PADA 17 JUNI 1864, Gubernur Jenderal Baron Sloet van den Beele meresmikan pembangunan jalur kereta api pertama di Hindia Belanda. Pembangunan jalur kereta api itu dimulai dari Desa Kemijen, Semarang, dan direncanakan akan sampai Yogyakarta.
Adalah Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) perusahaan swasta yang mendapatkan konsesi dari pemerintah Belanda untuk membangun dan menjadi operator jalur tersebut. Ide membangun jalur kereta api di Jawa bermula ketika ada kebutuhan transportasi untuk mengangkut hasil bumi yang cepat dan efisien.
Ketika pada 1830-an, saat cultuurstelsel diterapkan di Jawa, perkebunan tanaman komoditas ekspor seperti tebu, kopi, nila, dan tembakau tumbuh dengan pesat. Dalam dua dasawarsa sejak kebijakan cultuurstelsel diterbitkan oleh Gubernur Jenderal van den Bosch, maka terjadi peningkatan ekspor hasil bumi di Pulau Jawa.
Jalur Kereta Semarang – Jogja
Pesatnya pertumbuhan perkebunan dan aktivitas ekspor ternyata tidak seimbang dengan ketersediaan transportasi dan infrastruktur yang memadai. Jarak antara pelabuhan dan perkebunan di pedalaman Pulau Jawa cukup jauh. Lagipula umumnya perkebunan-perkebunan berada di daerah perbukitan, dengan kondisi jalan tanah yang buruk terutama jika musim penghujan tiba, maka jalanan menjadi bertambah buruk dan berlumpur. Alat transportasi yang ada pun sangat terbatas. Untuk mengangkut hasil bumi dari perkebunan ke pabrik atau ke pelabuhan hanya mengandalkan tenaga manusia atau pedati. Dampaknya pengangkutan jadi lambat dan kapasitasnya pun sangat terbatas. Walaupun masih ada cara lain yaitu memanfaatkan perahu menyusuri sungai hingga ke muara yang ada di dekat pelabuhan di Semarang.
Insinyur militer Kolonel J.H.R. van Der Wijck lah yang pertama kali mengajukan usul pembangunan jalur kereta api di Pulau Jawa kepada pemerintah kolonial Belanda. Van Der Wijck mengajukan usul jalur dari Surabaya ke Batavia melalui Surakarta, Yogyakarta, dan Bandung sebagai prioritas.
Usulan van Der Wijck itu mendapat respon positif dari Kerajaan Belanda. Pada Mei 1842 pihak kerajaan menerbitkan Koninklijk Besluit no. 207 yang memerintahkan pembangunan jalur kereta api dari Semarang ke Kedu dan Vorstenlanden, yaitu wilayah Yogyakarta dan Surakarta. Namun, hingga beberapa tahun setelahnya, perintah itu tak pernah terlaksana. Penyebab tidak terlaksananya besluit itu adalah belum adanya informasi dan peta wilayah Pulau Jawa yang memadai untuk pembangunan jaringan rel kereta. Akhirnya Menteri Urusan Jajahan J.C. Baud mengutus Letnan Zeni G.H. Uhlenbeck mengadakan survei pendahuluan untuk pemetaan.
Pada akhirnya pada Agustus 1862, pihak swasta diberikan kesempatan membangun jalur kereta api pertama di Pulau Jawa, sekaligus di Hindia-Belanda. Pihak swasta yang mendapat proyek itu adalah kelompok pengusaha yang diketuai oleh W. Poolman, Alex Frazer, dan E.H. Kol yang mendapat konsesi dari Gubernur Jenderal Baron Sloet van den Beele.
Setahun kemudian ketiganya lantas mendirikan Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) untuk memulai pengerjaan jalur Semarang-Vorstenlanden (Yoga-Solo). Menurut Yoga Bagus Prayogo dkk. dalam Kereta Api di Indonesia (2017:12) jalur ini akan melalui Kedungjati dan Surakarta. Dari Kedungjati jalur akan dicabangkan menuju Ambarawa untuk mendukung kepentingan militer Belanda. Ruas pertama yang jadi tonggak sejarah perkeretaapian di Hindia-Belanda dibangun antara Kemijen-Tanggung sejauh 26 km. Pada tahun yang sama NISM juga mendapat konsesi pembangunan jalur Batavia-Buitenzorg, kini Jakarta-Bogor
Jalur Rel Tertua dan Stasiunnya
Jalur kereta api di Jawa Tengah ini dibangun dalam tiga tahapan dengan tahap pertama pembangunan dari Semarang hingga ke daerah Tanggung, Grobogan, Jawa Tengah. Semarang-Tanggung merupakan dua kota yang pertama kali dihubungkan lewat jalur kereta api.
Maka stasiun kereta api (KA) tertua di Jawa berada di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, yakni Stasiun Tanggung yang dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1864.
Menurut Sejarawan dari Universitas Negeri Semarang Prof Dr Warsino M Hum, sebelum ada jalur kereta api, jalur perdagangan dan perekonomian ekspor ke Eropa yakni melalui jalur jalan darat yang kini dikenal dengan jalur tengah Semarang-Yogyakarta dan Solo-Semarang. Namun atas desakan pihak swasta di era pemerintah Belanda sekitar tahun 1864 itu, jalur darat menggunakan truk dialihkan ke jalur kereta api. Pihak swasta saat itu mendesak pemerintahan Hindia-Belanda untuk mempermudah distribusi hasil alam; gula, kopi dan nira.
Demikianlah akhirnya jalur kereta Semarang-Tanggung mulai beroperasi, tepatnya pada 10 Agustus 1867 dengan dua perhentian, yakni di Brumbung dan Alastua. Setiap penumpang yang naik kereta ini harus membeli tiket dengan tarif mulai dari 0,45 gulden, 1,5 gulden, hingga 3 gulden, sesuai kelas yang dipilih. Selain membawa penumpang, kereta ini juga untuk mengangkut hewan ternak, hasil bumi, pedati, dan gerobak. Pada saat itu, kereta Semarang-Tanggung beroperasi sebanyak dua kali dalam sehari, yaitu pagi dan sore yang ditempuh selama 1 jam setiap perjalanannya.
Proyek Jalur Kereta Lainnya
Kemudian selain di Jawa, pembangunan jalur kereta api juga dilakukan di Aceh (1876), Sumatera Utara (1879), Sumatera Barat (1891), Sumatera Selatan (1914), dan Sulawesi (1922). Pada akhir 1928, panjang jalur kereta api di Indonesia sudah mencapai 7.464 kilometer.
Dengan adanya jalur kereta api sepanjang itu, maka pada 28 September 1945, didirikanlah Djawatan Kereta Api Indonesia (DKARI), yang pada 1998 berubah nama menjadi PT Kereta Api (Persero). Lalu, pada 2011, nama perusahaan PT Kereta Api (Persero) kembali diganti menjadi PT Kereta Api Indonesia (KAI). [S21]