Indonesia adalah negeri yang dibangun atas fondasi keberagaman. Dari Sabang hingga Merauke, perpaduan budaya, etnis, dan agama telah melahirkan tokoh-tokoh besar yang memainkan peran penting dalam perjalanan bangsa ini. Salah satu di antaranya adalah Hamid Algadri, seorang politisi, penulis, dan figur revolusioner yang tak hanya menjembatani berbagai latar budaya, tetapi juga mengubah wajah perjuangan politik Indonesia.
Dalam perjalanan hidupnya, Hamid bukan sekadar saksi sejarah, melainkan aktor yang aktif terlibat dalam pergulatan identitas, nasionalisme, dan upaya memperjuangkan kemerdekaan. Latar belakang keluarganya yang unik memberikan perspektif yang kaya akan keberagaman, membentuk visi dan dedikasi yang ia bawa sepanjang kariernya.
Melalui artikel ini, mari kita telusuri lebih dalam kiprah Hamid Algadri, seorang tokoh silang budaya yang menginspirasi generasi penerus untuk terus berjuang demi kemajuan bangsa.
Pendidikan dan Tekad untuk Mengubah Citra
Hamid Algadri adalah seorang tokoh penting dalam sejarah Indonesia, dikenal sebagai politisi, penulis, dan figur yang menjembatani beragam budaya. Lahir di Pasuruan pada tanggal 10 Juli 1912, Hamid berasal dari keluarga dengan warisan budaya yang kompleks.
Kakek dan ayahnya adalah kepala bangsa Arab di Pasuruan, sementara dari pihak ibu, garis keturunannya terhubung dengan kepala bangsa India di Surabaya. Di luar itu, nenek dari pihak ayah adalah perempuan Jawa, sedangkan nenek dari pihak ibu adalah perempuan Melayu Kalimantan. Latar belakang ini membuat Hamid mewakili perpaduan berbagai budaya yang khas di Indonesia.
Hamid menonjol bukan hanya karena latar belakang keluarganya, tetapi juga karena pendidikannya. Di tengah-tengah komunitas Arab yang menyekolahkan anak-anak mereka di madrasah, ayah dari Hamid Algadri malah sebaliknya. Bahkan kakeknya bersikeras agar cucunya bisa menimba ilmu di sekolah Belanda meskipun sempat ditolak oleh pihak Eerste Europesche Lagere School (ELS).
Setelah 8 tahun mengenyam pendidikan di ELS, Hamid melanjutkan sekolah di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) Praban, Surabaya. Setelah tiga tahun di MULO, perjalanan pendidikan Hamid berlanjut ke Yogyakarta di AMS (Algemene Middelbare School), sekolah menengah khusus untuk bahasa Barat. Lulus dari AMS, Hamid melanjutkan ke Batavia sebagai mahasiswa RHS (Rechts Hoogeschool) atau Pendidikan Tinggi Hukum. Setelah lulus, ia memperoleh gelar Meester in de Rechten atau MR.
Walaupun mengenyam pendidikan umum, Hamid berada di dalam keluarga yang memegang erat ilmu agama. Saat masih sekolah, orang tua Hamid bahkan mendatangkan guru agama untuk mengisi kekosongan ilmu agama di sekolah Belanda. Pendidikan agama ini ia jalani sepulang sekolah setiap harinya.
Selama pendidikannya, Hamid mengalami diskriminasi sebagai keturunan Arab, yang mendorongnya untuk mengubah stereotip negatif terhadap komunitasnya.
Peran di Persatuan Arab Indonesia (PAI)
Pada tahun 1934, Hamid bergabung dengan Persatuan Arab Indonesia (PAI) yang didirikan oleh A.R. Baswedan. Melansir beberapa sumber, organisasi ini mengusung gagasan bahwa Indonesia adalah tanah air bagi keturunan Arab. Hamid aktif di PAI sebagai redaksi majalah Insaf dan anggota Pengurus Besar.
Pada Kongres PAI kelima di Batavia tahun 1937, Hamid mengusulkan perubahan nama organisasi menjadi Partai Arab Indonesia, menegaskan bahwa PAI kini menjadi partai politik. Melalui PAI, Hamid turut serta dalam Gabungan Politik Indonesia (GAPI) yang memperjuangkan Indonesia berparlemen.
Di masa pendudukan Jepang, Hamid menolak bekerja sama dengan penguasa militer, termasuk tawaran menjadi penasihat Kantor Urusan Arab. Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Hamid menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan Badan Pekerja KNIP. Ia juga berperan dalam perundingan penting seperti Linggarjati, Renville, dan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag sebagai penasihat delegasi Republik Indonesia.
Hamid melanjutkan karier politiknya dengan bergabung ke Partai Sosialis Indonesia (PSI), yang menurutnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Pada Pemilu 1955, ia terpilih sebagai anggota parlemen mewakili PSI. Karya tulisnya mencerminkan komitmen intelektualnya, termasuk buku C. Snouck Hurgronje, Politik Belanda Terhadap Islam Dan Keturunan Arab (1984) yang dicetak ulang beberapa kali. Hamid juga mendokumentasikan pengalamannya selama perjuangan revolusi dalam buku Suka Duka Masa Revolusi (1991).
Hamid menikah dengan Zena Alatas, putri H.M.A. Husin Alatas, ketua terakhir PAI. Pasangan ini dikaruniai empat anak, yaitu Atika Algadri, Maher Algadri, Adila Suwarno Soepeno, dan Sadik Algadri. Hamid wafat di Jakarta pada tanggal 25 Januari 1998 pada usia 85 tahun, meninggalkan warisan intelektual dan politik yang berharga. Pada tahun 1978, ia dianugerahi gelar Perintis Kemerdekaan sebagai pengakuan atas kontribusinya dalam perjuangan Indonesia.
Salah satu cucunya, Nadiem Makarim, yang pada tahun 2019-2024 menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi di Kabinet Indonesia Maju.
Hamid Algadri adalah contoh nyata bagaimana individu dengan latar belakang silang budaya dapat memainkan peran penting dalam membangun bangsa. Pemikiran dan tindakannya terus menjadi inspirasi bagi generasi penerus Indonesia. [UN]