Jan Engelbert Tatengkeng: Sastrawan, Pendidik, dan Negarawan

Jan Engelbert Tatengkeng (Wikipedia)

Dalam perjalanan sejarah Indonesia, muncul sosok-sosok berpengaruh yang tak hanya memperjuangkan kemerdekaan tetapi juga membangun pondasi nilai-nilai budaya, sastra, dan pendidikan bagi bangsa.

Salah satu di antaranya adalah Jan Engelbert Tatengkeng, sastrawan, pendidik, dan negarawan asal Sulawesi Utara. Tatengkeng bukan sekadar seorang penyair, tetapi juga seorang pejuang yang melalui karya-karyanya berhasil mempertegas identitas dan bahasa persatuan bangsa.

Kiprahnya di berbagai bidang menjadikannya tokoh berpengaruh yang jejak langkahnya tetap dikenang hingga kini. Artikel ini akan mengenal lebih jauh perjalanan Tatengkeng untuk Indonesia.

Melansir laman kemdikbud, Jan Engelbert Tatengkeng, atau yang lebih dikenal sebagai Tatengkeng, adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah sastra, pendidikan, dan politik di Indonesia. Lahir pada 19 Oktober 1907 di Kolongan, Sangihe, Sulawesi Utara, ia tumbuh di tengah keluarga nasrani yang taat, dengan ayah seorang kepala sekolah zending dan guru Injil.

Lingkungan keluarga yang religius membuatnya menempuh pendidikan di sekolah-sekolah Kristen, mulai dari Zending Volkschool, Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Manganitu, hingga pendidikan lanjutan di Christelijke Middag Kweekschool di Bandung dan Christelijke Hoogere Kweek School (CHKS) di Surakarta.

Di sinilah ia berjumpa dengan teman-teman seperjuangan dan pemikiran, seperti Amir Hamzah, yang turut membentuk wawasan dan jiwa sastrawinya.

Tatengkeng dikenal sebagai penyair berbakat sejak dini. Sejak sekolah dasar, ia telah mahir membuat pantun dan berpidato, dan bakatnya terus terasah ketika melanjutkan pendidikan di HIS.

Kecintaannya pada sastra semakin tumbuh setelah berkenalan dengan kesusastraan Belanda dan gerakan sastra Tachtigers di Surakarta. Pada 1930, Tatengkeng mulai terlibat di dunia pers sebagai redaktur majalah Rindoe Dendam di Surakarta.

Sebagai bagian dari Angkatan Pujangga Baru, Tatengkeng aktif menulis puisi yang menonjolkan unsur religius, keindahan alam, dan introspeksi, seperti yang terlihat dalam puisi terkenalnya, “Kuncup.” Kumpulan puisinya, Rindoe Dendam, pertama kali diterbitkan pada 1934 dan kemudian diterbitkan kembali pada 1974.

Dalam karya-karyanya, Tatengkeng menyuarakan pembelaannya terhadap bahasa Indonesia, yang mulai mendapat tempat sebagai bahasa persatuan sejak Sumpah Pemuda 1928. Puisi “Bahasa Indonesia” yang ia tulis pada 1935 menjadi sindiran bagi pihak yang meremehkan bahasa nasional.

Sebagai pendidik, Tatengkeng mengawali kariernya sebagai guru bahasa Melayu di HIS Tahuna pada 1932. Sambil mengajar, ia juga aktif di dunia pers dengan memimpin surat kabar Tuwo Kona dan berkontribusi pada surat kabar lainnya seperti Soeara Oemoem dan Pemimpin Zaman.

Pengabdiannya sebagai pendidik berlanjut ketika ia hijrah ke Sumba, menjadi kepala sekolah di Zending Standaardschool, dan terlibat dalam organisasi keagamaan. Di masa penjajahan Jepang, Tatengkeng mengajar bahasa Jepang di sekolah menengah Ulu Tiau, namun kemudian dipenjara di Manado tanpa alasan yang jelas oleh pihak Jepang.

Di awal kemerdekaan, Tatengkeng memperluas perannya sebagai negarawan. Ia ikut mendirikan Barisan Nasional Indonesia dan terlibat aktif dalam Partai Rakyat Sangir Talaud, bahkan menjadi wakil ketua partai pada 1948.

Kiprahnya di dunia politik mencakup peran penting dalam Konferensi Denpasar dan posisi sebagai wakil Menteri Pengajaran Negara Indonesia Timur (NIT) pada 1948. Puncak karier politiknya terjadi ketika ia menjabat sebagai Perdana Menteri NIT merangkap Menteri Pengajaran pada Desember 1949.

Meski karier sastranya mulai menurun sejak 1950-an akibat kesibukannya di bidang kebudayaan, Tatengkeng terus berkontribusi dengan mengemban berbagai peran kebudayaan, seperti Kepala Inspeksi Kebudayaan Republik Indonesia di Makassar pada 1950-an dan anggota panitia kerja Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional.

Ia juga berperan dalam pembentukan Dewan Kesenian Makassar pada 1969. Di bidang pendidikan, Tatengkeng mengarang buku Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia pada 1954 dan berperan dalam pendirian Universitas Hasanuddin.

Tatengkeng meninggal dunia pada 6 Maret 1968 di Makassar, kepergian Jan Engelbert Tatengkeng menandai berakhirnya perjalanan seorang tokoh besar yang telah mengabdikan diri dalam dunia sastra, pendidikan, dan politik demi kemajuan bangsa.

Namun, warisan karyanya terus hidup, menginspirasi generasi penerus untuk mencintai budaya dan bahasa Indonesia serta meneladani semangat pengabdiannya. Penghargaan Satya Lencana Kebudayaan dari pemerintah Indonesia menjadi bukti penghormatan atas kontribusinya yang luar biasa.

Tatengkeng telah menorehkan catatan penting dalam sejarah bangsa sebagai seorang sastrawan yang berpijak pada cinta tanah air, seorang pendidik yang membentuk karakter bangsa, dan seorang negarawan yang setia membela kepentingan rakyat. [UN]