Koran Sulindo – Pengamat politik Jerry Sumampow menilai masyarakat Indonesia mudah terpancing dan dipolitisasi dengan isu SARA dan politik uang.
Menurutnya dua hal itulah yang selalu ada dalam pesta demokrasi di Indonesia seperti saat pilkada, pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden.
“Salahnya di situ. Pemilih kita mudah dikondisikan dan mobilisasi kepentingan para elite,” kata Jerry yang juga menjadi Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) dalam keterangannya, Jumat (20/4).
Menurut Jerry, kedua masalah tersebut harus segera diperbaiki dan diubah dengan mengembalikan pemilu kepada masyarakat, bukan mobilisasi yang makin lama membuat rakyat terasing dengan pemilu.
Rakyat, kata Jerry, harus menjadi pemilih dalam pesta demokrasi. Artinya, rakyat tidak boleh dimobilisasi oleh partai politik termasuk mobilisasi dalam bentuk politik uang.
Masyarakat saat ini sudah mulai sadar dengan praktek politik uang yang dianggap sebuah pelanggaran. Begitu juga praktek ujaran SARA yang bisa jadi ancaman.
“Politik uang dan SARA jadi kejahatan yang berpotensi merusak tatanan kebangsaan. Kita geber nih, bagaimana menciptakan politik yang demokrasi.”
Menurutnya, massifnya Politik uang dan SARA memang disengaja dan selalu digunakan elite-elite politik atau partai politik untuk memenangkan Pemilu.
“Elite politik, tokoh publik, partai politik kita permisif dengan politik uang dan SARA itu boleh tapi kalau tidak ketahuan. Ini contoh politisiasi SARA, begitu juga politik uang. Sehingga makna Pemilu itu sendiri hilang,” kata Jerry.
Senada dengan Jerry, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menambahkan politik uang justru bakal menjauhkan kedaulatan rakyat dalam pemilu.
“Kami ingin memastikan, pemilih punya pilihan bukan integritas penyelenggara tapi integritas itu ada hasilnya,” kata Titi.
Selain itu politik uang, kemurnian kedaulatan rakyat yang tercermin dalam pemilu distorsi dengan ujaran kebencian. Titi mengkategorikan ujaran kebencian menjadi tiga.
“Mulai ujaran kebencian kekerasan, ujaran kebencian SARA, dan ujaran kebencian menghilangkan hak suara,” kata Titi.
Menurut Titi, negara harus mengembalikan peran pemilu bukan sebagai prosedur pemilihan pemimpin, tapi sebagai pesta demokrasi rakyat. Tanggung jawab ini terletak pada KPU, Bawaslu, dan DKPP sangat diperlukan. (CHA/TGU)