Jejak Hamzah Fansuri, Ulama dari Barus yang Menyatukan Tasawuf dan Puisi

Lukisan wajah Hamzah Fansuri. (Istimewa)

Nama Hamzah Fansuri mungkin tidak sepopuler tokoh-tokoh sufi lain di dunia Islam, namun di kawasan Nusantara, ia merupakan salah satu figur penting yang meletakkan fondasi awal bagi perkembangan sastra sufistik berbahasa Melayu.

Lahir dari lingkungan kosmopolitan di pesisir barat Sumatera, Hamzah hadir bukan hanya sebagai penyebar ajaran tasawuf, tetapi juga sebagai pelopor sastra yang menyatukan unsur keagamaan dan estetika bahasa.

Kiprahnya sebagai ulama, penyair, sekaligus pemikir membuat jejak intelektualnya tetap relevan hingga kini, meski warisannya sempat dihapus oleh kekuasaan.

Ia dikenang sebagai tokoh penting dalam dunia tasawuf, sekaligus penyair pertama yang menulis dalam bahasa Melayu dengan pemikiran-pemikiran panteistik yang mendalam.

Jejak Kehidupan di Barus dan Aceh

Hamzah Fansuri diperkirakan berasal dari Barus, sebuah wilayah pesisir di Sumatera Utara yang pada masa itu dikenal sebagai pelabuhan internasional dan pusat penyebaran Islam awal. Nama “Fansuri” merujuk pada “Fansur”, nama kuno dari Barus.

Sebagian besar masa hidupnya dihabiskan di wilayah Kesultanan Aceh Darussalam, sebuah kerajaan Islam yang sedang berada di puncak kejayaan pada abad ke-16. Kota Aceh menjadi salah satu tempat ia bermukim dan menyebarkan ajaran Islam melalui jalur tasawuf.

Hamzah dikenal sebagai pengikut ajaran Wahdatul Wujud, suatu paham dalam tasawuf yang menekankan kesatuan antara Tuhan dan ciptaan. Pandangan ini memiliki akar filosofis dari pemikiran sufi besar asal Andalusia, Ibn Arabi, dan saat itu tengah berkembang di kawasan Persia dan India.

Hamzah Fansuri menjadi tokoh pertama dalam dunia Melayu yang menulis tentang panteisme, sebuah keyakinan bahwa Tuhan hadir dalam segala sesuatu. Dalam puisi dan prosa yang ia tulis, pandangan metafisis ini sering dimunculkan melalui gaya bahasa simbolik dan spiritual yang khas.

Pemikiran Hamzah menyebar luas, di antaranya melalui sosok murid dan pengikutnya, Syamsuddin al-Sumatrani, yang juga menjadi ulama berpengaruh di Aceh. Namun, tidak semua ulama sejalan dengan ajaran Hamzah.

Tuduhan Sesat

Sekitar awal abad ke-17, Nuruddin ar-Raniri, seorang ulama asal Gujarat yang menjadi penasihat keagamaan di istana Aceh, menilai ajaran Wahdatul Wujud sebagai menyimpang dari akidah Islam. Ia secara terbuka mengkritik ajaran-ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani, menyebutnya sesat.

Dalam perjalanannya ke Aceh, ar-Raniri mendorong penghapusan seluruh karya tulis Hamzah Fansuri. Naskah-naskahnya dibakar, dan namanya sempat dikaburkan dari catatan sejarah resmi Kesultanan Aceh.

Meski begitu, sebagian karya tulisnya tetap bertahan dan menjadi bukti kontribusi besar Hamzah dalam dunia sastra dan pemikiran Islam Nusantara.

Hamzah Fansuri diperkirakan wafat pada tahun 1016 atau 1017 Hijriah.

Warisan Karya Puisi dan Prosa

Meski banyak karyanya musnah, sejumlah syair dan tulisan Hamzah Fansuri berhasil diselamatkan dan menjadi peninggalan penting sastra Melayu klasik. Di antara karya-karya puisinya yang terkenal adalah:

Syair Burung Unggas

Syair Dagang

Syair Perahu

Syair Si Burung Pipit

Syair Si Burung Pungguk

Syair Sidang Fakir

Sedangkan karya prosanya meliputi:

Asrar al-Arifin

Sharab al-Asyikin

Kitab al-Muntahi atau Zinat al-Muwahidin

Karya-karya tersebut tidak hanya menampilkan kekayaan bahasa dan metafora, tetapi juga menawarkan jendela pemahaman terhadap spiritualitas Islam yang kental dalam tradisi lokal.

Hamzah Fansuri adalah satu dari sedikit tokoh yang mengawinkan kesadaran estetika sastra dengan kekayaan spiritualitas Islam. Melalui karya-karyanya, ia meletakkan dasar bagi pertumbuhan sastra sufi Melayu yang akan menginspirasi generasi-generasi berikutnya.

Meskipun sempat dilabeli sesat dan dihapus dari sejarah resmi, jejak pemikirannya kini justru diakui sebagai bagian dari khazanah keislaman Nusantara yang kaya dan kompleks. [UN]