Jejak Alutsista Rusia di Indonesia

Ilustrasi: Kapal perang penjelajah buatan Rusia, Sverdlov/wikipedia

Koran Sulindo – Nama Indonesia sejatinya telah dikenal sejak lama oleh bangsa Rusia. Dalam buku karangan Aleksander Guber yang ditulis pada 1933, nama “Indonesia” sudah tercantum. Saat itu Indonesia masih dijajah Belanda, dan masih disebut Hindia Belanda. Tapi, para penulis dan rakyat Rusia—saat ini bernama Uni Soviet– memilih menyebut negara ini sesuai dengan sebutan yang digunakan oleh para pejuang Indonesia.

Uni Soviet pula termasuk negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Bahkan, saat republik ini masih berumur muda dan masih mempertahankan kemerdekaannya dibawah tekanan Belanda, yang masih ingin menancapkan kuku-kuku jajahannya di bumi pertiwi melalui aksi militer.

Sejarah juga mencatat Uni Soviet dan negara sekutunya– seperti Ukraina dan Belarus—yang konsisten mengecam keras agresi Belanda terhadap Indonesia di forum PBB. Hal ini dimungkinkan karena, meskipun pada masa itu Belarus dan Ukraina adalah bagian dari Uni Soviet, tapi Uni Soviet memiliki tiga perwakilan di PBB, yaitu Uni Soviet, Ukraina, dan Belarus.

Sekitar Desember 1948, Uni Soviet berupaya membuka hubungan diplomatik dengan pemerintah Republik Indonesia. Bahkan, perwakilan Indonesia dan Uni Soviet pernah menandatangani kesepakatan di Praha, Cekoslawakia. Sayangnya, kesepakatan tersebut dibatalkan karena Indonesia mendapat tekanan kuat dari Belanda.

Baru setahun kemudian,  24 Desember 1949, Uni Soviet menerima informasi resmi mengenai kesepakatan hubungan Belanda dan Indonesia. Saat itu, Menteri Luar Negeri Uni Soviet,  Andrei Vyshinsky, langsung mengirimkan telegram kepada Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Mohammad Hatta yang berbunyi: “Atas nama pemerintah Uni Soviet, saya dengan hormat memberitahukan kepada Anda, sejak pengakuan kedaulatan Republik Indonesia pada 27 Desember 1949 di Den Haag, Belanda, pemerintah Uni Soviet memutuskan mengakui kedaulatan dan kemerdekaan Republik Indonesia dan bersedia membangun hubungan diplomatik dengan Indonesia.”

Balasan telegram resmi dari Pemerintah Indonesia, yang ditulis Wapres Mohammad Hatta, dikirim 3 Februari 1950. Isinya mengonfirmasi bahwa pemerintah Indonesia telah menerima pengakuan kedaulatan dan kemerdekaan dari Uni Soviet dan siap membina hubungan dipolomatik dengan pihak Soviet. Tanggal pengiriman balasan telegram itulah yang menandai bermulanya hubungan diplomatik Indonesia dan Soviet.

Pasca penyerahan kedaulatan dari Belanda, era tahun 1950-an TNI berencana melakukan peremajaan terhadap perangkat militernya. Seperti diketahui, alat utama sistem pertahanan Indonesia saat itu masih merupakan sisa-sisa Perang Dunia ke-II. Pada 1956, Presiden RI Soekarno mengunjungi Uni Soviet untuk pertama kalinya. Sejak itu, hubungan kedua negara terus berkembang. Indonesia dan Soviet memulai kerja sama bilateral di bidang perdagangan.

Awalnya, perbedaan ideologi politik dan sistem ekonomi kedua negara sempat membuat hubungan kedua negara tidak berjalan mulus. Namun, perbedaan tersebut tidak menjadi halangan untuk memperkuat hubungan bilateral mereka. Seperti diketahui ketika itu, ketegangan terasa di seluruh belahan dunia akibat pertentangan ideologi antara Blok Barat dan Timur. Selain itu, revolusi sosialis tengah terjadi di beberapa negara, dan berdampak sangat luas.

Pemerintah Uni Soviet paham bahwa mereka tidak dapat memaksakan kehendak dalam hal ideologi negara atau mengklaim posisi dominan terhadap Indonesia. Baik Indonesia maupun Uni Soviet saling menyadari bahwa kedua negara dapat fokus menjalin kerja sama yang saling menguntungkan, tanpa mempermasalahkan ideologi politik. Pihak Indonesia sendiri menganut faham bebas aktif.

Awal tahun 1960-an, tatkala Bung Karno mengumandangkan Trikora untuk merebut kembali Irian Barat, tuntutan untuk membeli peralatan militer semakin menguat. Petinggi ABRI waktu itu, mengajukan proposal untuk pembelian alutsista ke pihak Amerika Serikat. Namun, pihak Amerika menolak, terlebih lagi diketahui perangkat militer tersebut akan digunakan untuk melawan sesama anggota NATO, yaitu Belanda.

Kemudian pihak petinggi militer Indonesia, mengalihkan matanya ke blok Timur yaitu Uni Soviet. Bak gayung bersambut, pihak Indonesia tidak hanya mendapatkan apa yang dibutuhkan, tetapi dengan dukungan Uni Soviet, Indonesia mampu mengembangkan teknologi dan pengetahuannya di bidang militer.

Negeri Uni Soviet memasok banyak peralatan militer pada Indonesia, mulai dari tank, kapal perang, dan berbagai jenis pesawat tempur.

Dukungan alutsista senilai USD 2,5 miliar itu berupa Kapal Perang tipe Sverdlov, 12 kapal selam kelas Whiskey, 20 pesawat pemburu supersonic MiG-21 Fishbed, maupun 30 unit pesawat MiG-15. Semuanya digunakan Indonesia saat menggelar operasi Trikora merebut Irian Barat dari pendudukan Belanda.

Selain memasok peralatan militer, Uni Soviet juga memberikan pelatihan teknis untuk para tentara Indonesia di akademi militer di Moskow, Saint Petersburg, Sevastopol, dan Vladivostok. Rusia juga mengirim seribu instruktur ke berbagai daerah di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Madiun untuk melatih tentara Indonesia. Rusia sadar bahwa sebagai negara baru, militer Indonesia memiliki pengalaman yang sangat terbatas, terutama terkait pengalaman teknis. Belanda tidak mewariskan budaya yang berkaitan kemampuan teknis pada rakyat Indonesia. Padahal, perlu beberapa generasi agar Indonesia dapat benar-benar menguasai hal tersebut.

Modernisasi Alutsista Matra Laut dan Udara

Sesuai dengan rencana pembelian alutsista baru tersebut dalam rangka merebut kembali Irian, matra yang diperkuat adalah laut dan udara. Kedua matra tersebut bagaikan kejatuhan durian runtuh, dengan datangnya perlengkapan militer yang dibilang tercanggih di masa itu.

Di matra laut, puluhan kapal perang berbagai jenis, kapal selam, tank-tank amphibi pengangkut pasukan, helikopter hingga kapal perang kelas cruiser diterima oleh ALRI. Indonesia juga memiliki 12 kapal selam kelas Whiskey, puluhan kapal tempur kelas Corvette, 9 helikopter terbesar di dunia MI-6, 41 helikopter MI-4, berbagai pesawat pengangkut termasuk pesawat pengangkut berat Antonov An-12B. Total, Indonesia mempunyai 104 unit kapal tempur. Belum lagi ribuan senapan serbu terbaik saat itu dan masih menjadi legendaris sampai saat ini, AK-47. Selain itu, pihak ALRI juga mendapatkan tank-tank amphibi T-76 dan BTR-50.

Jenis kapal perang yang diterima antara lain, Skorry class destroyer sebanyak 7 buah yang dibeli antara tahun 1958-1964. Fregat kelas Riga. Kemudian Kapal cepat kelas Komar didatangkan TNI AL dari Uni Soviet pada periode 1961 – 1965. Jumlah yang dimiliki TNI AL pun cukup siginifikan, yakni mencapai 12 kapal yang masuk dalam jajaran armada KCR (Kapal Cepar Roket/Rudal) sebutan populer pada saat itu. Masing-masing kapal dapat membawa 2 unit rudal, nama-nama kapal kelas Komar TNI AL diambil dari nama senjata dari cerita pewayangan, yakni KRI Kelaplintah (601), KRI Kalmisani (602), KRI Sarpawasesa (603), KRI Sarpamina (604), KRI Pulanggeni (605), KRI Kalanada (606), KRI Hardadedali (607), KRI Sarotama (608), KRI Ratjabala (609), KRI Tristusta (610), KRI Nagapasa (611) dan KRI Gwawidjaja (612). Sebagai kapal cepat berudal, kelas Komar diawaki secara terbatas oleh 10 – 11 personel.

Kapal cepat tersebut memanggul rudal anti kapal perang Styx. Rasanya nyaris terlupakan, jauh-jauh hari sebelum TNI AL mengoperasikan rudal anti kapal modern, macam keluarga Exocet, Harpoon, C-802 dan Yakhont, di masa revolusi awal tahun 60-an, TNI AL juga sudah memiliki rudal anti kapal yang dipasok dari Uni Soviet dan negara-negara pakta Warsawa lainnya. Rudal anti kapal pertama yang dioperasikan TNI AL adalah P-15 Termit, atau dalam kode NATO disebut sebagai Styx (SS-N-2). Sytx didatangkan waktu itu guna keperluan kampanye militer dalam operasi Trikora merebut Irian Jaya.

Sebagai rudal anti kapal yang lahir di era perang dingin, Styx dirancang dengan kemampuan dan daya hancur tinggi, tak ayal rudal tersebut memang punya daya deteren amat tinggi di era tersebut. Indikatornya bisa dilihat dari berat hulu ledaknya yang mencapai 500 kilogram high explosive, sementara bobot rudal secara keseluruhan 2,340 kilogram dengan jangkauan efektif mencapai 40 kilometer, meski dalam teorinya bisa mencapai jarak 80 kilometer.

Kekuatan utama Indonesia di saat Trikora itu adalah salah satu kapal perang terbesar dan tercepat di dunia buatan Soviet dari kelas Sverdlov, dengan 12 meriam raksasa kaliber 6 inchi. Ini adalah KRI Irian, dengan bobot raksasa 16.640 ton dengan awak sebesar 1270 orang termasuk 60 perwira. Sebagai tambahan, pihak Soviet tidak pernah sekalipun memberikan kapal sekuat ini pada bangsa lain manapun, kecuali Indonesia. Sebagai perbandingan, kapal-kapal terbaru Indonesia dari kelas Sigma hanya berbobot 1600 ton.

KRI Irian kelas Cruiser paling berbahaya di dunia dan sebanding kekuatannya dengan kapal-kapal tempur terbaik Amerika, USS Iowa, USS Wisconsin, dan USS Missouri dari kelas Battleship yang lebih besar. Pertahanan anti serangan udaranya pun sangat kuat, karena dilengkapi 4 Buah triple gun Mk5-bis turrets kaliber 20 mm, dan 32 buah Kanon multi fungsi kaliber 3,7 cm. Sabuk lapis bajanya pun tebalnya mencapai 100 mm, yang nyaris tidak mungkin ditembus oleh kapal-kapal perang Belanda terbaik saat itu, termasuk Hr. Ms Evertsen.

Kedatangan kapal ini segera membuat Belanda mengurangi secara drastis keberadaannya di Papua. Bahkan kapal induk satu-satunya milik Belanda, HNLMS Karel Doorman, langsung diperintahkan meninggalkan Papua begitu KRI Irian bergerak meninggalkan Admiralty Yard di Leningrad menuju Surabaya, Indonesia.

AURI juga mendapatkan perlengkapan militer tecanggih di masanya. Bahkan, ada beberapa jenis pesawat tempur yang hanya dimiliki oleh dua negara, yaitu Uni Soviet sebagai pembuat dan Indonesia. Pesawat tempur tersebut adalah MiG-21 Fishbed dan Tu-16 Badger. Memiliki pembom jenis ini,  membuat Indonesia menjadi salah satu dari (hanya) empat bangsa di dunia yang mempunyai pembom strategis, yaitu Amerika, Rusia, dan Inggris.

Pembom ini juga dilengkapi berbagai peralatan elektronik canggih dan rudal khusus anti kapal perang AS-1 Kennel, yang daya ledaknya bisa dengan mudah menenggelamkan kapal-kapal tempur Barat. Sama seperti ALRI, target favorit para pilot pesawat pembom Tu-16 adalah kapal induk Belanda, Karel Doorman.

Angkatan udara Indonesia menjadi salah satu armada udara paling mematikan di dunia, terdiri dari lebih dari 100 pesawat tercanggih saat itu yang merupakan pembelian dari Uni Soviet.

Armada ini terdiri dari: 20 pesawat pemburu supersonic MiG-21 Fishbed; 30 pesawat MiG-15; 49 pesawat tempur high-subsonic MiG-17; 10 pesawat supersonic MiG-19. Selain membeli alutsista dari Uni Soviet, bantuan juga datang dari China. Guna membendung embargo AS ini, pemerintah Beijing sebagai  sikap solider terhadap sesama bangsa Asia, menawarkan 12 pembom Tupolev Tu-2, 24 Lavochkin La-11 dan 12 jet tempur MiG-17 buatan China tipe 56. Pesawat ini terlihat digunakan dalam operasi di Irian Barat.

Sejarah pembelian Tu-16 AURI didasari kepada terbatasnya kemampuan B-25, embargo suku cadang dari Amerika, dan untuk memuaskan ambisi politik. Ide pembelian Tu-16 dikemukakan Salatun saat itu sekretaris Dewan Penerbangan/Sekretaris Gabungan Kepala-kepala Staf kepada Suryadarma tahun 1957, tidak seorangpun tahu. Maklum, TNI tengah sibuk menghadapi PRRI/Permesta.

Namun dari pemberontakan itu pula, membuat semua tersentak. AURI tidak punya pembom strategis! B-25 yang dikerahkan menghadapi AUREV (AU Permesta), malah merepotkan. Hal ini disebabkan daya jelajahnya terbatas, pangkalannya harus digeser, peralatan pendukungnya harus diboyong. Waktu dan tenaga tersita. Sungguh tidak efektif. Celaka lagi, Amerika meng-embargo suku cadangnya. Alhasil, gagasan memiliki Tu-16 semakin terbuka. “Tu-16 masih dalam pengembangan dan belum siap untuk dijual,” ucap Dubes Rusia untuk Indonesia Zhukov kepada Bung Karno (BK), pada suatu siang di penghujung tahun 1950-an. Ini menandakan, pihak Rusia masih bimbang untuk meluluskan permintaan Indonesia membeli Tu-16. Tapi apa daya Rusia, pihak AURI tetap ngotot. Bung Karno terus menguber Zhukov tiap kali bersua.

Mungkin bosan dikuntit terus, Zhukov melaporkan juga keinginan Bung Karno kepada Menlu Rusia Mikoyan. Akhirnya, Tu-16 berhasil didapatkan Indonesia.

“Karena Tu-16 kami berikan kepada Indonesia, maka pesawat ini akan kami berikan juga kepada negara sahabat lain,” ujar Menlu Mikoyan.

Seketika itu juga, AURI mempersiapkan awaknya. Puluhan kadet dikirim ke Chekoslovakia dan Rusia. Mereka dikenal dengan angkatan Cakra I, II, III, Ciptoning I dan Ciptoning II. Selanjutnya, sejak tahun 1961, ke-24 Tu-16 mulai datang bergiliran diterbangkan awak Indonesia maupun Rusia. Pesawat pertama yang mendarat di Kemayoran dikemudikan oleh Komodor Udara (sekarang Marsda TNI Pur Cok Suroso Hurip). Ternyata kedatangan pembom strategis tersebut, mendapat perhatian khusus dari kalangan intelijen Amerika CIA.

Diam-diam, mereka terus mengendus persenjataan yang ditimbun Indonesia, setelah tahu ada sebuah tim (dipimpin Jenderal AH Nasution) yang sukses melobi Pemerintah Uni Soviet. Uni Soviet tak hanya berkenan merilis pesawat pembom strategisnya, tetapi juga mau menjual kapal perang dan peralatan tempur darat karena ada pertimbangan politis di belakang semua ini.

Di masa Orde Baru, kiblat Indonesia berubah ke blok Barat. Perlengkapan perang buatan Uni Soviet di era sebelumnya, terpaksa di besituakan. Peralatan yang canggih, tidak diperbolehkan lagi digunakan oleh Amerika.

Angin segar kembali berhembus tatkala pada tahun 2004, di era Presiden Megawati Soekarnoputri, TNI AU untuk pertamakali setelah sekian tahun membeli pesawat tempur Sukhoi buatan Rusia. Memang pada awalnya, keempat pesawat tempur jenis Su-27 dan Su-30 masih kosongan alias belum diberi senjata, namun hal ini merupakan titik awal Indonesia kembali menjadi negara bebas aktif (dalam pembelian senjata). Tidak terlalu terpaku dengan pembelian senjata dari blok barat yang rawan akan embargo.

Seperti ingin mengulang sejarah, Indonesia mulai membeli kembali berbagai peralatan tempur dari negeri Beruang Merah tersebut. Dimulai dari penambahan pesawat tempur Sukhoi untuk TNI AU, rudal anti kapal perang Yakhont untuk TNI AL, tank amphibi BMP 3F dan panser BTR 80 untuk korps Marinir AL, heli angkut tempur Mi-35 Hind, heli angkut berat Mi-17, dan 55 unit BTR 4 dari Ukraina. Termasuk didalamnya melengkapi persenjataan pesawat tempur Sukhoi dengan rudal-rudal canggih, sekelas rudal udara ke permukaan Kh-31P dan rudal anti kapal Kh-59ME.

Bahkan kabar terakhir, hingga saat ini Indonesia masih melakukan negosiasi pembelian pesawat tempur multi guna yang canggih: Sukhoi 35. Setelah 30 tahun lebih tertidur di comfort zone, Indonesia kembali bangkit dan tidak akan diremehkan lagi oleh negara tetangga. [Nooryanto]