pejuang kemerdekaan Indonesia, sejak masa mudanya sudah menunjukkan semangat yang kuat untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Berawal dari pendidikan yang penuh disiplin dan keterlibatannya dalam organisasi kepanduan, ia mulai membangun jiwa nasionalisme yang kelak membentuk perjalanan hidupnya sebagai pejuang dan pemimpin.

Masa pendudukan Jepang menjadi titik tolak bagi pengasahan kemampuan militernya, yang kemudian membawanya terjun langsung dalam pertempuran mempertahankan kemerdekaan. Namun, perjuangannya tidak berhenti di medan perang.

Setelah pensiun dari dinas militer, Moeffreni beralih ke dunia politik, melanjutkan kontribusinya untuk bangsa dalam kapasitas yang baru. Perjalanan hidupnya yang panjang dan penuh tantangan ini menggambarkan dedikasi tanpa henti bagi kemerdekaan dan kemajuan Indonesia, meninggalkan jejak yang tak terlupakan dalam sejarah. Mari kita telusuri perjalanan hidupnya hingga akhir hayatnya dalam artikel berikut.

Masa Muda Moeffreni

Melansir laman Ensiklopedia Sejarah Indonesia, Moeffreni, tokoh pejuang kemerdekaan, militer, dan politik asal Betawi, lahir di Rangkasbitung pada 12 Februari 1921 dengan nama lengkap Mohammad Moeffreni Moe’min.

Sebagai anak pertama dari pasangan Mohammad Moe’min dan Sitti Aisyah, Moeffreni tumbuh dalam keluarga yang mengutamakan nilai-nilai disiplin, ketegasan, dan keberanian.

Ayahnya yang bekerja sebagai Residen Jakarta menjadi sosok penting dalam mendidik Moeffreni. Pendidikan formalnya dimulai di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Jakarta, dilanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) pada 1938, dan diakhiri dengan Algemeene Middelbare School (AMS) Jakarta pada 1941.

Semasa bersekolah, Moeffreni aktif dalam organisasi Kepanduan Bangsa Indonesia yang didirikan pada 1931. Organisasi ini bertujuan untuk mendidik pemuda menjadi pribadi yang berbudi pekerti baik dan siap berbakti untuk tanah air.

Di sinilah ia mulai mengasah jiwa nasionalisme dan militernya, serta menjabat sebagai redaktur majalah Pandu Jakarta. Keterlibatannya dalam kepanduan memperkuat semangat perjuangan dan keinginannya untuk membela bangsa.

Pelatihan Militer di Era Pendudukan Jepang

Masuknya tentara Jepang ke Indonesia pada masa penjajahan menjadi titik balik bagi karier militer Moeffreni. Sebagai utusan dari kepanduan, ia mengikuti pendidikan semi-militer di Pusat Pelatihan Pemuda (Seinen Dojo), Batu Ceper, Tangerang pada 1943, serta melanjutkan pendidikan perwira di Boei Gyugun Kanbu Renseitai, Bogor.

Keterampilan militernya semakin terasah, dan ia akhirnya dipercaya oleh Kasman Singodimedjo, selaku Daidanco (Komandan Batalyon) Jakarta, menduduki jabatan Kepala Bagian Pendidikan PETA untuk Daidan 1 Jakarta.

Setelah proklamasi kemerdekaan, pada 23 Agustus 1945, pemerintah membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR), yang diikuti pembentukan BKR-BKR di tiap daerah untuk menjaga pertahanan dan keamanan negara.

Sebagai seorang Betawi asli, Moeffreni ditunjuk menjadi Komandan BKR Jakarta Raya pada 1 September 1945. Salah satu momen bersejarah yang melibatkan Moeffreni adalah rapat raksasa di Lapangan Ikada (Ikatan Atletik Djakarta) pada 19 September 1945.

Tujuannya ialah menghendaki agar para pemimpin RI dapat berbicara di hadapan rakyat Indonesia. Meskipun awalnya informasi pelaksanaan rapat besar sebisa mungkin disebar tanpa diketahui pihak Jepang, namun kabar itu tetap bocor.

Ketika massa aksi yang terdiri dari para pemuda Jakarta berhadap-hadapan dengan pasukan Jepang yang telah menyiapkan posisi di lapangan, Moeffreni tampil sebagai koordinator yang berhasil menjaga keamanan dan mengoordinasi jalannya rapat tersebut. Berkat kepemimpinannya, rapat raksasa tersebut berhasil berlangsung tanpa korban.

Pertempuran dan Perjuangan di Front Timur Jakarta

Moeffreni juga terlibat dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Front Timur Jakarta (Jakarta-Karawang-Bekasi), saat pasukan Sekutu dan NICA mulai mengambil alih Jakarta pada September 1945.

Karena serangan yang dilancarkan pasukan sekutu semakin membabi buta, pemerintah Indonesia mengeluarkan instruksi kepada barisan pejuang, yakni pasukan TKR dan laskar, agar meninggalkan Kota Jakarta dan masuk ke pedalaman pada 19 November 1945.

Untuk menjaga garis pertahanan, ia mengkoordinasi pasukan TKR dan laskar dalam perlawanan bersenjata, termasuk dengan menerapkan taktik hit and run yang membuat pasukan NICA kesulitan.

Keberhasilan Moeffreni dalam mempersatukan barisan pejuang menjadi faktor penting dalam mendorong pihak Indonesia dan Belanda menyetujui gencatan senjata pada Oktober 1946 yang kemudian disusul dengan diadakannya Perundingan Linggarjati pada November 1946.

Kehidupan Politik Setelah Pensiun Militer

Pada Juli 1946, Moeffreni dipindahtugaskan ke Resimen XII Cirebon sebagai komandan. Pada saat itu, ia turut terlibat mengamankan jalannya Perundingan Linggarjati. Ketika Agresi Militer I berlangsung pada 21 Juli 1947, Moeffreni yang baru saja bertugas sebagai Direktur Latihan Perwira Divisi Siliwangi di Garut, kemudian ditugaskan oleh A.H. Nasution untuk membantu wilayah pertahanan Cirebon.

Pada saat itu, Moeffreni yang berpangkat mayor ditunjuk sebagai Kepala Staf Territorium Brigade V Cirebon. Dalam menjalankan tugas inilah perjuangan Moeffreni di medan pertempuran pada akhirnya harus terhenti setelah dirinya tertangkap pihak Belanda saat sedang melakukan perjalanan dari Tasikmalaya ke Kuningan. Ia lalu ditahan di Pulau Nusakambangan selama kurang lebih tiga tahun.

Setelah penyerahan kedaulatan, Moeffreni dibebaskan dan kembali aktif di dinas kemiliteran, yakni di Resimen Bogor. Ia juga sempat mengikuti pendidikan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat di Bandung (1951-1952).

Pada pertengahan dekade 1950, Moeffreni mulai banyak terlibat di gelanggang politik. Kondisi kesehatan menjadi pertimbangan utamanya.

Setelah mengabdi di militer selama bertahun-tahun, Moeffreni memutuskan untuk pensiun dini pada 1958 dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel. Kondisi kesehatan menjadi salah satu pertimbangan dalam keputusan tersebut.

Di bidang politik, Moeffreni terlibat aktif dalam pemilu 1955, terpilih sebagai anggota parlemen mewakili Jawa Barat dari Ikatan Pendoekoeng Kemerdekaan Indonesia (IPKI).

Selain itu, ia juga mengisi berbagai jabatan penting, seperti anggota DPRD-Gotong Royong DKI Jakarta (1961-1966), Ketua Komisi Cikoang DPRD-Gotong Royong DKI Jakarta (1966-1971), Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta (1971-1977) dan anggota MPR (1977-1982). Karier politiknya menunjukkan dedikasinya pada kemajuan Indonesia setelah masa kemerdekaan.

Akhir Hayat

Moeffreni menikah dengan Elly Koeminingsih pada usia 26 tahun dan dikaruniai tujuh anak. Ia wafat pada 27 Juni 1996 di usia 75 tahun dan dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan.

Perjalanan hidupnya, yang dimulai dari pendidikan yang ketat hingga kiprahnya dalam dunia militer dan politik, meninggalkan warisan yang mendalam bagi bangsa Indonesia.

Sebagai pejuang, Moeffreni tidak hanya berperan penting dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan, tetapi juga menjadi simbol keteguhan dan keberanian dalam menghadapi tantangan, baik di medan perang maupun di dunia politik. [UN]