Ilustrasi: Tambang Grensberg Freeport, Papua/EPA

Koran Sulindo – Senin, 14 Januari 1963 itu para pembesar perusahaan minyak Amerika Serikat bertamu ke istana. Bos Stanvac, Caltex, dan Shell itu meminta Presiden Soekarno membatalkan Undang-undang No 40 Tahun 1960. UU itu memberi wewenang Republik Indonesia jika asing macam-macam dan tidak memberikan kemakmuran pada bangsa Indonesia atas investasinya di Indonesia, maka perusahaannya dinasionalisasikan.

“Undang-undang itu dibuat untuk membekukan UU lama dimana UU lama merupaken sebuah fait accomply atas keputusan energi yang tidak bisa menasionalisasikan perusahaan asing. UU 1960 itu kubuat agar mereka tau, bahwa mereka bekerja di negeri ini harus membagi hasil yang adil kepada bangsaku, bangsa Indonesia,” kata Bung Karno.

Pada Maret 1963 para bule itu masih terus merayu, Bung Karno konon meradang, memukul meja, dan mengetuk-ngetukkan tongkat komando lalu mengarahkan telunjuk kepada mereka.

“Aku berikan Anda waktu beberapa hari untuk berpikir, dan aku akan batalkan semua konsensi jika Anda tidak mau memenuhi tuntutan aku!”

Soekarno memang tak pernah main-main menghadapi perusahaan multinasional asing (MNC).

Pada 1960 minyak bumi mencakup seperempat dari total ekspor dan didominasi korporatokrasi yang menanam modal 400 juta dolar AS. Caltex (AS) menguasai 85 ekspor, Stanvac (AS) 5 persen, dan Permina 10 persen.

Pada 1963, total ekspor mencapai 94 juta barrel per tahun atau 1,7 persen dari konsumsi dunia.

Sudah 3 tahun terakhir kebijakan Soekarno itu membuat perusahaan minyak asing tak nyenyak tidur. Semua ini bermula pada 1960 ketika ia memanggil Djuanda, saat itu menteri keuangan dalam Kabinet Kerja I bentukan Presiden.

“Kamu tahu, sejak 1932 aku berpidato di depan Landraad soal modal asing ini? soal bagaimana perkebunan-perkebunan itu dikuasai mereka, jadi Indonesia ini tidak hanya berhadapan dengan kolonialisme tapi berhadapan dengan modal asing yang memperbudak bangsa Indonesia. Saya ingin modal asing ini dihentiken, dihancurleburken dengan kekuatan rakyat, kekuatan bangsa sendiri. Bangsaku harus bisa maju, harus berdaulat di segala bidang, apalagi minyak kita punya. Coba kau susun sebuah regulasi agar bangsa ini merdeka dalam pengelolaan minyak,” kata Bung Karno pada Djuanda.

Tak butuh lama, mantan perdana menteri dengan bakat besar sebagai administratur negara itu menyusun surat untuk ditandangani presiden.

Surat itulah yang kemudian menjadi UU No. 44 Tahun 1960 dan membuat 3 bos perusahaan minyak besar bolak-balik ke istana.

Berdasar orat-oret Djuanda itu Soekarno membekukan konsensi bagi pemodal asing. Menurut UU yang berlaku surut itu, seluruh pengelolaan minyak dan gas alam dilakukan negara atau perusahaan negara. MNC juga wajib mempekerjakan pribumi lebih banyak daripada asing.

Pembekuan konsensi jelas membuat MNC kelabakan.

Berdasar UU itu, hanya sebagai contoh, Caltex harus menyuplai 53 persen dari kebutuhan domestik yang harus disuling Permina (kini pertamina). Surplus produksi Tiga Besar harus dipasarkan ke luar negeri dan semua hasilnya diserahkan kepada pemerintah.

Caltex wajib menyerahkan fasilitas distribusi dan pemasaran dalam negeri kepada pemerintah, dan biaya prosesnya diambil dari laba ekspor mereka. Caltex harus menyediakan dana dalam bentuk valuta asing yang dibutuhkan pemerintah untuk membiayai pengeluaran serta investasi modal yang dibutuhkan Permina.

UU itu juga menuntut Caltex menyuplai kebutuhan minyak tanah dan BBM dalam negeri. Formula pembagian laba ditetapkan 60 persen untuk pemerintah dalam mata uang asing dan 40 persen untuk Caltex yang dihitung dalam rupiah.

MNC cuma berstatus sebagai kontraktor dan jangka waktu serta area lokasi dibatasi. MNC menyerahkan 25 persen area eksplorasi setelah 5 tahun dan 25 persen lainnya setelah 10 tahun. Pembagian laba tetap 60:40 persen. MNC wajib menyediakan kebutuhan pasar domestik dengan harga tetap dan menjual aset distribusi serta pemasaran setelah jangka waktu tertentu.

MNC mau tak mau menerima kontrak karya itu.

Caltex, Stanvac Dan Shell Tunduk

Harian sore Sinar Harapan, pada edisi 26 September 1963, melaporkan di bawah judul “Caltex, Stanvac Dan Shell Tunduk”, Perjanjian Karya perminyakan baru telah ditandatangani, menghapuskan hak konsesi dan menetapkan pembagian keuntungan 60:40 dengan bagian terbesar bagi RI.

Menurut koran itu, penandatangan perjanjian minyak yang baru itu merupakan hasil kurang lebih 3 tahun perundingan yang penuh kesulitan antara pemerintah dengan Caltex, Stanvac dan Shell.

Menteri Perdatam Chaerul Saleh, saat itu mengatakan penandatanganan menambah penghasilan RI sebanyak 60 juta dolar AS. “Dengan taraf jumlah produksi sekarang Indonesia, setiap tahun akan memperoleh seratus juta dolar lebih,” kata Chaerul.

Dengan perjanjian baru itu RI akan menerima antara 45 hingga 47 juta Dollar dalam batas waktu tiga bulan setelah kontrak ini diratifikasi DPRGR. Perjanjian minyak baru ini dituangkan dalam bentuk rancangan undang-undang dan menurut Chaerul Saleh akan diajukan kepada parlemen pada Oktober 1963.

Inti perjanjian itu, milik ketiga perusahaan minyak tersebut di Indonesia akan dinasionalisasikan secara berangsur. Distribusi dalam negeri diambil alih oleh pemerintah sesudah 5 tahun, sedangkan pabrik penyaringan dan perkilangan minyak dioper setelah 15 tahun tanpa pembayaran.

Sebaliknya ketiga perusahaan itu boleh meneruskan produksinya yang kini meliputi kurang lebih 250.000.0000 Dollar tiap tahun selama 20 tahun (sebagai kontraktor pemerintah).

Upacara penandatanganan itu dilangsungkan di gedung Deperdatam yang dijaga kuat oleh alat negara dengan senjata api di tangan.

Menurut Chaerul, kerjasama itu adalah bentuk baru dengan pengusaha asing atas dasar “duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi”.

Perundingan itu berkali-kali hampir mengalami deadlock dan di Tokyo baru mencapai titik pertemuan setelah Presiden Soekarno dan Presiden Kennedy turun tangan.

“Perjanjian itupun berarti bahwa pihak pengusaha minyak asing tersebut telah tunduk kepada kebijaksanaan perminyakan yang digariskan pemerintah RI,” tutup laporan SH itu.

Namun setelah itu Bung Karno seperti teringat janjinya untuk merebut Papua. Tapi barangkali juga pasasi ini karena tak lama setelah membuatkan UU No 44 tadi, Djuanda meninggal dunia, konon karena serangan jantung. Tanpa administratur itu, Bung Karno kesulitan menjelaskan keinginan dan pemikiran dalam bahasa hukum yang cakap. Tanpa Djuanda, gagasan kedaulatan modal nampak kehilangan daya.

Untunglah Irian  Jaya berhasil direbut. Kemenangan atas kedaulatan modal Indonesia, karena di barat Indonesia punya lumbung minyak yang berada di Sumatera, Jawa dan Kalimantan sementara di Irian Barat ada gas dan emas. Indonesia bersiap menjadi negara paling kuat di Asia.

Hitung-hitungan Sukarno pada 1975 akan terjadi booming minyak dunia, di tahun itulah Indonesia akan menjadi negara yang paling maju di Asia. Obsesi terbesar Sukarno adalah membangun Permina sebagai perusahaan konglomerasi yang mengatalisator perusahaan-perusahaan negara lainnya di dalam struktur modal nasional.

Modal Nasional inilah yang kemudian bisa dijadikan alat untuk mengakuisisi ekonomi dunia, saat itu struktur modal itu mempunyai kode nama ‘Dana Revolusi Sukarno”. Kelak berpuluh tahun gagasan Soekarno itu diaplikasi banyak negara-negara kaya seperti Dubai, Arab Saudi, Cina, dan Singapura. Mereka menggunakan struktur modal nasional ala Soekarno itu dan membentuk apa yang dinamakan Sovereign Wealth Fund (SWF). “Dana Revolusi” inilah yang mereka gunakan mengakuisisi banyak perusahaan di negara asing.

Inilah yang kemudian menjadi titik pangkal kebencian investor asing. Sukarno jadi sasaran pembunuhan berualng-kali, namun gagal. Ia tak gentar.

“Buat apa memerdekakan bangsaku, bila bangsaku hanya tetap jadi budak bagi asing, jangan dengarken asing, jangan mau dicekoki Keynes, Indonesia untuk bangsa Indonesia,” katanya.”. Ketika intelijen melaporkan ia tidak disukai karena UU itu Sukarno malah memerintahkan ajudannya untuk membawa paksa seluruh direktur perusahaan asing ke Istana.

Tapi akhirnya ia jatuh juga. Perangkap Gestapu 1965 terlalu masif dan terstruktur untuk dilawannya.

Sepeninggal Bapak Bangsa itu, negeri ini pelan-pelan dikeramus raksasa-raksasa modal.

“Apakah kita mau Indonesia merdeka yang kaum kapitalisnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya?”

“Saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang di sini, maupun Saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. kita hendak mendirikan suatu Negara ‘semua buat semua’. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi ‘semua buat semua’.”

Pidato Bung Karno sewaktu menggali Pancasila untuk dasar negara itu seperti tak bermakna apa-apa sejak 1967, mungkin hingga kini. [Didit Sidarta]