Kerajaan Jawa
Koneksi komersial Hindustan dengan Asia Tenggara terbukti vital bagi pedagang Arab dan Persia pada abad ke-7 dan ke-8. Pedagang Arab, terutama keturunan pelaut dari Yaman dan Oman mendominasi rute maritim di seluruh Samudera Hindia mendapat keuntungan besar dari daerah di Timur Jauh dan mengenggam erat-erat rahasia ‘kepulauan rempah.’
Hasil bumi dari Maluku itu kemudian dikirim ke India melewati pelabuhan seperti Kozhikode, dan melalui Ceylon. Dari sana barang itu dikirim ke barat melintasi pelabuhan Arabia di Timur Dekat, ke Ormus di Teluk Persia dan Jeddah di Laut Merah dan kadang-kadang dikirim ke Afrika Timur di mana mereka akan digunakan untuk berbagai tujuan termasuk untuk upacara pemakaman.
Sulaima al-Mahr menulis, “Timur dari Timor adalah kepulauan ‘Bandam’ dan mereka adalah pulau-pulau di mana pala dan fuli ditemukan. Kepulauan cengkeh yang disebut ‘Maluku’”
Di Jawa, Kerajaan Medang atau Mataram Kuno dan juga Kalingga menjadi kerajaan-kerajaan besar yang ada di Nusantara selain Tarumanegara dan Kutai. Di abad ke 6-7, Mataram dan juga Kalingga sudah rutin hubungan dagang China seperti tertulis dalam Kronik China dari era Dinasti Tang (618-906 M).
Hubungan dagang Medang dengan Dinasti Tang menduduki peran penting dengan dibentuknya Juru China yakni pejabat yang mengurusi orang-orang China di Medang. Selain itu, bukti-bukti keramik-keramik China dari era Dinasti Tang juga tersebar di sekitar candi-candi peninggalan Medang di pedalaman Jawa.
Peninggalan itu menunjukkan barang-barang impor tak hanya digunakan di wilayah-wilayah pesisir namun sudah mencapai pedalaman.
Kronik China menunjukkan sejak era Medang orang-orang Jawa sudah berlayar ke pelabuhan-pelabuhan di China menggunakan kapal khas Jawa. Gambar relief di Candi Borobudur yang dibangun menggambarkan kapal yang tengah berlayar di laut dengan jumlah banyak awak kapal. Jenis dan bentuk kapal itu sangat berbeda model-model kapal jung asal China.
Di era Medang inilah Jawa juga rutin didatangi saudagar-saudagar dari Asia Selatan dan AsiaTenggara yang meneruskan komoditas-komoditas itu ke India dan Timur Tengah.
Pada Prasasti Kuti, Prasasti Kaladi dan Prasasti Pal Buhan yang ditemukan di Jawa Timur menunjukkan bagaimana Medang membagi wilayahnya menjadi kawasan agraria di pedalaman Jawa dan pusat agrarian di kawasan Jawa Timur.
Ketika pusat pemerintahan masih di Jawa Tengah pada abad ke-7 sampai abad ke-10, Medang merupakan negara agraris yang fokus pada tata pemerintahan dalam negeri serta member kebebasan penuh pada para vassal di daerah.
Perekonomian berkutat pada kegiatan lokal dan didominasi perdagangan internal antar daerah dan penghasilan kerajaan lebih banyak digunakan untuk membangun tempat-tempat keagamaan yang megah seperti Borobudur, Prambanan dan Candi Sewu.
Saat pusat kerajaan berpindah ke Jawa Timur, pusat-pusat perdagangan segera tumbuh di wilayah pesisir dan daerah pedalaman yang dilintasi sungai besar.
Terimbas perdagangan besar-besaran yang dipelopori Dinasti Sung (960-1279) di Cina dengan Cola di India Selatan, kerajaan-kerajaan Nusantara seperti Sriwijaya, Medang, Kahuripan, Kadiri hingga Majapahit ikut menikmati berkah masing-masing.
Di Sumatra, Sriwijaya diuntungkan karena menguasai control internasional di Selat Malaka, sementara kerajaan di Jawa menguasai kontrol dengan Laut Banda khususnya untuk komoditas rempah dari Maluku dan kayu cendana dari Timor.
Meski Sriwijaya lebih mudah dijangkau, pedagang-pedagang dari Asia Selatan dan Timur Tengah lebih menyukai Jawa karena dianggap memiliki persediaan yang lebih lengkap. Kronik China, dari Kitab Ling-wai Tai-ta menjelaskan bahwa She-po mempunyai komoditas paling lengkap setelah Ta-shih sedangkan San-fo-tsi berada di peringkat ketiga setelah She-po.
She-po adalah tempat untuk menunjuk Jawa, Ta-shih untuk Arab dan San-fo-tsi untuk Sriwijaya.
Meski tak disebutkan asal daerahnya, para pedagang yang sampai ke Jawa secara tidak langsung disebutkan disebutkan dalam beberapa prasati. Prasasti Gondosuli II yang bertarikh 927 Masehi menyebutkan seorang tokoh bernama Da Puhawa Glis. Petrus Josephus Zoetmulder menerjemahkan puhawa sebagai nakhoda atau kapten kapal.
Ini menunjukkan bahwa sejak awal abad ke-10 telah di Jawa telah terdapat komunitas pedagang Melayu telah tinggal di pedalaman Jawa Tengah. Pada Prasasti Garaman berangka tahun 1053 Masehi telah menyebutkan komunitas lain seperti orang-orang dari Khmer, R men dari Pegu dan Champa.
Hubungan itu terus berlanjut seperti digambarkan Prasasti Kamalagyan 959 Masehi yang menyebut setelah pembangunan bendungan Kamalagyan, orang-orang di sekitar wilayah itu bisa berperahu hingga ke hulu mengambil barang dagangan di pelabuhan Ujung Galuh.
Disebut dalam prasasti itu pelabuhan Ujung menjadi tempat berkumpulnya para puh wa para ban ga sa ri dw ntara yang umumnya diartikan sebagai pedagang dari pulau lain.
Dalam Prasasti Sembiran bertarikh 1056 disebut tentang kedatangan saudagar-saudagar dari seberang yang berkumpul di Manasa atau ma kana yan hana banyaga sake sabera jong, camenduk i manasa. Sementara itu Kronik China dalam Chau ju-kua disebut tentang pala yang dihasilkan dari Pulau Huang-ma-chu dan Niu-lun yang menjadi jajahan Jawa. Para ahli sepakat, kedua pulau tersebut berada di Maluku.
Meski kronik itu tak sepenuhnya benar, kemungkinan Kepulauan Maluku tidak pernah dijajah Jawa namun kapal-kapal dari Jawa datang ke Maluku membeli rempah-rempah yang ditukar dengan beras. [TGU]