Kata Akhir

Denny JA, sang orator keragaman zaman digital, mengajak kita menatap lautan data yang menggulung dari AI —sebuah samudera pengetahuan tanpa tepi. Dalam lautan ini, katanya, kita dapat menjelajahi keragaman spiritual yang tak terhingga: dari meditasi ala Zen, mantra-mantra kuno India, hingga video ceramah yang dihasilkan oleh algoritma lebih fasih dari ustaz kampung sebelah.

Menurut Denny, AI adalah portal ajaib yang memungkinkan kita mencicipi seluruh prasmanan spiritual umat manusia, tanpa perlu repot-repot bangun pagi untuk yoga atau menggali makna hidup di tengah hujan badai di gunung.

Bandingkan ini dengan Mark Vernon, seorang eks-pendeta yang jadi filsuf, yang lebih skeptis memandang AI sebagai pelayan spiritual. Dalam After Atheism, Vernon menggali sisi manusiawi dari pencarian makna. Ia berpendapat bahwa spiritualitas sejati tumbuh dari keintiman dan ketulusan, bukan dari pencarian instan dalam katalog virtual. Baginya, keragaman spiritual AI lebih mirip rak buku di perpustakaan yang rapi tapi dingin —tidak ada koneksi emosional yang mendarah daging di sana.

Tapi coba refleksikan ini dalam konteks humoris. Jika Denny JA memandang AI sebagai semacam “kiyai cyber” yang siap memberi tausiyah kapan saja, Vernon mungkin akan membayangkannya seperti badut rohani di pesta ulang tahun anak-anak: menghibur, penuh warna, tapi sering meleset ketika ditanya sesuatu yang serius. Bayangkan kamu duduk bersila di depan layar AI, berharap pencerahan, tapi malah diberi playlist meditatif yang mencampur suara hujan dengan remiks dangdut religi.

Denny mungkin berkata, “AI membantu kita menemukan semua jalan menuju Tuhan, dari jalan tol sampai jalan tikus.” Sementara Vernon akan menghela napas dan berkata, “Ya, tapi AI tidak bisa merasakan kebingungan manusia di perempatan jalan itu.”

Untuk konteks Indonesia, ini sangatlah menarik. Bagi sebagian orang, AI mungkin alat yang membantu mencari ceramah Ustaz Somad sambil memesan kopi. Namun, bagi kalangan yang lebih skeptis, AI dalam konteks spiritual adalah seperti “kyai YouTube”: berbobot, tapi tak pernah punya waktu untuk mendengarkan curhatanmu.

Dan, tentu saja, di negeri ini, kita tahu bahwa spiritualitas juga soal koneksi hati, kopi hitam kental, dan obrolan ngalor-ngidul yang hangat di kafe pinggir sawah —hal-hal yang belum tentu bisa direplikasi algoritma.

Jadi, di tengah perdebatan ini, satu hal jelas: apakah AI benar-benar dapat menjadi pendamping spiritual, atau hanya sekadar katalog canggih, mungkin tergantung pada apakah kamu adalah tipe yang mencari Tuhan di buku tebal atau di kotak pencarian.

Jakarta, 18/12/2024

Ahmadie Thaha
Jurnalis, penulis buku-buku agama dan sosial, penerjemah kitab-kitab klasik, aktivis di sejumlah ormas keagamaan dan keragaman, serta pengasuh tiga pondok pesantren.