Koran Sulindo – Penjaga sekaligus pengawal nampaknya pas disematkan pada sosok Maulwi Saelan. Mantan Wakil Komandan Tjakrabirawa itu merupakan pengawal setia Bung Karno hingga ujung usianya. Peran penjaga juga telah ditunaikan Maulwi sebagai penjaga gawang kesebelasan Indonesia pada gelaran Olimpiade ke-16 di Melbourne, Australia 1956.
Kendati peristiwa G30S masih menyisakan persoalan, sesungguhnya peran Maulwi telah tunai pada bangsa ini. Ia berjuang pada masa revolusi fisik, mengawal Presiden Soekarno dan mengharumkan nama bangsa sebagai penjaga gawang tim nasional sepak bola Indonesia pada 1956 dan dipenjara karena setia pada Bung Karno. Tepat pada Senin sore 10 Oktober 2016, Maulwi mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Pusat Pertamina Jakarta. Selanjutnya, Maulwi akan dimakamkan di TMP Kalibata pada Selasa 11 Oktober 2016.
Mengenai cita-citanya tampil di Olimpiade berawal dari ketika menonton Jesse Owens, pelari kulit hitam Amerika Serikat yang tampil memukau pada Olimpiade Berlin 1936. Owens menggondol empat medali emas. Sejak itu Maulwi memendam keinginan untuk tampil di Olimpiade, tapi sebagai atlet sepak bola. Cita-cita ini juga karena pengaruh Bung Karno yang kerap menyatakan: “Gantungkanlah cita-citamu setinggi bintang di langit.”
Maulwi dilahirkan sekitar 90 tahun lalu. Atau tepatnya pada 8 Agustus 1926 di Makassar, Sulawesi Selatan. Kebenciannya pada pemerintahan kolonial tertanam sejak masih pelajar di Makassar. Pelajar SMP Nasional, sebuah SMP republik pertama di Makassar. Pemikiran Maulwi tentu dipengaruhi ayahnya, Amin Saelan, seorang tokoh Perguruan Taman Siswa – pendidikan berhaluan yang menentang penjajahan Belanda – di Makassar.
“Saya sendiri pelajar sekolah itu, dan dipilih memimpin kelompok kami untuk melakukan penyerbuan,” kenang Maulwi dalam buku Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66: Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa.
Karena pengaruh ayahnya dan lingkungan, Maulwi bersama teman-temannya mengangkat senjata ketika tahu Belanda akan kembali menduduki Indonesia setelah Perang Dunia II usai. Kendati belum tahu betul tentang politik penjajahan, rasa patriotisme segera tumbuh dan meyakini sejak Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Indonesia tidak lagi dijajah atau diperintah bangsa lain.
Selain Maulwi, keluarganya yang dikenal sebagai pejuang anti-penjajahan Belanda adalah Emmy Saelan. Emmy – kakak kandung Maulwi – dikenal sebagai pejuang tangguh pada era revolusi fisik. Ia dikenal tidak mudah menyerah. Buktinya ia lebih memilih melempar granat ketimbang menyerah kepada Belanda. Untuk menghormati perjuangannya itu, namanya kemudian diabadikan menjadi salah satu jalan di Kota Makassar.
Karier Maulwi dalam militer boleh disebut moncer. Itu karena keikutsertaannya dalam berbagai operasi militer untuk meredam berbagai pemberontakan. Termasuk dalam peristiwa Madiun 1948. Maulwi mengenang operasi itu sangat menguras tenaga tentara Indonesia sehingga kondisi itu sangat menguntungkan Belanda. Resimen Hasanuddin, tempat Maulwi bergabung kala itu ditugaskan untuk mengamankan daerah Yogyakarta. Dan setelahnya menghadapi serangan Belanda ke Yogyakarta dalam perang kemerdekaan.
Pertempuran Malang Selatan menjadi awal kisah perjumpaan Maulwi dengan Bung Karno. Setelah pertempuran itu, Maulwi diangkat menjadi Wakil Komandan Yon VII/CPM Makassar dan pada 1958 berjumpa Bung Karno di Pare-pare, Sulawesi Selatan. Akan tetapi, Bung Karno telah mengenal Maulwi ketika menjadi penjaga gawang PSSI dalam Olimpiade Melbourne.
Hubungan Maulwi dengan Bung Karno semakin dekat ketika ditunjuk sebagai Wakil Komandan Tjakrabirawa pada 1962. Semenjak itu, kata Maulwi, ia sangat dekat dengan Bung Karno bahkan membicarakan mulai dari hal yang penting, genting hingga hal-hal kecil, remeh-temeh dan berkelakar.
Kesetiaan Maulwi pada Bung Karno tak perlu diragukan. Ia bahkan rela membayarnya dengan dipenjara sekitar lima tahun. Maulwi berkeras membantah dan menolak keterlibatan Bung Karno dalam peristiwa G30S. Informasi yang menuduh Bung Karno terlibat dalam peristiwa itu berasal dari pernyataan Kolonel KKO Bambang Widjanarko, ajudan Bung Karno lainnya.
Dalam berkas pemeriksaan, Bambang menuduh Bung Karno sudah tahu akan adanya penculikan terhadap para perwira tinggi. Bahkan rencana penculikan dan pembunuhan para jenderal itu, kata Bambang, sudah direncanakan sejak 4 Agustus 1965 di serambi belakang Istana Merdeka. Maulwi menolak tuduhan tersebut. Pasalnya, pada tanggal itu Bung Karno sedang sakit sehingga tidak mungkin ada pertemuan dengan Letkol Untung. Apalagi Untung yang hanya komandan batalion, kata Maulwi, tidak akan semudah itu bertemu Bung Karno.
Setelah keluar dari penjara, Maulwi sempat mengajak Bambang untuk bertemu. Maksudnya untuk mengklarifikasi tuduhannya pada Bung Karno terutama dalam peristiwa G30S. Bambang tidak pernah mau menemuinya hingga ujung usianya.
Selama hidup, Maulwi aktif dalam yayasan pendidikan yang didirikannya yakni Yayasan Al Azhar Syifa Budi Jakarta. Ketika merayakan ulang tahunnya yang ke-90, Agustus lalu, Maulwi merayakannya bersama para pelajar di sekolah tersebut. Lalu, ia juga sedang menyiapkan dua buku lain yang menceritakan kehidupannya. Selain, “Maulwi Saelan: Penjaga Terakhir Bung Karno”, juga akan ada Maulwi sebagai penjaga gawang kesebelasan Indonesia dan sebagai penjaga pendidikan. (KRG)