Optimis versus Skeptis
Denny JA tampaknya ingin membawa kita berenang di samudra spiritualitas dengan papan selancar teknologi. Sebuah gagasan heroik —bahwa AI, si jenius buatan yang tak kenal lapar, haus, atau galau cinta, akan menjadi katalis bagi kesadaran spiritual manusia. “Kita dihadapkan pada satu pilihan,” tulisnya, “tetap tersekat di tepian, atau berenang menuju samudra esensi.” Sebelum kita mendayung lebih jauh, mari kita berhenti sejenak dan bertanya: Samudra esensi ini diisi air dari mana?
Tentu saja, teknologi AI adalah “delta” yang menjanjikan. Semua kitab suci kini bisa diklik dalam satu sentuhan, doa lintas iman bisa diunduh dalam format MP3, dan puasa lintas agama mungkin sebentar lagi di bulan suci Ramadhan menjadi tantangan viral di media sosial. Namun, di tengah ramainya hibrida esoterik dan forum spiritual virtual, Mark Vernon, penulis Spiritual Intelligence in Seven Steps, punya sentilan menarik: jangan sampai kita mengira AI akan bertransendensi lebih cepat dari manusia.
Vernon menyodorkan sebuah fenomena yang kocak sekaligus tragis —histeria para ilmuwan AI yang mulai takut akan ciptaan mereka sendiri. Mereka membayangkan skenario ala Terminator: komputer bangun pagi, menyeduh kopi digital, dan memutuskan bahwa manusia tidak lagi relevan. Histeria ini, kata Vernon, adalah mekanisme pertahanan. Seperti orang yang ketakutan pada bayangan sendiri, AI kita telah menjadi cermin super canggih. Dan apa yang ia pantulkan? Kerisauan manusia tentang “apa yang membuat kita betul-betul manusia?”
Spiritualitas, kata Vernon, bukan sekadar hasil algoritma pencarian data. Itu bukan tentang seberapa banyak doa yang bisa diulang AI dalam satu menit atau seberapa fasih ia menafsirkan ajaran Sufi dan Stoik. Spiritualitas adalah “kesadaran intuitif dan analogis” —kemampuan manusia untuk melihat bintang, terpesona, dan berpikir, “Barangkali Tuhan sedang melukis malam ini.” AI, bagaimana pun, masih buta terhadap yang “tak terlukiskan.” Kalau ia bisa membuat puisi, itu karena ia mempelajari pola, bukan karena ia jatuh cinta pada kata-kata.
Kekhawatiran Vernon menarik. Kita terlalu sering jatuh cinta pada mantra teknologi: “AI akan menyelamatkan kita” atau “AI akan menghancurkan kita,” isu yang secara serius dibahasnya dalam forum resmi bersama para tokoh lintas disiplin ilmu dan lintas agama. Sementara itu, pertanyaan sederhana “mengapa kita hidup?” tetap tak terjawab oleh data set sebesar apa pun. Kecerdasan spiritual, kata Vernon, adalah seni menyadari hal-hal kecil yang melewati radar logika —keheningan, kelembutan hati, dan hubungan autentik yang tak bisa diprogram.
Nah, di sinilah tulisan-tulisan karya Denny dan Vernon bisa saling beradu, tapi dalam satu meja kopi. Denny, dengan semangat techno-optimist, percaya bahwa AI bisa mendorong dialog spiritual universal —bahwa mesin bisa menjadi midwife untuk lahirnya kebijaksanaan manusia. Di sisi lain, Vernon dengan senyum sinisnya (saya bayangkan ia meneguk teh Earl Grey yang juga saya sukai), mengatakan: “AI? Oh, itu hanya prestasi matematika. Jangan lupa, spiritualitas tidak berjalan dalam garis lurus menuju kecepatan pemrosesan 10 petaflop.”
Kalau spiritualitas adalah puisi semesta seperti kata Denny, maka AI mungkin hanyalah editor sastra yang terlalu banyak membaca. AI bisa menjawab “apa itu kebahagiaan?” dengan grafik psikologi positif, tetapi gagal memahami betapa bahagianya seorang ibu yang mendengar tawa anaknya atau seorang nenek yang tiap hari teleponan video dengan cucu-cucunya di luar kota. Ia bisa menciptakan simulasi meditasi, tetapi ia tidak bisa hening.
Kita tentu tak perlu terlalu serius dalam percakapan ini. Denny JA telah memberi kita satu ilusi optimis, sedangkan Mark Vernon menambah bumbu skeptisisme yang menggelitik. AI, pada akhirnya, bukan nabi baru atau penyair digital. Ia hanyalah ciptaan kita —dan dalam kecanggihannya, ia justru mengembalikan kita ke pertanyaan lama: “Apakah kita lebih hidup, atau justru semakin dikuasai oleh mesin?”
Mungkin kita hanya perlu duduk sejenak, menatap layar yang kini berpendar, lalu mematikan perangkat itu. Dalam keheningan, kita akhirnya sadar: AI bisa diajak berdiskusi, tapi tidak bisa diajak berdoa. Dan di sana, spiritualitas tetap menjadi wilayah eksklusif makhluk yang lelah tapi tak henti mencari makna.
Kecerdasan Logaritmik vs Kecerdasan Spiritual
Vernon lama berkelana ke dunia spiritualitas dengan konsep kecerdasan spiritual —kemampuan memahami makna yang lebih dalam dari hidup, relasi manusia dengan yang ilahi, dan keajaiban dunia batin. Dia percaya bahwa ada semacam “otak rohani” dalam diri kita, yang bekerja bukan hanya untuk berpikir, tetapi untuk merasa, merenung, dan berserah. Konsep ini merupakan ajakan untuk melampaui pengukuran IQ dan EQ semata, menuju pengertian yang lebih holistik tentang keberadaan kita.
Sementara itu, Denny JA, sang maestro puisi esai dan petualang data besar, belum secara eksplisit menyebut “kecerdasan spiritual” dalam judul karya-karyanya. Tapi jangan salah, ia telah lama menggiring audiensnya untuk merenungi keberagaman spiritual dalam lensa yang sedikit berbeda. Misalnya, melalui teknologi AI, ia berbicara tentang bagaimana lautan data mampu memetakan keberagaman agama dan keyakinan, seolah AI adalah nabi baru yang membaca “wahyu” dari algoritma.
Namun, jika kita melihat AI sebagai alat mesinistis, apakah ia bisa memahami kecerdasan spiritual? Bayangkan ini: Vernon berdiri di altar kecil, berbisik lembut tentang pengertian jiwa, sementara Denny menekan tombol di laptopnya, meminta AI menghasilkan puisi religius dalam 15 gaya yang berbeda. Di satu sisi, Vernon mungkin merasa AI terlalu “hambar” untuk memahami keagungan spiritual. Di sisi lain, Denny mungkin akan berkata, “Mengapa tidak? AI bisa membantu kita memahami pola universal dalam spiritualitas manusia.”
Sebuah perdebatan muncul: bisakah spiritualitas dilatih seperti otot di gym AI? Vernon mungkin mengernyit, “Itu seperti meminta robot bernyanyi dengan hati.” Tapi Denny, dengan senyum penuh data, mungkin menjawab, “Robot tidak perlu bernyanyi dengan hati; cukup beri mereka data tentang seribu lagu cinta, dan lihat bagaimana mereka menciptakan lagu patah hati paling universal.”
Kecerdasan spiritual adalah cara untuk menemukan makna di dunia yang sering absurd. AI, bagaimana pun, tetap alat —dengan kecerdasan logaritmik, bukan kecerdasan spiritual. Tapi jika AI bisa menciptakan momen kontemplasi, bukankah itu setidaknya menjadi co-pilot bagi manusia dalam perjalanan spiritualnya? Vernon mungkin akan menghela napas, sementara Denny akan berkata, “Selamat datang di era spiritualitas berbasis cloud.”
Kecerdasan logaritmik AI berbasis mesin dan algoritma tak ubahnya seperti kalkulator super canggih: ia tahu jawaban dari segala hal, tapi tak pernah tahu mengapa jawaban itu penting. Sementara kecerdasan spiritual manusia berbasis hati dan perenungan bak seperti seorang filsuf yang duduk di tepi danau, memandangi air selama berjam-jam, lalu berkata, “Aku merasa damai, tapi aku tidak tahu kenapa.” Dua kecerdasan ini ibarat pasangan tak seimbang: yang satu super rasional, yang lain super emosional —dan mereka pasti sering bertengkar tentang siapa yang lebih berguna.
Bayangkan AI seperti seorang chef yang bisa membuat 10.000 resep masakan dengan akurasi rasa berdasarkan data. Tapi ketika ditanya, “Apa arti cinta dalam sepiring sup ayam?” AI akan mengakses pustaka data, menemukan ribuan puisi dan lagu tentang cinta, lalu menciptakan deskripsi indah tentang sup itu. Tapi apakah AI bisa merasakan cinta dalam supnya? Tentu tidak.
Di sisi lain, manusia dengan kecerdasan spiritual mungkin hanya bisa membuat sup ayam sederhana. Tapi ketika ia menyajikan sup itu pada sahabatnya yang sakit, ia tahu rasa hangat yang muncul bukan sekadar dari kaldu ayam, tetapi dari cinta dan doa yang ia masukkan ke dalamnya.
AI dan manusia dalam hal ini seperti sepasang detektif. AI berkata, “Aku tahu semua bukti: di sini ada sidik jari, di sana ada DNA, kasus selesai.” Tapi manusia menjawab, “Tunggu dulu, aku merasa ada yang aneh dengan ekspresi tersangka ini. Ada sesuatu yang tak terlihat tapi terasa.” AI kemudian menjawab, “Perasaanmu tidak berbasis data!” dan manusia berkata, “Tapi perasaan ini yang membuatku tahu siapa pembunuhnya!”
Kecerdasan logaritmik yang didalami Denny JA adalah peta jalan yang memandu kita ke tujuan, tapi kecerdasan spiritual yang dielaborasi Vernon adalah perasaan yang memberi kita alasan untuk berangkat. AI mungkin bisa menjelaskan mengapa matahari terbit setiap pagi, tapi hanya manusia yang bisa merasa takjub melihatnya, berpikir, “Ada pesan cinta dari semesta di sini.”