Ilustrasi/stichtingbom.org

Koran Sulindo – Politik tidaklah selalu berkait langsung dengan kekuasaan dan berkuasa. Betul bahwa politik adalah relasi antara kuasa—kebijakan—kemenangan. Melalui politik yang sering diterjemahkan sebagai “seni segala kemungkinan”, kekuasaan kerap diperebutkan, dan darinya lahir kebijakan-kebijakan oleh pemenang. Kebijakan yang bisa berupa kebajikan atau justru ketidakbaikan bagi lebih banyak orang.

Mengingat politik tak melulu bicara tentang kebajikan dan kebaikan bagi banyak orang, maka hukum yang dihasilkannya dapat saja jauh dari cita rasa keadilan. Praktik bernegara Indonesia memberi contoh amat konkret dan pedih selama tiga dasawarsa di masa Orde Baru.

Contoh yang paling terang adalah undang-undang kepartaian dan pemilu pada era Orde Baru. Di atas kertas Indonesia sudah betul, memiliki aturan main tentang pemilu, dan partai politik, sebagai satu ciri negara demokrasi. Tapi, demokrasi itu di atas kertas tidak bermakna apa-apa. Melalui undang-undang kepartaian, alih-alih dilindungi, warga negara justru dibatasi partisipasi politiknya. Melalui undang-undang pemilu, alih-alih dijamin, keikutsertaan organisasi politik malah dipersulit.

Singkat cerita, partai politik dikebiri, dan pemilihan umum semata alat mengesahkan kekuasaan, bukan suatu cara mendapatkan mandat yang adil. Seperri pernah disuarakan Cicero, filsuf Yunani dua ribuan tahun silam: “Tak ada yang lebih dapat diandalkan daripada rakyat, tak ada yang lebih jelas dari niatan manusia, (dan) tak ada yang lebih menipu dari keseluruhan sistem pemilihan.”

Kekuasaan yang lahir melalui cara culas, niscaya menghasilkan kecurangan dan ketidakadilan. Seseorang atau sekelompok orang yang berkuasa melalui cara-cara culas, pada gilirannya akan terus menerus hanya memenuhi rasa ketagihan dalam dirinya. Ketagihan untuk senantiasa curang.

Indonesia merasakan betul selama 32 tahun di masa Orde Baru berada dalam keadaan dicurangi. Seluruh warga dipaksa memakan nasi meski tak semua wilayah Indonesia bertanam padi dan tiap daerah telah memiliki penganan pokok sendiri; harga panen ditentukan melalui tata niaga yang badan penyangganya diisi oleh kroni penguasa; lahan pertanian dibongkar untuk memenuhi hasrat kelompok kaya dan berkuasa bermain golf; sekelompok orang diberi kemudahan untuk mendirikan bank sementara mayoritas orang mencari modal membuka warung saja sulit; buruh diperas keringatnya dan ketika berupaya menanyakan keadilan dibungkam keras seperti pada kasus Marsinah; informasi dan berbicara bebas adalah barang mahal, saking mahalnya harus ditukar dengan penjara bahkan nyawa.

Semua praktik itu menciderai nilai dan martabat kemanusiaan, tapi legal. Absah menurut hukum positif Indonesia. Pemerintah bersama-sama DPR– yang hanya menjadi lembaga “stempel”– menerbitkan undang-undang yang menjadi pembenar atas tindakan-tindakan semena-mena. Lalu, presiden mengeluarkan keputusan-keputusan yang seolah hanya melaksanakan ‘amanat’. Amanat yang menerbitkan penderitaan rakyat. Suatu antitesa dari slogan “pemerintah bekerja dengan landasan amanat penderitaan rakyat” yang riuh pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

Tatkala demokrasi hanya etalase, hukum akan menjadi alat penguasa untuk memperdayakan warga negara. Padahal, tujuan politik haruslah demi menyelenggarakan kehidupan individu-individu menjadi sebaik mungkin. Tak ada di atas atau selainnya yang dipikirkan oleh pemimpin politik, kecuali kebaikan bagi setiap orang di dunia. Persoalan yang harus diatasi sebaik mungkin oleh politik adalah menyesuaikan hubungan-hubungan antarmanusia sedemikian rupa sehingga masing-masing mereka sebisa mungkin memperoleh kebaikan. Karena itu, pemimpin politik harus memikirkan apa yang dianggap baik bagi kehidupan individu.

Sejarah politik di negeri ini senantiasa mempertentangkan antara kebaikan dan kebahagiaan bagi umum dan individu. Yang pertama kerap kali harus mengabaikan yang kedua. Beberapa tiran menggunakan alasan demi kebaikan bersama, maka beberapa keistimewaan individu dicabut. Penganjur liberal akan menggunakan alasan kebahagiaan individu sebagai syarat kebahagiaan bersama karena individu-individu ketika hidup berkelompok adalah anggota masyarakat.

Pemerintah despotik, dari masa Orde Baru hingga masa sekarang, kerap menggunakan alasan-alasan “demi kepentingan umum” saat melakukan penggusuran-penggusuran terhadap petani ataupun warga miskin perkotaan. Padahal soal kepentingan rakyat dan rasa keadilan masyarakat  merupakan hal penting bagi sebuah pemerintahan dimanapun.  Sebab disitulah terletak makna dan tujuan politik yang sejati. Jika pemimpin mengkhianati kepentingan rakyat, atau mengabaikan rasa keadilan masyarakat, tinggal menunggu waktu ia akan ditinggalkan konstituennya. Jadi, wahai para pemimpin, jangan sekali-kali mengkhianati rakyat.  [Imran Hasibuan]