Jejak Cerita Para Pelestari Batik Lasem

Perajin Batik Lasem (foto" beritatagar.id)

Berdasarkan catatan sejarah Batik Lasem berkaitan dengan kedatangan Laksamana Cheng Ho di Jawa pada 1413. Dalam catatan Babad Lasem (1479 M) ada menyebutkan, anak buah kapal Dhang Puhawang Tzeng Ho dari Negara Tiong Hwa, bernama Bi Nang Un dan istrinya Na Li Ni yang memutuskan untuk menetap di kawasan Bonang dan mulai melakukan kegiatan membatik.

Dari sinilah tampaknya dimulai budaya membatik di Lasem yang khas karena menggabungkan budaya Tionghoa dengan budaya lokal pesisir dan pengaruh kuat budaya membatik dari Kraton Solo dan Yogyakarta.

Para Pelestari

Njo Tjoe Hian adalah Sigit Witjaksono. Ia termasuk tokoh batik tulis dari Lasem, di Rembang. Masyarakat menyebutnya sang maestro karena merupakan tokoh paling tua di antara perajin batik yang masih ada.

Ia menciptakan warna merah yang khas batik Lasem, ciri khusus lain yang ia buat adalah motif latohan, kricak atau batu pecah yang mengingatkan masa tanam paksa, dan juga memadukan kaligrafi Tiongkok.

Konon Pewarnaan yang dibuat Njo Tjoe Hian termasuk istimewa. Karena merahnya seperti warna darah ayam. Menurut ia, tak ada daerah lain yang bisa membuat warna tersebut selain Lasem. Sebab, campurannya khusus dan hanya diwariskan didalam keluarga secara turun temurun.

Sekarang, produksi batik tulis Sekar Kencana miliknya diteruskan oleh sang istri, Marpat Rochani, beserta putrinya, Rini, dan cucunya, Javier Hartono. Keluarga Sigit bisa dibilang pluralis, karena ia tak pernah memaksa istri dan anak-anak menganut suatu keyakinan. ”Kakek Konghucu, lalu menikahi perempuan Jawa beragama Islam. Anaknya ada yang beragama Katolik,” ujar Javier, cucunya yang ternyata alumnus Gontor.

====

Lasem juga dikenal dengan batik tokwinya. Setiap jelang pergantian Tahun Baru Imlek, masyarakat Tionghoa pasti akan membersihkan altar pemujaan. Termasuk kain penutup altar atau biasa disebut tokwi.

Rudi Siswanto atau Tan Tiong Swie, generasi keenam penerus batik Kidang Mas, menceritakan, dulu leluhur pertama mereka membawa tokwi berbahan sulam dari Tiongkok ke Indonesia. Karena disini tidak banyak orang yang ahli menyulam, maka generasi kedua, Lie Djee Sioe, membuat kain penutup altar dalam nuansa lokal, yaitu batik. Tidak untuk dijual. Tapi dibagikan ke sanak saudara.

Ayah Rudi sebagai generasi kelima mulai memproduksi masal tokwi bermotif batik. Hal itu disebabkan mayoritas warga Lasem merupakan keturunan Tionghoa sehingga mereka membutuhkan tokwi untuk altar pemujaan di rumah masing-masing. Saat ini sudah sangat jarang ada permintaan akan tokwi. Lagipula sudah tidak banyak juga perajin batik yang masih membuat tokwi. Namun, Rudi masih membuatnya. Terakhir hanya sejumlah tiga lembar. Satu dipakai sendiri, satu lagi untuk penelitian akademik, dan sisanya disimpan.

===

Kisah dari pendiri batik Lasem Maranatha, Keluarga Ong Yok Thay. Disini masih adanya Renny, yang meneruskan usaha leluhurnya yang dirintis sejak 1800-an. Ia sebenarnya baru mulai membatik pada 2010. Tapi ulet dalam memproduksi batik dengan cara tradisional yang membutuhkan waktu lama, berkisar 3–4 bulan setiap lembarnya.

Keluarga pembatik ini masih menggunakan cara tradisional pada pemberlakuan kain, warna, dan motif. Renny menggunakan cara pemberlakuan kain yang disebut mordan. Adapun, teknik mordan atau mordanting merupakan proses pencampuran air dengan beberapa zat untuk mencerahkan kain dan memudahkan warna terikat pada kain. Proses mordanting dilakukan selama 30 hari sebelum kain dibatik. Kain yang melalui tahap mordanting dapat dilihat dari warnanya yang semakin cerah beberapa tahun kemudian. Menurut Renny teknik mordan berguna untuk merapatkan sari-sari kain.

===

Sebagian besar perajin batik di Lasem adalah keturunan Tionghoa. Dari 120 orang perajin, kini tinggal 11 yang masih tekun dalam melestarikan dan meneruskan produksi batik.

Meneruskan dan melestarikan batik warisan leluhur tidaklah mudah. Namun, hal itu berhasil dilakukan di Lasem. Di tangan penerus yang lebih muda, batik-batik legendaris tersebut menemukan caranya sendiri untuk tetap ada. Dengan tetap mempertahankan proses pembuatan yang konvensional.

Batik Lasem

Kekhasan Batik Lasem adalah: Tone merah yang digunakan untuk warna batik sama dengan warna darah ayam; Ada sentuhan budaya Tionghoa dalam motif-motif batik Lasem. Misalnya, motif naga dan burung phoenix.

Batik Lasem juga dikenal dengan sebutan Batik Tiga Negeri, karena proses pewarnaan melalui tiga kali proses. Kekhasan lain Batik Lasem terletak pada coraknya yang merupakan gabungan beberapa budaya yaitu budaya Tionghoa, budaya lokal masyarakat pesisir utara Jawa Tengah serta budaya Keraton Solo dan Yogyakarta.

Batik Tiga Negeri Lasem (foto: mainmain.id)

Pada dasarnya Batik Lasem hanya mempunyai dua motif utama yaitu motif Tionghoa dan non Tionghoa. Motif Tionghoa seperti motif Burung Hong (Lok Can), Naga, Kilin, Ayam Hutan dan sebagainya. Sedang non Tionghoa, bermotif Sekar Jagad, Kendoro Kendiri, Grinsing, Kricak/ Watu Pecah, Pasiran dan lainnya.

===

Sejatinya Batik Lasem adalah hasil proses akulturasi masyarakat dari beberapa golongan dan, dengan tetap mempertahankan proses pembuatan yang konvensional maka nilai-nilai positif dari akulturasi budayanya pun tetap terjaga.

‘Corong Candu’ di pesisir Jawa ini kian tampak suram dan kurang bergairah dengan berjalannya waktu, apalagi sejak berjangkitnya pagebluk. Pecinan lawas di sebelah Jalan Raya Pos Daendles tersebut semakin tua. Namun dibalik kemuraman Lasem, lanskapnya masih tetap memiliki semburat pesona. Arsitektur Tiongkok-Kolonialnya masih terus menyimpan cerita yang tak akan lekang karena waktu. [NoE]

Baca juga: