Megawati Soekarnoputri. Foto: Irwansyah

Koran Sulindo – “Bagi kader partai yang berada di legislatif dan eksekutif, kalian tidak hanya dibutuhkan negeri ini untuk mempertahankan kesatuan dan kebangsaan. Perlu disadari, terutama bagi kader yang telah mendapat kepercayan rakyat di eksekutif. Saya tahu kalian, bahkan saya, adalah manusia biasa. Tentu, sebagai manusia biasa, kita tidak luput dari kesalahan. Tetapi, sebagai pemimpin, harus disadari pula bahwa jabatan yang kalian emban adalah jabatan politik. Kesalahan dalam keputusan politik tidak hanya berdampak bagi diri pribadi dan keluarga. Kesalahan tersebut berdampak pada kehidupan seluruh rakyat. Karena itu, hati-hatilah dalam membuat keputusan-keputusan politik, baik itu berupa perkataan, tindakan, produk politik, baik berupa kebijakan politik legislasi maupun kebijakan politik anggaran,” demikian petikan pidato politik Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, pada acara Peringatan 44 Tahun PDI Perjuangan, 10 Januari 2017 lalu, di Jakarta.

Tak dapat disangkal, Megawati memang seorang politisi yang selalu memikirkan nasib bangsa dan negaranya. Ia juga politisi kebangsaan di negara ini yang memiliki rekam jejak yang sangat panjang, banyak melewati jalan terjal dan berliku, termasuk sewaktu akan memimpin partai politik.

Perempuan yang dilahirkan di Yogyakarta pada 23 Januari 1947 ini tidak ujuk-ujuk menjadi ketua partai politik, meski dia adalah putri dari Proklamator Kemerdekaan Indonesia dan Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno. Untuk menjadi pemimpin partai politik, Megawati harus merangkak dan bertarung. Ia juga pernah disisihkan dan kerap dijegal langkah-langkahnya, terutama pada masa rezim pemerintahan Presiden Soeharto.

Namun, misalnya, Megawati tidak dendam kepada Soeharto. Bahkan, seperti terungkap dalam wawancara di acara Kick Andy beberapa tahun silam, anak kedua pasangan Bung Karno dan Ibu Fatmawati ini mengatakan, dirinya menghargai Soeharto sebagai mantan kepala negara dan tidak menyimpan dendam terhadap perlakuan Soeharto terhadap diri dan keluarganya, termasuk kepada keluarga besar Bung Karno.

“Tak ada gunanya membalas dendam, apalagi sampai mencari-cari kesalahan pemimpin di masa lalu. Yang penting adalah bagaimana kesalahan itu tidak terulang dan bangsa ini memiliki masa depan yang membanggakan, sejahtera lahir dan batin,” katanya.

Kendati demikian, Megawati pada masa Orde Baru bukan sosok politisi penurut kepada penguasa, seperti kecenderungan yang terjadi pada masa itu. Ia adalah sosok politisi yang berani berbeda melawan arus besar, berani mengambil risiko untuk memperjuangkan idealisme dan komitmennya dalam berpolitik: mendudukkan kedaulatan rakyat di tempat paling terhormat di negeri ini. Ia adalah politisi cum pejuang demokrasi di negeri ini yang kiprahnya patut dicatat dengan tinta emas.

“Inilah saatnya untuk menyatakan bahwa penistaan terhadap kedaulatan rakyatsudah harus diakhiri. Sebagai gantinya, mari kita sambut datangnya erapemberdayaan rakyat yang lahir dari kesadaran baru seluruh rakyat Indonesia.Untuk itu marilah kita tengok kembali lembaran sejarah perjalanan bangsa kita. Suatu pengalaman pahit yang rakyat Indonesia dapatkan selama 32 tahun Orde Baru berkuasa seharusnya membuat kita semakin meyakini bahwa setiap negara yang dibangun berdasarkan kekuasaan pasti berakhir dengan memberikan penderitaan yang luar biasa bagi rakyatnya,” kata Megawati dalam pidato menyambut kemenangan PDI Perjuangan pada Pemilihan Umum 1999, 29 Juli 1999.

Menurut Megawati lagi dalam kesempatan itu, memanipulasi kedaulatan rakyat merupakan cara paling efektif untuk mempertahankan kekuasaan. “Rakyat dibungkam, sementara hak politik mereka harus diserahkan kepada para elite politik yang seolah paling berhak merekayasa bagaimana seharusnya nasib rakyat ditentukan.Pola dan cara ini ternyata belum sepenuhnya ditinggalkan oleh tangan-tangan kekuasaan rezim yang sekarang. Upaya untuk melahirkan suatu pemerintahan yang dibangun berdasarkan kekuasaan lewat tangan-tangan elite politik agaknya akan terulang kembali bila kita semua tidak cermat dan waspada mengawasi setiap peristiwa demi peristiwa yang terjadi dalam arena politik nasional belakangan ini,” ungkapnya dalam pidato itu juga.

Soal mempertahankan kedaulatan rakyat memang menjadi salah satu agenda utama Megawati sebagai politisi. Itu sebabnya, pada pembukaan Rakernas IV PDIPerjuangan di Semarang, Jawa Tengah, 19 September 2014, hal tersebut diingatkan lagi oleh Megawati dalam pidatonya. Ia meminta semua pihak di negeri ini, khususnya elite partai politik, untuk tidak mencabut kedaulatan rakyat.

“Jangan cabut kedaulatan rakyat. Berbagai upaya untuk mencabut hak hakiki rakyat untuk menentukan hak pilihnya dalam pemilu adalah langkah mundur dan tidak akan mendapat restu dari rakyat,” kata Megawati, yang ketika itu di tengah masyarakat elite politik sedang bergulir isu mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD.

Dalam pandangan Megawati, isu tersebut sangat bertentangan dengan semangat reformasi.”Jangan lupa, undang-undang dasar kita adalah UUD 1945. Jangan ingkari kedaulatan rakyat!” ujarnya.

Pada kesempatan itu, ia tak lupa juga menyerukan kepada kader PDI Perjuangan agar menggunakan kekuasaan untuk kesejahteraan rakyat. “Ujian sebenarnya sekarang ini. Ujian terbesar kita adalah berada dalam pemerintahan,bagaimana kita menggunakan kekuasaan yang ada dengan memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat,” tutur Megawati.

Begitu pula pesannya kepada Presiden Joko Widodo, yang merupakan kader PDI Perjuangan. ”Kepada Mas Jokowi, saya titip agar dapat membuktikan diri mampu memberi kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, mampu mewujudkan Trisakti Bung Karno,” katanya.

Lebih dari setahun kemudian, di hadapan belasan ribu warga Batam, 29 November 2015, soal pentingnya kedaulatan rakyat diserukan lagi oleh Megawati. Ia menegaskan sikapnya untuk memilih memperjuangkan metoda pemilihan langsung pada pemilihan umum. Karena, menurut Megawati, cara memilih langsung itu lebih baik.

Pada masa Megawati menjadi presiden di republik inilah didorong pentingnya pemilihan umum dengan metoda pemilihan langsung. Bahkan, Undang-Undang Pemilihan Umum Langsung disahkan oleh Megawati.

Pemilihan Umum 2004 yang diselenggarakan secara langsung untuk pertama kalinya di negeri ini dan dilakukan pada masa pemerintahan Megawati diakui sebagai pemilihan umum yang sukses. Dunia internasional juga memberikan apresiasi tinggi atas kesuksesan pemilihan umum itu. Bukan saja berlangsung tanpa gejolak yang berarti, damai, tapi juga karena relatif bersih, relatif tanpa kecurangan dari pihak penguasa—fenomena yang kerap terjadi di banyak negara dan mungkin terjadi juga di Indonesia.

Bahkan, dalam Pemilihan Umum 2004, Megawati mengalami kekalahan.Menurut berbagai sumber yang dapat dipercaya, menjelang Pemilihan Presiden 2004 ada beberapa survei yang memprediksi perolehan suara untuk Megawati akan kalah dari calon presiden lain. Lalu, ada beberapa orangyang menawarkan untukmelakukan rekayasa suara. Namun, Megawati dengan sangat keras menolak ide jahat dan nista tersebut.

“Kita ingin berjuang untukdemokrasi dan menciptakan sistem demokrasi. Kalau kita ulangi cara-caraseperti itu lagi untuk mendapatkankemenangan, dengan caramanipulasi, mungkin saya menang. Tetapi, orang tidak akan percayalagi kepada sistem demokrasi ini,” demikian kira-kira yang dikatakan Megawati, menurut seorang sumber.

Masih banyak contoh lain bagaimana Megawati Soekarnoputri ketika menjadi Presiden Republik Indonesia dengan sungguh-sungguh melakukan upaya-upaya menegakkan nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Termasuk di dalamnya adalah sikapnya terhadap amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Bagi Megawati, warga negara memiliki hak melontarkan pendapat dan kemauannya, termasuk hal-hal terkait dengan UUD 1945. Karena itu, ia tidak keberatan jika ada warga negara yang berniat melakukan penyempurnaan UUD 1945, yang bertujuan menguatkan dasar hukum negara Indonesia agar lebih komprehensif dalam menjawab tuntutan zaman. Bagi dia, yang tak boleh diusik sedikit pun adalah Pembukaan UUD 1945. “Tak ada tawar-menawar untuk hal ini,” ungkapnya dalam pidatonya pada 29 Juli 1999 itu. [Purwadi Sadim]