Koran Sulindo – Saya pertama kali berkomunikasi dengan Jamal Khashoggi—wartawan Saudi yang menghilang pada 2 Okt—ketika berusaha mewawancarai Mohammad Jamal Khalifa, mantan teman dekat dan adik ipar Osama bin Laden, untuk CBC pada 2003 silam.
Dua tahun setelah tragedi 11 September 2001, yang menewaskan 2.977 korban, dunia masih mencari tahu alasan di balik naiknya gelombang anti-Amerika di kawasan Arab.
Khalifa adalah sosok kelam pada waktu itu (dia kemudian tewas dalam pembunuhan misterius di Madagaskar tahun 2007). Sejak tragedi 11 September, dia selalu mengatakan secara terbuka bahwa dia berselisih paham dengan keputusan Osama untuk membentuk Al-Qaida pada 1988.
Dia dituduh sebagai penyokong dana terbesar untuk kelompok teroris Abu Sayyaf, yang sejalan dengan Al-Qaida, dan juga memiliki peran kontroversial dalam penangkapan satu kelompok yang berupaya meledakkan World Trade Centre pada 1993.
Khashoggi waktu itu bekerja sebagai wakil pemimpin redaksi Arab News, harian berbahasa Inggris di Teluk. Dia adalah salah seorang dari banyak wartawan dan pengamat politik yang saya kontak untuk mencari tahu keberadaan Khalifa.
Selama beberapa bulan, semua panggilan dan email saya tak ada yang menjawab. Hingga akhirnya Khashoggi menanggapi.
Ya, saya mengetahui Khalifa, katanya via email. Dan ya, dia dapat membantu mengatur wawancara langsung dengan Khalifa.
Dari sudut pandang wartawan, ini kesempatan besar: sebuah kesempatan yang jarang terjadi untuk berbicara dengan seseorang yang pernah dekat dengan Osama bin Laden.
Tidak hanya itu, Khashoggi juga menghubungi beberapa analis politik berbahasa Inggris untuk terlibat dalam segmen televisi terpisah—sebuah panel yang membahas persoalan Saudi.
Keluarga Ningrat Saudi dan Teroris
Saya tahu saya bukan satu-satunya wartawan asing yang memiliki pengalaman positif bekerja bersama Khashoggi. Semua reporter atau peneliti kebijakan yang meliput negara-negara Teluk tentu mengakui betapa susahnya menemukan suara yang tepercaya, bijaksana, dan berguna yang mau berbagi wawasan tentang kehidupan di dalam kerajaan itu.
Dalam hal ini, Khashoggi adalah angin segar. Dia juga bersedia tampil di depan kamera dan disebutkan identitasnya dalam berita.
Tetapi Khashoggi juga terlihat waspada. Kewaspadaan ini agaknya membuat semua reporter yang menjadikannya narasumber untuk menilai dia dengan cermat. Lagipula, berapa banyak wartawan—apa pun level senioritasnya—yang dapat dengan jujur mengatakan mereka punya akses ke teroris internasional serta anggota kerajaan Saudi?
Bukan rahasia lagi bahwa Khashoggi punya karir ganda: reporter dan penasihat pemerintah. Sejak 2003 hingga 2006, dia adalah tangan kanan pangeran Turki bin Faisal, mantan kepala intelijen dan duta besar untuk Amerika dan Inggris.
Jelas, Khashoggi bukan wartawan biasa.
Permintaan Sopan untuk Kebebasan
Tapi dia juga bukan penasihat politik biasa. Ketika memimpin Arab News, misalnya, dia menerbitkan tajuk rencana yang mengimbau kebebasan personal serta lapangan kerja yang lebih luas bagi pemuda Saudi, serta membolehkan liputan unjuk rasa oleh pekerja migran dan komunitas minoritas Syiah di Bahrain. Hal-hal ini pantang dilakukan oleh media massa di Teluk.
Tetapi tidaklah tepat jika Khashoggi digambarkan sebagai “kritikus yang pedas”, sebagaimana yang dikatakan beberapa wartawan kenamaan sejak menghilangnya Khashoggi pada awal Oktober di Turki. Dia tidak pedas.
Sebelum dia memilih menggunakan The Washington Post tahun lalu sebagai sarana menggulirkan perubahan (setelah berulang kali diskors dari beragam media Saudi), kritik-kritik Khashoggi terhadap pemimpin Saudi lebih tepat disebut sebagai kritik halus, dengan keragu-raguan yang santun terhadap kebijakan-kebijakan kerajaan.
“Khashoggi adalah seorang pembela kerajaan yang sopan, halus, dan mampu menyampaikan maksudnya dengan baik,” kata Madawi al-Rasheed, profesor tamu London School of Economics dalam kolomnya di Middle East Eye. “Keragu-raguannya terhadap kebijakan Saudi selalu halus dan bisa dimaklumi.”
Opininya memang selalu bisa dimaklumi—dan bahkan diapresiasi oleh elite berkuasa—ketika dia secara terbuka mendukung posisi Saudi dalam perang kacau di Yaman (meski tajuk terbarunya di Washington Post bernada berbeda), eksekusi ulama Syiah terkemuka Syeikh Nimr Al-Nimr tahun 2016, serta penangkapan aktivis Bahrain yang terinspirasi Arab Spring tahun 2011 oleh militer Saudi.
Menghilangnya Khashoggi
Beberapa hari setelah menghilangnya Khashoggi, patut dicatat bahwa banyak pakar, wartawan, dan pejabat politik yang biasa berdebat dengannya di televisi juga mengungkapkan rasa sedih—dan respek terhadap keyakinan Khashoggi.
“Jamal Khashoggi dan saya tidak sepakat dalam banyak persoalan, tetapi tidak seperti koleganya dari Saudi dan Uni Emirat Arab, dia selalu sopan dan beradab kepada saya dan warga Iran lainnya,” kata Mohammad Marandi, profesor sastra Inggris dan orientalisme dari University of Tehran.
Seorang wartawan lain di Bahrain yang telah dipenjara berulang kali karena meliput penangkapan kejam Saudi terhadap aktivis tak bersenjata, secara tegas tidak setuju dengan persepsi Khashoggi tentang campur tangan Iran di kawasan, tetapi berkata kepada saya dia masih menghargai Khashoggi karena berusaha menghadirkan reformasi.
“Anda tidak akan selamat di Saudi jika tidak punya kawan. Dari pengalaman, saya bisa mengatakan bahwa Khashoggi berusaha mendapatkan kebenaran dari semua sudut pandang.”
Anggota tim pemeriksa memasuki Konsulat Arab Saudi di Istanbul, Senin, 15 Oktober 2018. Turki dan Arab Saudi melaksanakan (AP Photo/Petros Giannakouris)
Dan pada akhirnya, Khashoggi dibungkam “kawan-kawannya” sendiri.
Dan jika keterangan kematian Khashoggi di media Turki ini benar—bahwa ada penganiayaan dan perkelahian di dalam konsulat Saudi di Istanbul tempat Khashoggi terakhir terlihat—maka dia telah mengikuti jejak kritikus lainnya yang membayar mahal karena menyampaikan kebenaran kepada penguasa.
Ini pengingat teramat penting, bukan hanya mengenai obsesi Riyadh kepada pembelot, tapi juga mengenai perlunya menghargai dan menghormati kaum intelektual yang memiliki perspektif luas. [Shenaz Kermalli, instruktor jurnalistik di Ryerson University, Kanada]. Tulisan ini disalin dari theconversation.com.