Jejak Amerika Serikat di Bisnis Lion Air

Obama menyaksikan kerja sama antara Lion Air yang diwakili Rusdi Kirana dengan pejabat dari Boeing [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Pada suatu Sabtu siang November 2018. Suasana haru menyelimuti Dermaga JICT 2 Pelabuhan Tanjung Priok. Hari itu, Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (BNPP) berniat mengumumkan tentang kondisi terakhir pencarian jatuhnya pesawat udara Lion Air JT-610, Boeing jenis 737-MAX-800.

Pesawat yang lepas landas sekitar 13 menit dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta dinyatakan hilang kontak dan berjarak 3 jam, pesawat dinyatakan jatuh di Perairan Karawang, Jawa Barat. BNPP setelah menerima informasi tersebut segera bergerak ke lokasi kejadian. Setelah dipastikan bahwa pesawat jatuh di sana, BNPP memperkirakan penumpang pesawat berjumlah 189 orang itu dinyatakan tidak ada yang selamat.

Tangis keluarga penumpang pun pecah. Dan setelah dua pekan dalam pencarian dan penyelamatan, tidak semua jasad korban bisa ditemukan. Itulah yang akan diumumkan Kepala BNPP, M. Syaugi kepada keluarga korban pada Sabtu itu. Alasan penghentian pencarian, menurut Syaugi, lantaran tubuh korban yang ditemukan semakin sedikit.

Ketika hendak mengumumkan, Syaugi memulainya dengan “Bapak ibu setiap hari melihat saya di lapangan, di laut.” Kalimatnya terhentinya. Matanya berkaca-kaca. Wajah memerah karena menahan tangis. Lalu, “Maaf,” kata Syaugi dengan sedikit terisak. Ia pun melanjutkan, “Saya untuk melakukan pencarian ini.” Ia terhenti lagi karena menahan tangis.

“Saya tidak menyerah,” kata Syaugi singkat dan tangisnya pun pecah seperti dikutip tribunnews.com pada 6 November lalu.

Sehari setelah pernyataan Syaugi, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mengumumkan penyelidikan awalnya atas peristiwa itu. Analisis terhadap flight data recorder (FDR) memperlihatkan adanya kerusakan penunjuk kecepatan (air speed indicator) dalam empat penerbangan terakhir Lion Air JT-610. Penerbangan dari Denpasar ke Jakarta, misalnya, penyelidikan KNKT menemukan adanya perbedaan angle of attack (AOA) atau indikator penunjuk sikap pesawat terhadap arah aliran udara.

Dikatakan Ketua KNKT, Soerjanto Tjahjono, penyelidikan pada penerbangan Denpasar ke Jakarta itu juga menemukan perbedaan sensor AOA pada pilot dan kopilot. Karena itu, penunjuk kecepatan di pesawat menjadi tidak akurat. Selanjutnya, sensor AOA yang telah dilepas itu sudah dibawa ke kantor KNKT untuk dilakukan pemeriksaan di pabrik produsen komponen tersebut di Chicago, Amerika Serikat (AS). Akan tetapi, itu hanya baru satu masalah sehingga KNKT membutuhkan kotak hitam yang merekam percakapan di kokpit untuk mengetahui apa saja yang didiskusikan antara pilot dan kopilot.

Kendati temuan awal KNKT telah menunjukkan adanya kerusakan pada pesawat Boeing 737-MAX-800 itu, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan, penyelidikan penyebab jatuhnya pesawat udara Lion Air itu masih terus berlanjut. Meski FDR telah ditemukan, hasil diskusinya dengan KNKT memastikan untuk menemukan kotak hitam. Itu sebabnya, kata Budi Karya, pihaknya belum bisa menyimpulkan penyebab jatunya pesawat Lion Air di Perairan Karawang itu.

“Laporan belum final. Audit masih berlangsung. Pemerintah terutama Kementerian Perhubungan belum dapat menyimpulkan tindakan apa yang akan diberikan kepada manajemen Lion Air setelah kejadian jatuhnya pesawat Lion Air di Perairan Karawang itu,” kata Budi Karya.

Setelah peristiwa itu, berbagai pemberitaan mengenai Lion Air ramai dibahas di media massa kita. Dari mulai sejarah, peristiwa kecelakaan hingga siapa sesungguhnya di balik Lion Air. Juga pertanyaan lainnya: mengapa maskapai ini tidak pernah dihukum meski acap melakukan kesalahan?

Media massa daring Tirto, misalnya, memuat tulisan berjudul Konglomerat Kusnan & Rusdi Kirana: Bisnis dan Politik Lion Air yang menjelaskan tentang sepak terjang pemilik Lion Air, Kirana bersaudara dalam membesarkan perusahaan maskapainya. Rusdi Kirana ketika itu terpaksa melakukan lobi kekuasaan agar bisa membeli ratusan pesawat jenis Boeing 737. Syarat Lion Air bisa mendapatkan jaminan utang dari Bank Export-Import untuk membeli Boeing 737 itu apabila pemerintah Indonesia mengesahkan sepenuhnya Konvensi Cape Town (CTC).

Ratifikasi Konvensi disebut sudah dilakukan pemerintah Indonesia sejak 20 Februari 2007 melalui Peraturan Presiden tentang Konvensi Tentang Kepentingan Internasional Dalam Peralatan Bergerak serta Protokol pada Konvensi Tentang Kepentingan Internasional Dalam Peralatan Bergerak Mengenai Masalah-Masalah Khusus pada Peralatan Pesawat Udara Tahun 2007.

Pendeknya, CTC lalu masuk dalam revisi UU Penerbangan Tahun 2009. Aturan ini disebut menjadi jalan bagi sejumlah maskapai membeli atau menyewa pesawat untuk menambah kebutuhan bisnis penerbangan komersial di Indonesia. Dan semua ini terjadi pada 2008.

Jejak AS
Kita tahu perekonomian AS sejak semester II 2007, krisis finansial melanda negeri induk imperialis itu. Sejak itu, perusahaan-perusahaan keuangan raksasa di AS rontok dihantam gelembung kredit properti atau disebut subprime mortagage. Penyaluran kredit perumahan meningkat pesat dari US$ 200 miliar pada 2002 menjadi US$ 500 miliar pada 2005. Krisis akibat gelembung kredit properti itu lalu merembet ke berbagai instrumen keuangan lainnya.

Karena itu, tidak ada keraguan untuk menyimpulkan perekonomian AS telah memasuki resesi waktu itu. Pada kuartal (tiga bulan) pertama 2008, perekonomian AS hampir mengalami kontraksi atau pertumbuhan negatif dan berlanjut ke kuartal kedua. Proyeksi pertumbuhan ekonomi AS pada 2008 mengalami koreksi paling tajam. Setahun sebelumnya, proyeksi pertumbuhan AS mencapai 2,8 persen. Akan tetapi, pada April 2008, proyeksi itu dipangkas menjadi hanya 0,5 persen. Selanjutnya, krisis keuangan itu berlanjut hingga hari ini.

Karena krisis itu, The Washington Post pada 2012 melaporkan Presiden Barrack Obama ketika itu ingin membangun ekonomi AS menjadi lebih kuat. Membei insentif keringanan pajak kepada industri dengan tujuan memacu manufaktur dalam negeri yang berorientasi ekspor. Boeing merupakan salah satu industri raksasa yang selama ini mendapat manfaat dari Bank Export-Import. Dari 2000 hingga 2010, bank ini telah memberi jaminan utang lebih dari US$ 52 miliar kepada berbagai perusahaan maskapai untuk membeli produk Boeing.

Masih menurut Washington Post, sekitar 60 persen dari jaminan utang yang diberikan Bank Export-Import dalam beberapa tahun terakhir, telah memberi keuntungan kepada Boeing. Sepertiga produk Boeing telah dikirimkan ke berbagai perusahaan maskapai di berbagai negara karena dukungan Bank Export-Import. Pejabat Boeing mencatat kegiatan Bank Export-Impor itu telah mendukung 80 ribu pekerja di perusahaan penerbangan.

Keuntungan Boeing tidak hanya berasal dari jaminan utang Bank Export-Import itu. Berdasarkan kajian The Institute For National and Democratic Studies (Indies) mengutip penelitian David Stucker (pengamat ekonomi politik Universitas Oxford) dan Sanjay Basu (dari Universitas Stanford) pada 2013 menyebutkan, selama periode krisis dan adanya kebijakan pengetatan anggaran telah menyebabkan lebih dari 5 juta rakyat AS kehilangan akses terhadap fasilitas kesehatan, 10 ribu warga Inggris menjadi gelandangan. Pada saat yang sama, penyakit semacam HIV naik drastis, terutama di kalangan rakyat miskin.

Akan tetapi, pengetatan anggaran tidak menghentikan kecenderungan kenaikan anggaran militer baik di Indonesia maupun secara global. Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) mencatat, anggaran militer secara global mencapai US$ 1,7 triliun atau setara dengan sekitar Rp 22.500 triliun pada 2015. Dari jumlah itu, kenaikan terbesar dialami negara-negara di Eropa Timur, Asia dan Timur Tengah.

Amerika Serikat merupakan negara dengan anggaran militer terbesar di dunia pada 2015 yang mencapai US$ 596 miliar. Lalu diikuti Tiongkok sebesar US$ 215 miliar. Jumlah ini menjadikan Tiongkok sebagai negara dengan anggaran militer terbesar di Asia-Pasifik. Sedangkan Indonesia, periode 2006 hingga 2016 mengalami kenaikan belanja militer dan keamanan sebesar 150 persen. Karena itu, Indonesia termasuk 20 besar negara di dunia dalam kenaikan anggaran militer.

Yang diuntungkan dari semua itu adalah perusahaan-perusahaan yang memproduksi senjata seperti Lockheed Martin, BAE, Raytheon, Northrop Grumman dan tentu saja Boeing. Itu sebabnya, tidak perlu heran Amerika, misalnya, mengalami kenaikan ekspor senjata sekitar 27 persen pada periode 2011 hingga 2015. Pelanggan utamanya adalah Uni Emirat Arab dan Arab Saudi.

Dukungan pemerintah AS terhadap industri mereka memang bukan sesuatu yang ganjil. Praktik demikian sudah menjadi umum. Itulah yang dilakukan Obama ketika memperjuangan jaminan utang dari Bank Export-Import kepada Lion Air yang bersepakat dengan Boeing dengan kontrak senilai US$ 22 miliar. Ia bahkan menyerukan agar bank tersebut meningkatkan jaminan utangnya kepada Lion Air menjadi US$ 140 miliar dari kesepakatan awal US$ 100 miliar.

Fakta ini, barangkali menjadi jawaban mengapa Lion Air tidak pernah mendapat sanksi apapun dari pemerintah meski telah mencatatkan 14 kecelakan sepanjang 2000 hingga 2018. Keberadaan Lion Air di Indonesia tampaknya bukan sekadar bisnis, melainkan menjadi “kaki tangan” AS untuk mengurangi krisis di negerinya. Seperti kata pejabat Airbus, di dunia ini hanya ada satu negara adidaya dan tentu saja itu bukan Prancis. Dan itu hanya bisa diwakili AS lewat Obama. [Kristian Ginting]