Koran Sulindo – Meikarta dan banyak media massa di Indonesia belakangan ini bagai sepasang kekasih. Banyak media massa kehilangan daya kritisnya ketika ingin memberitakan Meikarta. Mungkin karena belanja iklan pengembang Meikarta sangat besar.
Katadata Indonesia mencatat, untuk priode Januari sampai September 2017 saja, hanya untuk iklan di televisi dan media cetak, pengembang Meikarta merogoh kocek sampai Rp 1,2 triliun. Padahal, mereka mempromosikan proyeknya bukan hanya di televisi dan media massa cetak, tapi juga di radio, media online, media sosial di Internet, di mal, di rumah sakit, kantor pemerintahan, dan berbagai tempat lain yang ramai dikunjungi orang.
“Tsunami iklan” itu sempat membuat Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) protes. Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi berpandangan, promosi, iklan, dan pemasaran Meikarta yang sangat masif, terstruktur, dan sistematis boleh jadi membius masyarakat konsumen untuk bertransaksi. Apalagi, di sebuah media massa cetak, iklan Meikarta lebih dari 30% jumlah halaman. “Lima halaman penuh dari media cetak bersangkutan,” ungkap Tulus, 8 Agustus 2017 lalu.
Toh, strategi itu terbilang berhasil. Dalam waktu yang relatif singkat, hampir 100 ribu unit apartemen telah dipesan. Pada 17 Agustus 2017 lalu, misalnya, seperti diungkapkan Chief Marketing Officer Lippo Homes Jopy Rusli, sudah 99.300 unit apartemen Meikarta dipesan orang.
Menurut CEO Meikarta Ketut Budi Wijaya, promosi dan iklan yang masif itu dilakukan hanya untuk menggairahkan pasar. “Kami melakukan ini karena properti sedang lesu,” ujar Ketut. Sektor properti, tambahnya, sudah lesu sejak tahun 2014.
Proyek milik Lippo Group di Bekasi itu sebenarnya mendapat banyak kritik dari berbagai kalangan, termasuk dari Wakil Gubernur Jawa Barat (Jabar), Deddy Mizwar. Malah, Guru Besar Penataan Wilayah Institut Teknologi Bandung, Profesor Roos Akbar, M.Sc., Ph.D. beberapa kali mengungkapkan bahwa proyek tersebut merusak struktur wilayah di Jabar. Pada 27 Oktober 2017, misalnya, Profesor Roos mengatakan, Meikarta akan merusak struktur ruang wilayah di Jabar.
Indikasi dari kerusakan itu pun sudah tampak, yakni adanya kemacetan yang luar biasa. “Nah sekarang saja wilayah situ sudah sangat macet. Bisa dibayangkan nanti jika proyek tersebut jadi, macetnya seperti apa,” tutur Profesor Roos.
Profesor Roos juga meragukan izinnya. Karena, proyek pembangunan untuk satu juta penduduk saja sudah bisa dikategorikan sebagai pembangunan kota metropolitan. ”Apalagi ini katanya untuk dua juta penduduk. Saya ragu ada izinnya,” katanya.
Pada 31 Agustus lampau, Profesor Roos juga mengatakan keraguan yang sama. “Saya tak menuduh. Tapi, saya meragukan hal itu. Sebaiknya saya sarankan jangan membohongi publik hanya untuk mencapai tujuan,” ungkapnya.Pembangunan suatu bangunan atau proyek, tambahnya, ada tahapan-tahapan perizinan yang harus dilakukan dan dipenuhi, antara lain izin prinsip, izin lokasi, izin perencanaan atau siteplan, dan Izin Mendirikan Bangunan.
Misalnya, membangun tempat untuk 500 ribu orang saja harus ada izin prinsipnya terlebih dulu, baru mencari lokasi. “Itu hanya membangun dengan kapasitas 500 ribu orang saja seperti itu. Sementara Proyek Meikarta kan dikatakan untuk dua juta orang. Saya ragu itu. Saya juga tidak mengetahui izin-izin apa saja yang sudah atau belum dipenuhi oleh pihak Meikarta,” tutur Profesor Roos.