Suluh Indonesia – Sawahlunto, yang dahulunya lembah terisolir, bertransformasi menjadi kota tambang akibat pengaruh perkembangan Revolusi Industri di akhir abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20 yang terjadi secara global.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh utusan pemerintah Belanda, Ir. Cluseaner JV. Izzermen, Raj Snaghkage, Anj Vaan Hoos dan timnya atas kemungkinan dibangunnya jalur kereta api untuk mengangkut batu bara dari Sawahlunto ke pelabuhan di Padang, muncul dua usulan yang paling mungkin.
Pertama, melewati Subang Pass menembus Bukit Barisan hingga ke Teluk Bayur. Jalur Subang Pass ini merupakan wilayah antara Solok, Sitinjau Laut dan berakhir di Padang. Namun jalur ini akan menghabiskan biaya yang sangat besar untuk pembuatannya, karena paling tidak harus membuat 32 terowongan.
Usulan kedua adalah, dari Pelabuhan Teluk Bayur ke Sawahlunto melalui Padang Panjang. Biaya yang dikeluarkan untuk jalur ini ternyata tidak melebihi biaya yang sudah ditetapkan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Karena tingginya biaya yang akan dikeluarkan, pembangunan kereta api di Sumatera Barat ini sempat menjadi perdebatan di parlemen Belanda. Perdebatan panjang pembangunan jalur kereta melalui Subang atau Padang Panjang berlanjut hingga tahun 1887.
Akhirnya timbul kesepakatan antara Pemerintah Hindia Belanda dan pihak swasta yang ada di Negeri Belanda. Hasilnya adalah pembangunan jalur kereta api akan dilakukan dari Sawahlunto ke Solok sampai Padang Panjang melewati Danau Singkarak.
Sedangkan dari Padang Panjang sampai Pariaman, jalur kereta api melewati lembah Anai dan Kayu Tanam, yang akan sejajar atau di atas jalan pedati yang dibangun oleh Van Den Bosch, kemudian baru lanjut ke Padang. Pengerjaan jalur ini akhirnya selesai pada tahun 1891.
Kondisi terberat pembangunan pada saat itu adalah lokasi pembuatan jalur kereta api di lembah dan lereng bukit, terowongan serta jembatan. Jalur kereta harus menembus bukit dengan membuat terowongan sepanjang 800 meter, yang dibangun dengan tenaga buruh paksa dari berbagai daerah, atau ‘Orang Rantai’.
Baca juga ORANG RANTAI (Seri Sawahlunto Bagian 4)
Baca juga Mak Itam: Lokomotif Legendaris (Seri Sawahlunto Bagian 3)
Sepanjang jalan itu dibangun lima tempat pemberhentian pengangkutan batu bara dari Sawahlunto, yaitu Sawahlunto-Solok (28,3 kilometer), Solok-Batutaba (33,2 kilometer), Batutaba-Padang Panjang (17,5 kilometer), Padang Panjang-Kayu Tanam (15,5 kilometer), dan Kayu Tanam-Teluk Bayur (57 kilometer).
Dengan kondisi jalan yang menanjak dan berbelok-belok, kecepatan kereta api pun harus mengikuti alur kondisi jalan tersebut sehingga dibutuhkan waktu tempuh 10 jam untuk membawa batu bara dari Sawahlunto ke Teluk Bayur non-stop.
Sebagian jalur ini merupakan lintas pegunungan dan memiliki gradien terekstrim pada segmen Padang Panjang – Batu Tabal, yaitu 70 per mil sehingga lokomotif biasa tidak mampu menanjak pada jalur ini maka itu digunakan rel gigi dan lokomotif khusus.
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) kondisi perkeretaapian untuk pengangkutan batu bara di Sumatera Barat tak jauh berbeda dengan di masa penjajahan kolonial Belanda, masa sebelumnya.
Pembangunan jalur baru dilakukan untuk mengirim batu bara ke Singapura via Pekanbaru (pantai timur Sumatera) yang sempat dijuluki sebagai ‘Sumatera Death Railway’ karena pembangunannya banyak memakan korban, baik dari pihak romusha maupun dari pihak tawanan perang.
Rel kereta ini bertujuan sebagai media pengangkut batu bara dan tentara dari Pekanbaru ke Muaro di wilayah barat pulau Sumatera. Pembangunan rel selesai pada 15 Agustus 1945.
Namun pada kenyataannya, rel ini hanya sekali digunakan untuk membawa tahanan perang keluar dari wilayah tersebut dan tidak pernah digunakan untuk mengangkut batu bara dari Ombilin ke Pekanbaru, sebagaimana tujuan awal pembangunan jalur tersebut.
Setelah kemerdekaan, seluruh perusahaan eks kolonial Belanda akhirnya dinasionalisasi. Perusahaan kereta api Hindia Belanda yakni SS (StaatsSpoorwegen) berubah menjadi DKA (Djawatan Kereta Api). Kemudian, berubah ia lagi menjadi PNKA (Perusahaan Negara Kereta Api). Lalu, pada tanggal 15 September 1971 ia berubah menjadi Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) dan tanggal 1 Agustus 1990, PJKA berubah menjadi Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka).
Selain di jalur gerigi Sumatera Barat PNKA/PJKA juga mengandalkan tenaga lokomotif uap untuk operasional jalur datar. Namun operasional jalur datar menggunakan lokomotif uap ini hanya bertahan hingga pertengahan tahun 70-an.
Selama 109 tahun, jalur legendaris ini digunakan secara rutin untuk mengangkut batu bara dan penumpang. Seiring dengan berhentinya pasokan batu bara dari Sawahlunto yang dikelola PT Bukit Asam, terhenti pula operasi rutin kereta api di jalur tersebut pada tahun 2003. Seiring dengan berkembangnya transportasi darat, kereta api pun ikut tersisih. [Nora E]
Baca juga Bahasa Tansi, Sebagai Bahasa Kreol di Sawahlunto (Seri Sawahlunto Bagian 5)
Baca juga Tambang Batu Bara Ombilin sebagai Warisan Dunia Indonesia (Seri Sawahlunto Bagian 6)
Baca juga Tambang Batu Bara Ombilin (Seri Sawahlunto Bagian 1)