Jam Gadang, Saksi Bisu Keruntuhan Kolonialisme di Sumatera

Jam Gadang pada tahun 1935 - Balai FHJ

Siapa tidak kenal dengan bangunan ikonik Jam Gadang di Bukittinggi, Sumatera Barat. Jika Inggris punya jam besar berlonceng besar Big Ben di kota London, ikon serupa ada di Sumatera bernama Jam Gadang.

Dibangun pada 1926-1927 Jam Gadang merupakan hadiah dari Ratu Belanda Wilhelmina kepada Rook Maker, sekretaris Fort de Kock (sekarang Kota Bukittinggi) pada masa pemerintahan Hindia Belanda.

Saat itu Kota Bukittinggi dalam genggaman kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda dan menjadi basis untuk melancarkan Perang Paderi (1821-1837). Bukittinggi oleh Belanda selalu ditingkatkan perannya dalam ketatanegaraan, dari apa yang dinamakan Gemetelyk Resort berdasarkan Staatblaad tahun 1828.

Sejak 1825 kota bukittinggi dijadikan kubu pertahanan Belanda dengan membangun Benteng Fort De Kock. Kota ini telah digunakan juga oleh Belanda sebagai tempat peristirahatan opsir-opsir yang berada di wilayah jajahannya di Asia Timur.

Oleh pemerintah Jepang, Bukittinggi dijadikan sebagai pusat pengendalian Pemerintah militernya untuk kawasan Sumatera, bahkan sampai ke Singapura dan Thailand karena disini berkedudukan komandan Militer ke 25.

Pada masa kekuasaan Jepang, Bukittinggi berganti nama dari Taddsgemente Fort de Kock menjadi Bukittinggi Si Yaku Sho yang daerahnya diperluas dengan memasukkan nagari-nagari Sianok, Gadut, Kapau, Ampang Gadang, Batu taba dan Bukit Batabuah yang sekarang kesemuanya itu kini berada dalam daerah Kabupaten Agam.

Keunikan Jam Gadang

Peletakan batu pertama pembangunan dilakukan oleh putra pertama Rookmaker yang pada saat itu masih berusia 6 tahun. Pembangunannya menghabiskan biaya sekitar 3.000 Gulden, biaya yang untuk ukuran waktu itu tergolong fantastis. Menurut sebuah sumber, Jam Gadang selesai dibangun pada 1932.

Pada awalnya menaranya berbentuk atap kubah yang disertai ukiran. Belanda kala itu menyebut Jam Gadang dengan istilah klokketoren yang berarti menaran jam.

Meskipun Jam Gadang dibangun pada zaman Belanda namun arsiteknya berasal dari Orang Minangkabau yaitu Yazid Sutan Maruhun dan Rasid Sutan Gigi Ameh. Mesin Jam Gadang didatangkan langsung dari Belanda melalui Pelabuhan Teluk Bayur saat ini yang merupakan buatan Jerman.

Mesin jam dibuat oleh pabrik pembuat jam yaitu Vortmann Reclinghausen yang tertulis pa loncengnya. Vortmann merupakan nama belakang pembuat jam yakni Benhard Vortmann. Sementara itu, Recklinghausen adalah nama kota di Jerman yang merupakan tempat diproduksinya mesin jam 1892.

Uniknya mesin Jam Gadang ini hanya ada dua di dunia, satunya yang digunakan di Big Ben London, yang merupakan nama sebuah lonceng besar di tengah menara jam yang terletak di utara Istana Westminster, London, Britania Raya.

Jam Gadang ini dibangun tanpa mengunakan besi penyangga untuk memperkokoh bangunan, sangat berbeda dengan pembangunan gedung umumnya. Menara jam hanya dibangun menggunakan adukan semen bercampur putih telur serta pasir putih.

Sejak pertama dibuat, Jam Gadang sudah mengalami kali perubahan pada atapnya atau puncak Jam Gadang. Awalnya pada masa pada masa Kolonial Belanda dengan bentuk kubah kerucut yang dihiasi patung ayam jantan pada bagian puncaknya.

Lalu pada masa penjajahan Jepang puncaknya diganti berupa bagunan segi empat dengan model atap tradisional Jepang. Terakhir, setelah kemerdekaan Republik Indonesia bagian puncak ditukar lagi dengan atap bagonjong atap seperti rumah Adat Minangkabau.

Kini, ikon wisatanta Kota Bukittingi ini telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya melalui Sk Nomor PM.05/PW.007/MKP/2010, tertanggal 8 Januari 2010. Penetapan itu terkait erat dengan sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, serta kebudayaan. [PAR]