Setiap tahun, menjelang Hari Raya Idulfitri, jutaan perantau di Indonesia berbondong-bondong kembali ke kampung halaman dalam sebuah tradisi yang telah berlangsung selama berabad-abad: mudik. Selain Hari Raya Idul Fitri, mudik juga biasanya terjadi pada musim libur lainnya seperti libur Nataru.
Bukan sekadar perjalanan, mudik merupakan simbol ikatan emosional yang kuat antara seseorang dengan tanah kelahirannya, serta menjadi momen istimewa untuk berkumpul bersama keluarga. Meskipun perjalanan mudik sering kali diwarnai dengan berbagai tantangan, semangat untuk pulang tetap membara. Lantas, bagaimana sejarah panjang mudik berkembang hingga menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Idulfitri? Mari kita telusuri lebih dalam.
Pengertian dan Asal Usul Mudik
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mudik berarti pulang ke kampung halaman. Biasanya, tradisi ini identik dengan perjalanan kembali ke desa asal untuk merayakan Idulfitri bersama keluarga besar.
Istilah mudik sendiri diyakini berasal dari bahasa Jawa, yaitu “mulih dilik” yang berarti “pulang sebentar”. Namun, ada juga pendapat yang menghubungkan istilah ini dengan bahasa Betawi, di mana kata “udik” berarti kampung atau desa. Dengan demikian, mudik dapat diartikan sebagai perjalanan menuju kampung halaman.
Sejarah Panjang Tradisi Mudik
Tradisi mudik ternyata sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit. Pada masa itu, para petani yang merantau untuk mencari nafkah akan kembali ke kampung halaman untuk berkumpul bersama keluarga serta membersihkan makam leluhur sebagai bentuk penghormatan dan doa keselamatan dalam mencari rezeki. Menariknya, pada saat itu, mudik tidak berkaitan dengan perayaan Idulfitri.
Sejak tahun 1970-an, mudik mulai dikaitkan dengan Hari Raya Idulfitri. Banyaknya perantau yang bekerja di kota besar, khususnya Jakarta, menjadikan momentum Lebaran sebagai waktu yang tepat untuk pulang ke kampung halaman. Cuti panjang yang diberikan menjelang Lebaran dimanfaatkan tidak hanya untuk berkumpul bersama keluarga, tetapi juga untuk berlibur.
Pada masa kolonial Belanda, urbanisasi menyebabkan banyak penduduk desa berpindah ke kota untuk mencari pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik. Perpindahan ini menciptakan kesenjangan sosial dan ekonomi antara desa dan kota. Untuk mengurangi kesenjangan ini, pemerintah Hindia Belanda menerapkan kebijakan cuti Lebaran bagi para pegawai negeri, sehingga mereka dapat kembali ke desa dan berkumpul dengan keluarga.
Seiring waktu, kebiasaan ini tidak hanya dilakukan oleh pegawai negeri, tetapi juga oleh masyarakat umum. Setelah Indonesia merdeka, tradisi mudik semakin berkembang dan menjadi bagian dari budaya nasional.
Mudik bukan sekadar perjalanan pulang, tetapi juga bukti bahwa kampung halaman memiliki tempat istimewa di hati para perantau. Meskipun kehidupan dan pekerjaan mengharuskan seseorang tinggal jauh dari tempat asal, momen mudik memberikan kehangatan dan kebahagiaan tersendiri. Kebersamaan dengan keluarga dan nostalgia akan kampung halaman menjadi alasan utama mengapa mudik tetap menjadi tradisi yang terus bertahan hingga saat ini.
Dengan segala tantangan yang menyertai, seperti kemacetan dan kepadatan transportasi, semangat mudik tetap tidak pudar. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya nilai kebersamaan dan kekeluargaan dalam budaya Indonesia, yang terus dijaga dan diwariskan dari generasi ke generasi. [UN]