Koran Sulindo – Di tahun politik ini, media dan ruang publik terus dipenuhi dengan ocehan para politisi yang saling menjatuhkan. Ada yang bermutu, tapi lebih banyak yang tergolong sumpah serapah.
Meski berbeda jauh dalam hal mutu perdebatan publik, situasi ini cukup mirip dengan yang terjadi di masa demokrasi parlementer, di tahun 1950-an. Di era itu para pemimpin politik bertarung gagasan, tapi juga saling menjatuhkan di posisi pemerintahan. Kabinet jatuh bangun, bahkan ada yang hanya dalam hitungan bulan.
Melihat itu, Presiden Soekarno berkali-kali mengingatkan para pemimpin politik, yang terutama berasal dari partai-partai politik: agar memperhatikan urusan rakyat, jangan terlalu asyik dengan dunia politik itu sendiri.
Tapi, peringatan Bung Karno itu seperti tidak digubris. Hingga Bung Karno menyerukan agar menguburkan partai-partai.
Dalam pidato memperingati Hari Sumpah Pemuda di tahun 1956, Bung Karno bilang:
“…Jikalau kita ingin membangun saudara-saudara, ingin membangun sehebat-hebat bangsa-bangsa lain, tidak dapat kita kerjakan pembangunan itu dengan constellatie masyarakat kita sekarang ini.
Oleh karena itu, saudara-saudara, maka saya katakan kemarin dulu itu: saya mimpi pemimpin-pemimpin daripada partai-partai ini menjadi sadar! Saya mimpi pemimpin-pemimpin daripada partai-partai ini mengadakan musyawarah satu sama lain. Saya mimpi mereka mengambil keputusan: marilah kita bersama-sama mengubur partai-partai!!”
Tiga tahun kemudian, lewat Dekrit 5 Juli 1959, berakhirlah “demokrasi partai-partai”, digantikan Demokrasi Terpimpin. Partai-partai memang tidak dikubur semua perannya di pentas politik surut.
Demokrasi Terpimpin, menurut Bung Karno, adalah satu demokrasi penyelenggaraan, werk demokrasi. Kata Bung Karno dalam pidatonya yang lain di tahun 1958:
“… Ada yang bertanya, lho kalau begitu demokrasi terpimpin ini apakah selama presidennya Soekarno. Tidak! Jangan pikir bahwa demokrasi terpimpin ini adalah demokrasi penyelenggaraan di bawah Presiden Soekarno. Tidak!
Demokrasi terpimpin adalah suatu demokrasi untuk menyelenggarakan suatu blauwdruk (cetak biru). Dan di dalam menyelenggarakan blauwdruk harus ada pimpinan, orang yang cakap, pimpinan orang yang jujur, pimpinan orang yang ahli. Ini adalah inti demokrasi terpimpin. Pimpinan terutama sekali daripada ide masyarakat adil dan makmur.”
Tapi, jalannya Demokrasi Terpimpin bukanlah tanpa kritik. Salah satu kritik utama justru datang dari Mohammad Hatta, co- proklamator RI dan Wakil Presiden RI yang pertama. Sejak mengundurkan diri sebagai wakil presiden, pertengahan 1950-an, Bung Hatta cukup sering mengirim surat kepada Presiden Soekarno, yang isinya mengingatkan dan kritik tentang berbagai perkembangan sosial-politik di masa itu yang sudah menjauh dari yang dicita-citakannya.
Puncaknya, di tahun 1960, ia menulis brosur Demokrasi Kita, yang isinya merupakan kritik keras terhadap jalannya praktik pemerintah di masa itu. Brosur ini sempat dilarang beredar oleh pemerintah, tapi tetap saja beredar luas. Demokrasi Kita merupakan semacam penjelasan tentang sikap politik Bung Hatta. Isinya terutama mengkritik kebijakan dan garis politik pemerintahan Bung Karno yang dinilainya sudah mengarah otoriter.
Akibat Peristiwa Gestok 1965 kekuasaan Bung Karno jatuh, digantikan rezim Orde Baru– yang selama 32 tahun berkuasa menerapkan garis politik otoriter dan hegemonik. Di masa ini, kehidupan partai-partai seakan terkuburkan. Golkar dan militer menguasai pentas politik nasional.
Reformasi, yang telah berjalan 20 tahun, telah menghidupkan lagi peran partai politik. Melihat gelagatnya peran partai itu masih akan terus berlangsung bertahun ke depan.
Meski begitu, partai-partai seharusnya menghayati “semangat zaman”, jika tak mau terkubur di tengah medan peradaban. [Imran Hasibuan]