Ratusan tahun jauh sebelum para petualang Eropa menginjakkan kakinya di Nusantara, secara tradisional saudagar-saudagar dari Asia Tenggara sudah terhubung jejaring perdagangan dunia yang rumit.

Memanfaatkan angin muson barat perahu-perahu katamaran dari Jawa dan Sumatra menyintas Samudera Hindia dan berlabuh di India hingga pantai timur Afrika dan bertemu dengan pedagang Hindustan, Hadratmaut, Yahudi bahkan dari Venesia.

Dari pelabuhan-pelabuhan itu, komoditas mereka berupa rempah bersama barang berharga lainnya seperti batu mulia, kulit hewan langka, kayu arang, kayu manis padang dan kayu manis cina hingga mutiara mengalir menyusuri Laut Merah dan diperjualbelikan di delta Sungai Nil dan Alexandria. Bertindak sebagai makelar atas barang-barang dari timur membuat suku-suku Arab itu menjadi sangat kaya dan makmur.

Orang Yunani menyebut wilayah selatan itu sebagai Arabia Eudamon atau Arabia yang gembira seperti tertulis dalam agenda penaklukan Alexander Agung sebelum ia mangkat. Mereka menikmati keuntungan besar dengan merahasiakan asal rempah-rempah sekaligus membumbuinya dengan cerita-cerita yang fantastis.

Perdagangan rempah-rempah dari Nusantara bertambah penting menyusul meningkatnya kebutuhan aromatik di Eropa. Volume perdagangan makin bertambah ketika orang-orangYunani untuk untuk pertama kalinya mulai berdagang langsung dengan Hindustan. Komoditas ini bahkan segera melampaui komoditas lain seperti sutra atau porselen.

Dalam dokumen Yunani Periplus Maris Erythraei disebutkan nama beberapa pelabuhan Hindustan, tempat di mana kapal-kapal besar berlayar arah timur menuju ke suatu tempat bernama Chryse. Nama itu berarti emas, dan sering dihubungkan para penulis sekarang dengan nama Suwarnabhumi atau Suwarnadwipa.

Claudius Ptolemaeus seorang ahli geografi dan ahli matematika berdarah Yunani di abad ke-1 Masehi dalam Geographike Gypehegesis menulis tentang kapal-kapal dari dari Aleksandria di Laut Mediterania menuju Teluk Persia di Bandar Baybaza di Cambay, India dan Majuri di Kochin, India Selatan.

Ia menulis dari pelabuhan-pelabuhan tersebut kapal para saudargar melanjutkan pelayaran ke bandar-bandar di pantai timur India hingga ke kepulauan yang ditulisnya sebagai Aurea Chersonnesus. Di kepulauan itu kapal-kapal singgah di Barousae, Sinda, Sabadiba, dan termasuk Iabadiou.

Ptolomeus juga menulis Zabai tempat yang disebutnya konon hanya berjarak 20 hari perjalanan dari Aurea Chersonnesus. Ia juga menyebut sebuah tempat bernama tempat lain bernama Argyre di ujung barat Iabadiou. Argyre atau Argyros dalam bahasa Yunani kuno yang berarti kota perak.

Beberapa ahli menafsirkan Barousae yang dimaksud Ptolomeus adalah Barus yang memang sejak semula dikenal sebagai penghasil utama kamper karena kala tak semua tempat bisa ditumbuhi pohon kamper. Komoditas ini amat disukai orang Timur Tengah.

Tak hanya pedagang dari Timur Tengah, di Barus pada abad ke-6 Masehi juga sudah berdatangan para pedagang dari Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya. Keanekaragaman suku bangsa yang datang ke Barus terbukti dengan catatan-catatan berbahasa Arab, Yunani, Syriak, Tamil, Melayu, Jawa, hingga Armenia tentang Barus.

Kepulauan Banda di Maluku, dalam waktu yang lama adalah satu-satunya sumber pala dan memberikan kontribusi bagi reputasi Kepulauan Maluku sebagai Spice Islands.